Laduni.ID, Jakarta – Keabsahan sanad keilmuan dan otoritas guru dan kitab adalah suatu prinsip dalam Islam. Sistem sanad inilah pula yang sangat berfungsi untuk menjaga otentitas keilmuan dan ajaran agama Islam. Siapapun tidak dibenarkan bicara tentang agama dengan sesuka hati.
Tanpa Sanad Ngawur
Sebab sering terbukti, bahwa orang yang keilmuannya tanpa sanad, maka bisa berbicara apa saja tanpa dasar. Maka, di sinilah perlunya kita mengenal dengan istilah sanad, atau mata rantai yang jelas dalam sebuah keilmuan, yang terus menerus bersambung sampai kepada para sahabat nabi radliyallahu anhum dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Al-Imam Abu Abdirrahman Abdullah Ibnu Al-Mubarak rahimahullah (726 M, Marw, Turkmenistan – 797 M, Hit, Irak) sebagaimana dikutip oleh Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi Asy-Syafi’i atau Imam Muslim rahimahullah (wafat 5 Mei 875 M, Naisabur, Iran) dalam Mukaddimah kitab Sahih Muslim mengatakan bahwa :
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Artinya: “Isnad adalah urusan agama. Kalau urusan isnad tidak diperhatikan, maka setiap orang bisa bicara apa saja sekehendak hatinya”.
قال الإمـام مالكـ بن أنس رحمه الله : إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ هُوَ لَحْمُكَ وَدَمُكَ وَعَنْهُ تُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَانْظُرْ عَنْ مَنْ تَأْخُذُهُ
Al-Imam Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amr bin al-Harrits Al-Asbahi Al-Madani atau Al-Imam Malik bin Anas atau Imam Malik rahimahullah (711 – 795 M, Jannatul Baqi’ Madinah) berkata:
“Sesungguhnya ilmu ini adalah daging dan darahmu, kelak kamu akan ditanya tentangnya di hari kiamat, maka perhatikanlah darimana kamu mengambil ilmu tersebut”.
Beliau (Imam Malik) rahimahullah juga berkata : “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu / sanad guru) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’ bin Abdillah atau Al-Imam Ats-Tsauri rahimahullah (716 M, Kufah, Irak – 778 M, Basra, Irak) mengatakan bahwa “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Riwayat Al-Imam Al-‘Ala’iy rahimahullah (wafat 1535 M) dalam kitab Al-Kifayah Fi Ma’rifati Ushuli Ilmi Ar-Riwayah, halaman 21, karya Al-Imam Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi Asy-Syafi’i atau Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah (10 Mei 1002 M – 5 September 1071 M di Bagdad, Irak)
Juga riwayat Al-Hafidz Al-Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Abdur Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi atau Imam Ibnu Khallad atau Imam Ar-Ramahurmuziy rahimahullah (wafat 971 M di Ramahurmuz Iran) dalam kitab Al-Muhadditsul Faashil bain Ar-Rawi Wa Al-Wa’i.
Ambil Ilmu Dari Ulama Tsiqoh
Sahabat Nabi Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma (wafat 687 M di Masjid Ibnu Abbas Thaif Arab Saudi) menyatakan:
إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مَا نَعْرِفُ
“Dulu kami jika mendengar seseorang berkata : Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “kami fokuskan penglihatan dan pendengaran kami padanya. Namun ketika manusia sudah mulai menempuh jalan yang sulit dan mudah (tidak selektif dalam menerima ilmu, pent), maka kami tidaklah mengambil (ilmu) dari manusia kecuali yang kami kenal (HR. Imam Muslim rahimahullah wafat 5 Mei 875 M, Naisabur, Iran, dalam Muqoddimah kitab Shahihnya)
Salah seorang ulama kibar Tabi’in, murid langsung dari beberapa Sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, Abubakar Muhammad bin Sirin Al-Anshari Al-Bashri atau Imam Ibnu Sirin rahimahullah (wafat 12 Januari 729 M di Basrah Irak) menyatakan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ.
Artinya: “Sesungguhnya ilmu ini adalah dien. Maka, lihatlah kalian dari siapa kalian mengambil (ilmu) dien kalian (HR. Imam Muslim rahimahullah dalam Muqoddimah kitab Shahihnya)
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ.
