Histori Ulama Tabi’in: Menghidupkan Malam Nisfu Syaban

Laduni.ID, Jakarta – Nisfu Sya’ban adalah peringatan pada tanggal 15 bulan kedelapan (Sya’ban) dari kalender Islam. Nama-nama ini diterjemahkan menjadi “malam pengampunan dosa”, “malam berdoa” dan “malam pembebasan”, dan sering kali diperingati dengan berjaga sepanjang malam untuk beribadah, berdzikir, membaca Alquran, bershalawat dan muhasabah diri.

Nama Lain Nisfu Sya’ban

1. Lailat Al-Baraa (malam pengampunan dosa):
2. Lailat Ad-Du’a (malam berdoa);
3. Nim Sha’ban di Afghanistan dan Iran;
4. Nisf Sha’ban (Pertengahan Sya’ban) di negara² berbahasa Arab
5. Nisfu Sya’ban di negara-negara berbahasa Melayu;
6. Shab-e-Baraat di India, Pakistan, dan Bangladesh, yang berarti Malam Pengampunan Dosa;
7. Berat Kandili di Turki; dan
8. Wulan Ruwah di Jawa, yang berarti bulan arwah, digunakan untuk mengirim do’a kepada para leluhur agar mendapat pengampunan dosa.

Orang Pertama Membudayakan

Seorang ulama bernama Asy-Syaikh As-Sayyid Abu Al-Fadhl Abdullah bin Muhammad bin Ash-Siddiq Al-Ghumari Asy-Syadziliyyah rahimahullah (wafat 1993 M di Maroko) menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan keutamaan-keutamaan malam tersebut. Risalah itu beliau namai dengan judul Kitab Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban.

Risalah ini disarikan dari beberapa kitab² besar terkait. Seperti kitab Al-Idhah karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (1503 M, Mesir – 1566 M, Jannatul Mualla Mekkah), kitab Maa Ja’a fi Syahri Sya’ban karya Al-Hafidh Abul Khattab Dihyah Al-Andalusi rahimahullah (wafat 1207 M Maroko) dan kitab Fi Lailatin Nishfi karya Imam Ali Al-Ajhuri Al-Maliki Al-Mishri rahimahullah (wafat 1655 M di Mesir)

Menurut Syekh Abdullah Al-Ghumari, keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini, sebenarnya sudah populer sejak dulu, terutama era generasi tabi’in. Saat malam itu tiba, orang-orang akan menghidupkan malam dengan beribadah, memanjatkan doa dan membaca dzikir-dzikir.

Peneliti Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Zarkasih Lc menyampaikan siapa orang pertama yang membudayakan beribadah untuk menghidupkan malam nisfu Syaban, maka jawabannya sudah diberikan oleh Abul Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin Ahmad ibn Rajab ibn Abdurrahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abi al Barakat Mas’ud al Hafidz Zainuddin  Al-Baghdadi Ad-Dimasyqi Al-Hanbali atau Imam Ibnu Rajab rahimahullah (4 November 1335 M, Bagdad, Irak – 14 Juli 1393 M di Damaskus, Suriah).

Ibnu Rajab rahimahullah salah satu ulama kondang dari Madzhab Al-Hanabilah, dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’arif fima li Mawasim Al-Aam min Al-Wadha’if sebagai berikut :

“Beliau menyebutkan bahwa budaya menghidupkan malam nishfu Syaban itu, salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang ahli ibadah, beliau adalah Al-Imam Abu Abdullah Khalid bin Ma’dan bin Abi Karb Al-Kila’iy rahimahullah (Wafat 104 H / 722 M di Homsh Syuriah).”

Imam Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata : “Para tabi’in negeri Syam seperti Khalid bin Ma’dan Makhul, Luqman bin ‘Amir dan selainnya mengagungkan malam Nishfu Sya’ban, dan bermujahadah dengan beribadah di dalamnya. Sungguh dikatakan, mereka telah menerima beberapa atsar israiliyah. Kemudian ketika di berbagai negeri hal tersebut terkenal berasal dari para tabi’in tersebut, maka para tabi’in yang lain menerimanya dan dan mengikuti mereka dalam mengagungkan malam Nishfu Sya’ban, termasuk sekelompok ahli ibadah Kota Bashrah dan selainnya.”

