Oleh Mun’im Sirry, Asisten Profesor di Universitas Notre Dame USA
Dalam beberapa hari terakhir, Sdr. Muhammad Nuruddin melancarkan kritik dan serangan personal kepada saya melalui status Facebooknya. Saya mengetahui ini karena beberapa kawan nge-tag saya. Sebenarnya dari awal saya bermaksud merespons, namun setelah melihat status Sdr. Nuruddin bernada emosional, sulit dibedakan antara kritik dan serangan personal, saya urungkan untuk merespons.
Saya pikir tidak produktif merespons statusnya yang bernada emosional dan menghakimi bahkan identitas ke-Muslim-an saya. Apalagi serangannya begitu bertubi-tubi, yang sama sekali tidak mengesankan niat untuk berdiskusi dengan cara yg baik. Saya kira yang dilakukannya itu keterlaluan dan, meminjam kata Dian Sastro, “kamu jahat” (dengan nada sedikit menggoda!).
Banyak kawan menyarankan agar saya tidak perlu merespons, yang sebenarnya saya amini. Saya setuju saran itu karena respons saya malah akan membuat Sdr. Nuruddin lebih marah lagi. Saya sebenarnya bertanya-tanya soal “timing”: kenapa dia melancarkan serangannya sekarang? Buku dan pandangan saya yang dia kritik itu sudah ditulis lama sekali. Itu pertanyaan sepintas muncul di kepala. Tak ada soal. Buku dan pandangan saya bisa dikritk kapan saja. Saya tidak menulis untuk dijadikan dogma. Sebaliknya, saya menulis untuk menstimulasi pikiran kritis. Jadi silakan kritik kapan saja.
Namun, tadi malam setelah mengisi acara diskusi di Malaysia yang sangat mengasyikkan, saya melihat status Facebook Mas Zaprulkhan yang menyarankan saya supaya merespons karena kritik Sdr. Nuruddin disampaikan di medsos yang diakses luas. Saya pikir, sarannya cukup masuk akal. Terima kasih, mas!
Pagi ini, setelah sarapan, saya melihat-lihat status Sdr. Nuruddin untuk saya respons. Dan ternyata banyak sekali dan nadanya mirip. Dari bacaan saya, Sdr.Nuruddin cenderung mengambil poin-poin dari buku saya di luar konteks dan kemudian menisbatkannya kepada saya seolah-olah poin-poin tersebut adalah pandangan saya sendiri. Saya tidak mengerti kenapa dia punya kesimpulan seperti itu.
Pembaca buku tentu akan tahu tidak semua yang kita tulis adalah pendapat kita sendiri. Kita memang perlu mendiskusikan suatu masalah dari berbagai perspektif. Hal semacam ini juga tradisi ulama kita terdahulu yg menyajikan pandangan-pandangan beragam, termasuk pendapat yang sebenarnya mereka tolak.
Nah, Sdr.Nuruddin tidak (bisa) membedakan mana pendapat penulis dan pandangan-pandangan lain yang dimaksudkan untuk memperkaya diskusi. Untuk menjadikan poin ini lebih jelas, saya akan memberikan satu contoh di mana Sdr. Nuruddin menuduh saya berpandangan “Muhammad tidak memiliki informasi yang memadai atau salah paham tentang ajaran Yahudi dan Kristen.” Dia juga menisbatkan kepada saya sebuah pandangan bahwa “kritik al-Qur’an terhadap keyakinan orang Kristen yang tampak keliru.”
Untuk membuktikan tuduhannya itu Sdr. Nuruddin menstabilo kuning kalimat dari buku “Polemik Kitab Suci” halaman 34-35.
Pada halaman 35, bagian yang dia highlight kuning sebagai berikut: “Pembacaan singkat atas al-Qur’an dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa Muhammad tidak memiliki informasi yang memadai atau salah paham tentang Yahudi dan Kristen. Sesungguhnya, beberapa kritik al-Qur’an terhadap orang Yahudi dan Kristen memunculkan sejumlah kesulitan bagi para sarjana. Contohnya adalah kritik al-Qur’an terhadap keyakinan orang Kristen yang tampak keliru.”