Dulu mereka (para Ulama di masa Sahabat) tidaklah bertanya tentang sanad. Ketika terjadi fitnah, mereka berkata : Sebutkanlah nama para perawi (hadits) kalian. Untuk dilihat (apakah berasal dari) Ahlussunnah, sehingga diambil (diterima) haditsnya. Dan dilihat (apakah berasal dari) Ahlul Bid’ah, sehingga tidak diambil hadits mereka (HR. Imam Muslim rahimahullah dalam Muqoddimah kitab Shahihnya)
Salah seorang Tabi’in, murid dari Sahabat Nabi Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu (wafat 697 M di Makkah), yaitu Uqba ibn Nafi ibn Abdul Qays Al-Fihri Al-Qurashi atau Imam Uqbah bin Nafi’ rahimahullah (622 M, Mekkah – 683 M, Tabuda Mauritania) pernah berwasiat kepada anaknya :
لاَ تَقْبَلُوْا الْحَدِيْثَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ إِلَّا عَنْ ثِقَةٍ
Artinya: “Janganlah kalian menerima hadits dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kecuali dari orang yang tsiqoh (terpercaya)”. (Riwayat Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah dalam kitab Al-Kifaayah fi Ilmir Riwayah, Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah, wafat : 2 Desember 1071 M di Spanyol, dalam kitab At-Tamhid).
Para ulama dan guru² kita, sangat menjaga sekali sumber mata rantai keilmuannya. Oleh karena itu, dalam Islam kita tidak hanya disuruh memperhatikan sanad dalam urusan validitas / kebenaran riwayat teks atau matan sebuah hadits. Makna dan pemahaman yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dan hadits nabawi, juga harus didapatkan dari para guru dengan sanad (rantai) yang muttashil (terus bersambung) hingga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Perlu Ijazah Sanad
Asy-Syaikh As-Sayyid As-Syarif Al-Imam Yusuf Muhyiddin Riq Al-Bakhur Al-Hasani rahimahullah pernah menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan, tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Tanpa Guru
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Tayfur bin Isa bin Surusyan Al Busthami atau Imam Abu Yazid rahimahullah (804 – 874 M, Bastam, Iran) pernah berkata:
من لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ شَيْطَانٌ
Artinya: “Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka guru nya adalah setan”.
Ulama Al-ashaghir
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qasim dan Sa’id bin Nashr, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Qasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma’il At-Tirmidzi : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir ?” Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Ulama Dhoif dan Kaum Shahafi
Nashiruddin Al-Asad atau Syaikh Nashir Al-Asad rahimahullah, dalam kitabnya Mashadiru Asy-Syi’ri Al-Jahily, ketika membahas mengenai isnad atau jalur transmisi keilmuan, beliau mengatakan bahwa:
“Para ulama salaf menganggap dhaif atau lemah keilmuan seseorang yang hanya mengambil ilmu dari teks yang ada pada lembaran-lembaran tertulis tanpa merujuknya kepada para ulama.”
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif. Ulama dlaif (lemah) adalah orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As-Sunnah” bersandarkan muthola’ah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Dlaif adalah lawan dari kuat atau lawan dari tsiqah (terpecaya). Tsiqah adalah orang yang adil lagi dlabith; sedangkan dlaif merupakan isim yang berbentuk umum yang di dalamnya tercakup orang yang cacat dalam hal kedlabitan dan keadilan
Syaikh Nashir al-Asad juga menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja, tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama.
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan suatu pertanyaan : “Apakah orang yang otodidak dari kitab² hadits layak disebut ahli hadits ?”.
Beliau menjawab bahwa : “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab² saja tanpa berguru dan memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis² ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut SHAHAFI, yang diambil dari kalimat TASHHIF, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Kitab Mashadir Asy-Syi’ri Al-Jahili halaman 10).
Sedangkan mereka yang merasa atau mengaku ngaku mengikuti pemahaman Salaful Ummah atau Salafush Sholeh, namun pada kenyataannya mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.
Dusta Atas Nama Ulama Salaf
Maka, apa yang diklaim sepihak dan dikatakan oleh mereka sebagai “pemahaman Salafush Sholeh”, adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari ulama Tabi’ut Tabi’in, ulama Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka selalu atasnamakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Maka, mereka termasuk orang² yang mendustakan perkataan ulama salaf, dengan dua konsekuensi buruk sebagai berikut :
1. Mereka orang-orang yang merusak peninggalan para ulama seperti mengutip atau mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.
2. Mereka orang-orang yang tidak memiliki hak untuk menyampaikan atau menjelaskan perkataan ulama karena tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari ulama bersangkutan.
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena kebenaran dari Allah subhanahu wa ta’ala dan disampaikan oleh Rasul-Nya.
Kita tidak anti teknologi atau informasi keilmuan berbasis teknologi media. Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain², namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya, karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits.