Khalid Bin Ma’dan

Ulama² besar tabi’in negeri Syam, Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah adalah seorang ulama besar hadits perawi dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Abu Abdullah Abu Ayyub Abu Muslim Makhul Asy-Syami rahimahullah (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Imam Luqman bin ‘Amir rahimahullah (Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, menilainya perawi yang jujur) dan sebagainya, mereka mengagungkannya dan beribadah di malam tersebut.

Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah masa hidupnya seangkatan dengan Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad Al-Auza’i atau Imam Al-Auzai rahimahullah (707 M,  Damaskus, Suriah – 774 M, Beirut, Libanon) dan Imam Makhul, yang menyebarluaskan amalan Nishfu Sya’ban.

Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah, yang dalam daftar rijal ulama hadits, beliau masuk dalam kategori tsiqah, dan terkenal bahwa beliau ini orang ahli ibadah yang sangat wara’ dan zuhud. Lahir di Yaman, akan tetapi lama tinggal di Hamsh, Syam dan wafat di situ.

Beberapa ulama besar hadits, seperti : Imam Al-‘Ajli, Imam Ya’qub bin Ibnu Syaibah, Muhammad bin Sa’d, Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu Hibban rahimahumullah sepakat, bahwa Imam Khalid Bin Ma’dan Al-Kila’i adalah ulama Tabi’i Tsiqoh.

Beliau pernah berguru tidak kurang dari 70 Sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, di antaranya: Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu (wafat 678 M di Jannatul Baqi’Madinah) dan Mu’adz bin Jabbal radliyallahu anhu (603 H Madinah – 639 M di Yordania)  Pengalaman spiritual Khalid bin Ma’dan lebih banyak ditimba dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu. Sang guru mengajarinya menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang berjiwa rendah hati, tak sombong dan congkak.

Wejangan Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu tersebut, sangat membekas dalam hati Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah, sehingga beliau dikenal sebagai ulama yang tak ingin menonjolkan diri. Demikian dikatakan Hubaib bin Shalih rahimahullah.

Makhul Asy-Syami

Imam Makhul asy-Syami, kunyahnya Abu ‘Abdillah, ada juga yang mengatakan Abu Ayyub, ada juga yang mengatakan Abu Muslim. Beliau adalah seorang Faqih besar dari Damaskus. Guru²nya di bidang periwayatan hadits adalah Abu Mundzir Ubay ibn Ka’ab Al-Khazraj Al-Anshari (wafat 649 M), Abu Hamzah Anas ibn Malik Al-Anshari (wafat 712 M di Basrah Iraq), Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb Al-Makhzumi Al-Qurasyi rahimahullah (642 – 715 M, Jannatul Baqi’ Madinah), Malik ibn Yakhamir As-Saksaki rahimahullah, dan banyak lagi yang lainnya.

Sedangkan murid²nya di bidang periwayatan hadits adalah Ibrahim ibn Abi Hanifah Al-Yamaniy, Usamah ibn Zaid, Ismail ibn abi Bakar, Tsabit ibn Tsauban , dan banyak lagi lainnya.

Pernyataan para ulama kritikus hadits tentang dirinya, seperti : Muhammad ibn ‘Abdullah ibn ‘Amma’, ImambAl-‘Ijliyu, Imam Ibnu Khirasy dan lainnya berkata : Makhul adalah seorang ulama tabi’in dan Imam dari negeri Syam yang tsiqah, shaduq.

Abu Sa’id ibn Yunus berkata : Beliau wafat pada tahun 118 H / 736 M di Syuriah. Dalam kitabnya Al-A’lam (2/299), Asy-Syaikh Khairuddin bin Mahmud bin Muhamamd Ali bin Faris Az-Zirikli Ad-Dimsyaqi atau Imam Az-Zirikli rahimahullah (wafat 1396 H / 1976 M) yang menukil cerita dari Abul Qasim Al-Hafidh Tsiqatuddin Ali bin Abi Muhammad Al-Husain bin Hibatullah bin Abdullah bin Al-Husain Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i atau Imam Ibnu Asakir rahimahullah (wafat 25 Januari 1176 M di Damaskus, Suriah), beliau (Ibnu Asakir) menyebutkan bahwa Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah ini, adalah ulama yang rajin sekali bertasbih. Bahkan ketika beliau sekarat pun, tangannya terlihat bergerak seperti sedang bertasbih.

Dari kebiasaan yang dilakukan oleh Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah tersebut, lalu diikuti oleh ulama syam lainnya, Imam Makhul rahimahullah, juga Imam Luqman bin ‘Amir rahimahullah, yang akhirnya kebiasaan itu diikuti oleh para masyarakat muslim pada umumnya.

Atas dasar itulah, jika ulama hadits setingkat Imam An-Nasa’i An-Naisaburi Asy-Syafi’i rahimahullah saja mengakui kebenaran yang diriwayatkan Imam Khalid bin Ma’dan rahimahullah, maka siapalah kita ?? kok menafikan ketokohannya ??

Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (wafat 720 M) pernah mengirim surat untuk Gubernur Bashrah yang menghimbau untuk memanfaatkan empat malam yang ‘dibanjiri’ rahmat Allah subhanahu wa ta’ala; malam pertama Rajab, malam Nisfu Syaban, dan dua malam hari raya.

Sementara Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i atau Imam Syafi’i rahimahullah (wafat 820 M di Mesir) juga meriwayatkan, ada lima malam yang doa akan mudah dikabulkan; malam Jumat, dua malam hari raya, malam pertama Rajab dan malam Nisfu Syaban.

Kemuliaan Nisfu Syaban juga dikupas tuntas oleh Ahmad bin Hijazi al-Fasyani (wafat 978 H / 1570 M) dalam kitabnya Tuhfah al-Ikhwan Fi Qira’ah al-Miʻad Fi Rajab wa Syaʻban wa Ramadhan, saat menukil 21 nama lain malam Nisfu Syaban yang disusun oleh Abu al-Khair Ath-Thaliqani rahimahullah (wafat 590 H / 1194 M). Imam Al-Fasyani menguraikan satu per satu nama itu disertai dengan riwayat² hadis yang menjadi landasan penamaan malam tersebut.

Namun sebenarnya, kalangan sahabat Nabi, sudah mengetahui keagungan malam Nishfu Sya’ban, sebagaimana riwayat berikut :

Seorang sejarawan Muslim awal dan penulis biografi Nabi Muhammad khususnya tentang kemiliteran dan peperangan zaman Nabi, Abu Abdullah Muhammad bin Umar Al-Waqidi atau Imam Al-Waqidi rahimahullah (wafat 823 M di Baghdad Irak) berkata :

“Di dalam pasukan ini bersama Abdullah bin Ja’far (bin Abdul Mutallib), ada Watsilah bin Asqa’. Kedatangan mereka ke Syam, yakni Damaskus ke daerah Abi Quds, adalah di malam Nishfu Sya’ban. Rembulan makin bersinar. Watsilah berkata: Saya berada di dekat Abdullah bin Ja’far. Ia berkata kepada saya: “Wahai putra Asqa’, betapa indahnya dan bersinarnya rembulan malam ini”. Saya berkata: “Wahai sepupu Rasulullah . Ini adalah malam Nishfu Sya’ban, malam yang diberkahi nan agung. Di malam inilah rezeki dan ajal akan dicatat.

Di malam ini pula dosa dan kejelekan akan diampuni. Saya ingin beribadah di malam ini”. Saya berkata: “Perjalanan kita di jalan Allah (perang) lebih baih dari pada beribadah di malamnya. Allah Maha Agung pemberiannya”. Abdullah bin Ja’far berkata : “Kamu benar” (Imam al-Waqidi rahimahullah, dalam kitab Futuh Asy-Syam, 1/74).

Secara jelas dalam riwayat diatas, para sahabat sudah punya rencana untuk melakukan amaliyah di malam Nishfu Sya’ban. Namun, karena para sahabat harus berperang untuk penaklukan negeri Syam, maka mereka mendahulukan Jihad.

Apakah hanya 2 sahabat saja ? Tidak, ternyata yang tergabung dalam pasukan tersebut terdiri atas beberapa sahabat besar : “Pasukan berkuda terdiri dari 500 orang, diantaranya adalah para sahabat yang mengikuti perang Badar. Diantara yang menyertai perjalanan Abdullah bin Ja’far adalah Abu Dzar al-Ghifari, Abdullah bin Abi Aufa, Amir bin Rabiah, Abdullah bin Anis, Abdullah bin Tsa’labah, Uqbah bin Abdillah as-Sulami, Watsilah bin Asqa’, Sahal bin Sa’d, Abdullah bin Bisyr dan Saib bin Yazid” (Kitab Futuh Asy-Syam, 1/72)

Kendati para sahabat belum melakukannya, namun melakukan amaliyah ini bukan kategori bid’ah. Sama seperti sunnah ‘azm (rencana kuat) dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam untuk berpuasa pada hari Tasua’ (9 Muharram), namun Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam wafat terlebih dahulu : “Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan” (HR. Imam Muslim rahimahullah).

Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghumari, para ulama berbeda pendapat soal bagaimana prosedur yang tepat untuk menghidupkan malam mulia itu. Apakah bisa dilakukan dengan bersama-sama (berjama’ah) atau harus sendiri² ? Apakah menambahkan ibadah di dalamnya termasuk bid’ah atau tidak ? Semuanya memiliki argumen masing².

Ulama Syam berbeda² dalam melakukan ibadah malam Nishfu Sya’ban. Pertama, dianjurkan dilakukan secara berjamaah di masjid². Misalnya Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lainnya, mereka memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, memakai celak mata dan berada di masjid. Hal ini disetujui oleh Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih Al-Maruzi Al-Handzali atau Imam Ishaq bin Rahuwaih rahimahullah (salah satu Imam Madzhab yang muktabar dan murid Imam Syafi’i), dan beliau mengatakan tentang ibadah malam Nishfu Sya’ban di masjid secara berjamaah : “INI BUKAN BID’AH”. Dikutip oleh Al-Imam Al-‘Allamah Al-Faqih Abu Muhammad Harb bin Isma’il Al-Karmani atau Imam Harb Al-Karmani rahimahullah ( wafat 893 M) dalam kitabnya Al-Masail.

Kedua, dimakruhkan untuk berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban untuk shalat, mendengar cerita² dan berdoa. Namun tidak dimakruhkan jika seseorang shalat (sunnah mutlak) sendirian di malam tersebut. Ini adalah pendapat Imam Al-Auza’i, Imam ulama Syam, ahli fikih yang alim. (Syaikh Abu Al-‘Abba Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Malik bin Al-Qasthalani Al-Qutaibi Al-Mishri Asy-Syafi’i atau Imam Al-Qasthalani rahimahullah (wafat 1517 M di Kairo Mesir) dalam kitab Mawahib Al-Ladunniyah Bil Minahil Muhammadiyah (II / 259), yang mengutip dari Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, 151).

Melihat realita itu, Syekh Abdullah Al-Ghumari, lebih memilih pendapat yang tidak memberatkan. Mungkin, Syekh Abdullah tidak ingin memberatkan masyarakat yang sudah mendarah daging melakukan amalan² malam Nisfu Sya’ban. Sehingga beliau memilih pendapat yang tidak mengusik masyarakat. Beliau memilih untuk tidak membid’ahkan.

Meskipun dalil² tentang amalam malam Nisfu Sya’ban itu berupa hadis dha’if, atau bahkan mungqathi’, itu sudah dianggap cukup karena amalan malam Nisfu Sya’ban merupakan dari fadha’ilul a’mal (bentuk amal ibadah yang dianjurkan sebagai pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala).

Akhirnya yang mengerjakan amalan ini, bukan hanya sekitaran daerah Syam, akan tetapi hampir seluruh pelosok negeri Islam di dunia melakukan kebiasaan menghidupkan malam nisfu Sya’ban ini.

Karena memang ada haditsnya dan itu shahih, maka tidak mengapa jika kemudian ada orang yang melakukan amalan ibadah guna meraih fadhilah dan keutamaan malam ini. Sama seperti waktu sahur yang ada fadhilahnya, maka muslim berusaha keras untuk meraih fadhilah tersebut dengan memperbanyak ibadah dan dzikir.

Kami menghimbau, jika ada perbedaan pendapat dalam suatu amalan ibadah, dikarenakan hadits yang menjadi rujukan sebagian ulama hadits menyatakan dhaif (lemah). Namun, jikalau derajat haditsnya dhaif, sebagian ulama berpendapat bahwa amalan yang terkandung dalam hadits dhaif, tetap bisa diamalkan bila dalam rangka mendorong amal baik dan kedhaifannya tidak signifikan.

Kami mengimbau agar masyarakat bersikap bijak, karena perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal biasa sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Hadits dhaif, ada yang menolaknya dalam segala hal. Tetapi ada juga yang menerima kalau untuk fadhail a’mal, mendorong amalan-amalan yang baik. Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat !!


Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik

https://www.laduni.id/post/read/74620/histori-ulama-tabiin-menghidupkan-malam-nisfu-syaban.html