Sdr. Nuruddin menganggap “Muhammad tidak memiliki informasi yang memadai” dan “kritik al-Qur’an terhadap keyakinan orang Kristen yang tampak keliru” sebagai pandangan saya. Padahal, kalau dia membaca, minimal, seluruh paragraf akan tampak jelas bahwa saya sedang mendiskusikan kesarjanaan yang ada dalam soal itu.
Paragraf yang dikutip Sdr. Nuruddin diawali dengan kalimat berikut: “Pertanyaan kemudian adalah: Siapa/apa yang menjadi sasaran kritik dari teks-teks al-Qur’an ini? Pertanyaan ini terasa lebih penting lagi apabila kita amati bahwa al-Qur’an ternyata mengarahkan kritiknya bukan pada ajaran ‘arus-utama’ Yahudi dan Kristen.”
Jadi, tampak jelas bahwa saya bermaksud mendiskusikan pertanyaan yang saya ajukan di awal paragraf dengan mendisksusikan pandangan kesarjanaan yang ada, kemudian saya mencoba mengevaluasi pandangan tersebut dan akhirnya menyampaikan pandangan saya pribadi.
Hal itu terbukti dari kalimat-kalimat setelah bagian yang distabilo Sdr. Nuruddin dalam paragraf yang sama dan paragraf-paragraf berikutnya yang mendiskusikan pandangan para sarjana yang berbicara tema tersebut. Saya akan kutipkan 4 paragraf dari kalimat yang distabilo Sdr. Nuruddin (supaya jelas, maaf agak panjang dan catatan kakinya dihilangkan).
Sebagai berikut:
Beberapa sarjana berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak berbicara tentang doktrin Alkitab mengenai Trinitas, tapi tentang Trinitas dari para sekte sempalan Kristen. Oleh karena itu mereka berargumen bahwa Al-Qur’an tidak perlu dipandang menghujat ajaran ortodoks Kristen, tapi hanya sejumlah penyimpangan yang terjadi. Dalam artikel pendeknya yang terbit pada 1967 dengan judul “Christianity Criticized in the Qur’an”, Montgomery Watt menjelaskan bahwa Al-Qur’an menyerang doktrin bid’ah dalam agama Kristen, bukan ajaran ortodoks Kristen. Ia kemudian menyimpulkan, “Jika argumentasi utama dari artikel ini cukup masuk akal, yaitu, bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada serangan terhadap ajaran Kristen, maka adanya kesadaran yang luas tentang persoalan ini memiliki dampak yang besar bagi hubungan antara Islam dan Kristen sekarang dan di tahun-tahun mendatang.”
Para sarjana lain berpendapat lebih jauh dengan mengatakan bahwa pandangan Al-Qur’an tentang Trinitas pada kenyataannya dipengaruhi oleh tradisi keberagamaan dan praktik peribadatan populer orang Kristen yang sangat memuja Maryam. Adalah mungkin, menurut mereka, jika gagasan Al-Qur’an tentang ketuhanan Maryam berasal dari sekte-sekte Kristen di semenanjung Arab yang mengagungkan Maryam jauh di luar statusnya yang wajar. Terdapat beberapa bukti tentang keberadaan sekte semacam ini di semenanjung Arab, yang salah satu di antaranya dikenal dengan sebutan sekte Collyridian, yang mayoritas pengikutnya terdiri dari kaum wanita, yang memuja dan menyembah Maryam. Mereka berasal dari Thrace (wilayah yang menjadi bagian Bulgaria saat ini yang berada di sebelah utara Turki), meskipun kemudian mereka menyebar ke utara hingga Scythia dan ke selatan hingga semenanjung Arab, dan ritual utamanya melibatkan sesajen berupa “kue kecil” (dalam bahasa Yunani, “kue kecil” adalah collyris; darinya terambil kata Collyridian). Geoffrey Ashe melacak asal usul sekte Collyridian hingga ke Maryam sendiri. Menurut Ashe, Maryam historis, yang diusir oleh para pemimpin gereja, pergi meninggalkan Yerusalem dan membangun sebuah komunitas wanita suci di wilayah tak bertuan. Komunitas ini tetap berkembang setelah kematian Maryam, terutama di wilayah-wilayah (termasuk semenanjung Arab) yang tidak terlalu dipengaruhi oleh Gereja. Meskipun demikian, sulit untuk memastikan sejauh mana Al-Qur’an dipengaruhi oleh keberadaan mereka di semenanjung Arab.
Para sarjana juga dibuat bingung dengan kritik Al-Qur’an tentang ketuhanan Uzair (Ezra?). Al-Qur’an mengklaim bahwa “Orang Yahudi berkata, Uzair adalah anak Tuhan’ dan orang Kristen berkata, ‘Al-Masih adalah anak Tuhan.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang kafir terdahulu. Allah melaknat mereka! Bagaimana mereka sampai berpaling!” (Q. 9:30). Menurut J. Walker, “Kesulitan yang tampak jelas adalah adanya kenyataan bahwa tidak ada catatan sejarah yang bisa disodorkan untuk membuktikan adanya sekte Yahudi, yang heterodoks sekalipun, yang menganut ajaran semacam itu.”
Di kalangan para sarjana Barat terdapat perbedaan teoritis ketika menjelaskan tuduhan Al-Qur’an bahwa orang Yahudi mendaku Uzair sebagai anak Tuhan. Seperti yang dikutip oleh J. Walker, Lidzbarski cenderung menegaskan kemungkinan adanya sekte Yahudi di semenanjung Arab yang memuja Uzair sedemikian rupa hingga tampak menuhankannya; tindakan yang membuat malu rekan ortodoks mereka. Kemungkinan bahwa Muhammad mengetahui keberadaan sekte Yahudi yang begitu mengagungkan sosok Ezra hingga menganggapnya sebagai malaikat, bahkan mungkin separuh tuhan, juga disebutkan oleh Michael Lodahl. Namun, Lodahl segera mencatat bahwa “kita tidak perlu berasumsi bahwa orang Yahudi di tengah-tengah masyarakat Muhammad sebenarnya menyembah sosok Ezra atau bahkan menyematkan gelar “Anak Tuhan” – setidaknya dalam pengertian yang unik dan mistis. Kenyataan bahwa kata “Anak Tuhan”, yang secara bahasa berlaku untuk seluruh orang Israil, bukanlah hal yang tidak lazim dalam Tanakh.”
Kutipan di atas dari halaman 36-39. Saya kira tidak sulit untuk melihat bahwa saya sedang mendiskusikan pandangan kesarjanaan seputar pertanyaan yang saya ajukan di awal paragraf. Saya heran kenapa Sdr. Nuruddin gagal memahami ini. Setelah mendiskusikan pandangan mereka, saya mengajukan pandangan saya pribadi (halaman 41) sebagai berikut: “Penulis berpendapat bahwa jika kita memahami pernyataan Al-Qur’an sebagai bersifat polemis, mungkin persoalan ambiguitas dan ketidakakuratan bisa dikesampingkan. Seperti yang telah kita ketahui, tulisan-tulisan polemik dimaksudkan bukan hanya untuk membuktikan sudut pandang tertentu, tapi juga untuk membuktikan kekeliruan sudut pandang lainnya meskipun harus dengan cara mengubah penggambarannya agar pandangan mereka tidak mungkin diterima. Polemik berkembang subur dalam sebuah lingkungan komunal tertentu ketika para anggotanya membutuhkan jaminan psikologis bahwa pemahaman mereka terhadap realitas adalah yang paling benar. Sikap psikologis semacam itu menjangkit semua kalangan yang berada dalam situasi polemis, jadi bukan sekadar perbedaan dalam berbagai keyakinan mereka. Polemik kitab suci juga mencatat ketegangan dan perselisihan seputar peristiwa dan waktu tertentu pada masa awal pembentukan agama.” Dan seterusnya…
Coba lihat, saya justru menolak anggapan al-Qur’an itu salah paham. Tentu saya tidak menghujat para sarjana yang pandangannya saya tidak setuju. Saya ingin mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan kepala dingin. Oh iya di luar rumah saat ini lagi banyak salju. Bukan hanya kepala yang dingin tapi sekujur tubuh!
Di bagian lain buku saya itu, saya mendiskusikan pandangan sarjana yang secara tegas menyebut al-Qur’an salah paham, kemudian saya ajukan argumen menolaknya. Baca halaman 298 sebagai berikut: “Sarjana lain bahkan berpendapat lebih jauh dengan mengatakan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh kekeliruan pemahaman tentang makna dari doktrin Trinitas karena dikaburkan dengan Triteisme. Seperti yang dikemukakan oleh Chawkat Moucarry, “Apa yang sebenarnya dibantah Al-Qur’an adalah kesalahan konsepsi tentang Trinitas.” Namun, penggunaan kata “kekeliruan konsepsi” mungkin terlalu tajam. Mungkin juga orang Kristen sendiri memiliki konsepsi yang berbeda tentang Trinitas daripada yang kita pahami saat ini, jadi itu sama sekali bukan kesalahan pemahaman.”
Saya kira ini sudah cukup jelas ya. Darimana bisa disimpulkan bahwa saya berpendapat ada miskonsepsi dalam al-Qur’an? Apa kalimat-kalimat saya kurang jelas? Bagaimana mungkin Sdr. Nuruddin tidak memahami posisi saya?
Dalam status Facebooknya yang sama, Sdr. Nuruddin juga menuduh saya berpendapat bahwa al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad. Bahkan, statusnya diberi judul “Buatan Nabi Muhammad?” Bagian yang distabilo berbunyi begini (halaman 34): “Namun, hal ini tidak berarti bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan bersifat polemis terhadap komunitas agama lain. Bahkan di tengah-tengah perdebatan sengit dengan orang Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad masih menganut pandangan ekumenikal bahwa para penganut monoteis yang beramal sesuai dengan perintah agamanya dianggap seperti orang Islam: mereka tidak akan merasa takut pada hari Pembalasan.”
Lagi-lagi, saya betul-betul gagal paham kenapa kalimat di atas menggiring Sdr. Nuruddin untuk berkesimpulan bahwa saya memandang al-Qur’an sebagai buatan Nabi Muhammad. Sebenarnya, bagian yang distabilo Sdr. Nuruddin itu justeru menegaskan pandangan saya yang (masih) cukup tradisional. Yakni, mencoba memahami al-Qur’an dengan melihat fase-fase kehidupan Nabi. Dalam kalimat-kalimat setelah bagian yang distabilo Sdr. Nuruddin, saya mengutip ayat 62 surat al-Baqarah/69 surat al-Ma’idah, untuk menegaskan bahwa dalam fase-fase akhir kehidupan Nabi pun al-Qur’an masih mengajarkan teologi inklusif. Dengan pemaparan itu saya hendak berargumen menolak teori abrogasi atau naskh.
Dalam pandangan tradisional, mempelajari kehidupan Nabi itu penting untuk memahami al-Qur’an. Karenanya pada mufassir klasik mengembangkan sebuah genre khusus, disebut “asbab al-nuzul” (sebab-sebab turunnya al-Qur’an). Karena koneksi biografi Nabi dan al-Qur’an demikian tak terpisahkan, maka tak sulit untuk memahami bahwa pandangan dan ajaran Nabi sesuai dengan kandungan al-Qur’an.
Bagi teman-teman yang menggemari tulisan ustadz Nuruddin, terutama terkaitnya kritik-kritiknya terhadap buku saya, mohon bandingkan kritiknya itu dan buku saya langsung. Saran saya, jangan cukup hanya membaca tulisannya, karena – seperti saya telah tunjukkan di atas – Sdr. Nuruddin cenderung mencomot poin-poin dari buku di luar konteks atau membuat suatu kesimpulan yang sama sekali berbeda dari pandangan saya sendiri.
Itu sekadar saran. Dan saya cukupkan jawaban saya di sini. Saya tak perlu membuat tanggapan lain. Silakan para pembaca menilai argumen yang saya kembangkan dalam buku-buku saya dan membandingkannya dengan status Facebook ustadz Nuruddin.
Silakan jika ingin menyebarkan jawaban saya ini. Salam semua!