Menjaga Tradisi Keteladanan
Sanad keilmuan dan keteladanan merupakan bagian integral dari tiga misi utama kenabian. Dengan sanad keilmuan, pengikut Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, juga berarti ikut mengembangkan budaya ittiba’ (mengikuti dengan dalil dan dasar keilmuan yang kuat) amal ibadah yang diteladankan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sanad keilmuan dalam berislam meniscayakan pentingnya sanad keteladanan.
Dalam berislam, sanad keilmuan saja tidaklah cukup, melainkan perlu dilengkapi sanad keteladanan, karena tidak semua ajaran Islam berada dalam wilayah ta’aqquli (rasional). Sebagian ajaran Islam bersifat ta’abbudi, harus dipahami dan diamalkan seperti yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam, tanpa menyoal rasiolitasnya.
Regulasi ibadah mahdah, misalnya tentang rukun, bacaan, gerakan, jumlah rakaat salat, waktu-waktu shalat, manasik haji dan umrah, rentang waktu puasa Ramadhan, dan sebagainya merupakan hak prerogatif Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, sanad keteladanan dari Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam menjadi keharusan dalam beribadah dan berakhlak mulia.
Sanad keteladanan, khususnya dalam berakhlak mulia, juga merupakan referensi moral profetik yang sangat penting dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan modern. Karena, misi utama pengutusan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia (HR. Imam bAhmad dan Imam Malik Rahimahumallah). Beliau memperbaiki keboborokan akhlak dan dekadensi moral Jahiliyah dngan mereformasi sistem teologi (akidah) dan dengan keteladanan terbaik (uswah hasanah).
Dengan sanad keilmuan dan keteladanan, umat Islam idealnya selalu menjadikan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebagai rujukan moral yang terus menginspirasi dan mencerahkan kehidupan. Bagi umatnya yang tidak pernah bertemu langsung dengannya, sanad keteladanan itu merupakan inspirasi kesalehan, kerinduan, dan kecintaan kepada beliau. Bersanad keteladanan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam tidak cukup dengan hanya memperbanyak shalawat kepadanya, tetapi juga harus dibarengi dengan meneladani kemuliaan integritas pribadi, keagungan akhlak, kejujuran tutur kata dan perbuatan, kehebatan kepemimpinan dan kenegarawanannya.
Sanad keilmuan dan keteladanan mengharuskan kita untuk mengaktualisasikan multi-kesalehan dalam ruang kehidupan, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menjadi saleh personal saja tidaklah cukup, karena kesalehan yang diteladankan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam itu diwujudkan dalam semua aspek kehidupan.
Dengan kata lain, dalam bersanad keteladanan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, pengikut Nabi dituntut mampu mewarisi keilmuan (para ulama itu pewaris para Nabi) dan melanjutkan peran kenabian dalam memajukan kemanusiaan dan peradaban.
Menjaga Tradisi Sanad
Kegiatan-kegiatan ngaji-ngajinya para ulama yang berbasis turats (seperti kitab peninggalan keilmuan para ulama dahulu) harus di lestarikan, termasuk tradisi di pondokw pesantren, hal ini adalah upaya untuk merawat tradisi ulama pendahulu dalam memegang sanad-sanad keilmuan yang diberikan oleh guru-gurunya.
Hal ini penting, karena kualitas keilmuan seseorang (murid), sangat dipengaruhi oleh guru-gurunya yang memiliki sanad yang kuat. Karena kualitas ilmu seseorang sangat dipengaruhi oleh guru.
Sebagai contoh, salah satu ulama dahulu namanya Syekh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz bin Zainuddin bin ‘Ali Al-Malibari Al-Fannani Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 987 H / 1579 M di India), bahwa ia seringkali mengutip fatwa gurunya yaitu Al-Imam Al-Faqih Al-Mujtahid Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-Salmunti al-Haitami Al-Azhari Al-Wa’ili As-Sa’di Al-Makki Al-Anshari Asy-Syafi’i atau Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah ( 1503 M Mesir – 1566 M Jannatul Mualla Mekkah), dalam merespons suatu masalah tanpa sanggahan, meskipun ia juga mengutip pendapat ulama lain dalam masalah tersebut.
Begitupun para kyai-kyai di pesantren, yang selalu menjaga, merawat dan mengembangkan tradisi keilmuan sekaligus keteladanan para guru-gurunya hingga bersambung kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Mari, kita jaga tradisi sanad ini dengan terus mengajarkan metode belajar agama secara talaqqi (bertatap muka) kepada para guru yang sanad keilmuan jelas bersambung, tinggi akhlaknya dan menjadikan agama sebagai ladang berjuang membangun peradaban dan kemaslahatan umat, bukan ladang vonis menyesatkan orang lain dengan merasa paling benar. Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat !!
Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik