Selain memiliki ilmu yang sangat luas dan mendalam, para ulama salaf juga menjadi teladan yang tidak henti-hentinya dijadikan panutan dalam menjalani hidup di dunia. Khususnya dalam beragama dan melihat jejaknya ketika belajar dan perjuangannya melawan semua rintangan dan ujian ketika mencari ilmu. Mereka juga menjadi penuntun dan inspirator.
Riwayat dan napak tilas para ulama salaf sangat penting untuk diketahui. Selain sebagai teladan, juga sebagai bukti bahwa di balik kesuksesan mereka tidak lahir dari ruang hampa, berbagai ujian, rintangan, cobaan dan yang lainnya, mereka lewati dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Dengannya, generasi saat ini bisa mengambil pelajaran di balik kesuksesan dan berhasilnya para ulama tempo dulu dalam mencari ilmu.
Di antara sekian banyak ulama yang sangat menginspirasi dan menjadi teladan sepanjang masa itu adalah Imam Abu Fattah al-Muni’i. Kisah dan riwayat ulama yang satu ini begitu menginspirasi, selain sebagai ulama yang sangat luas pengetahuannya, ia juga memiliki riwayat belajar di usianya yang sudah mendekati senja.
Nama lengkapnya adalah Imam Abdur Razaq bin Hasan Sa’id al-Muni’I an-Naisaburi. Beliau lahir di Negara yang mayoritas penuh keilmuan, yaitu Naisabur, sekaligus sebagai salah satu guru yang memiliki peran sangat sistematis untuk mencetak kader-kader alim di kota itu. Oleh karenanya, afiliasi nama ketokohannya merujuk pada kota Naisabur.
Kendati pun namanya hingga kini tetap harum dan selalu dikenang sepanjang zaman, namun tanah kelahiran dan tahun ulama yang satu ini belum ditemukan catatan tegas yang telah ditulis oleh ulama-ulama sejarah tentang semua itu. Tidak ada riwayat yang penulis temukan secara pasti perihal tahun kelahiran hingga wafatanya.
Akan tetapi, dengan menelisik jalan hidupnya, Imam Taqiyuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad as-Shirfini (wafat 641 H) dalam kitabnya yang berjudul, al-Muntakhab min Kitabi as-Siyaqi li Tarikhi Naisaburi, halaman 391, menengarai bahwa Imam Abu Fattah al-Muni’i dilahirkan sekitar paruh pertama abad keempat, tepatnya pada tahun 422 H, dan wafat pada tahun 491 H, kemudian dimakamkan di kota Naisabur, sebagaimana nisbat pada namanya, an-Naisaburi.
Betapa pun demikian, Abu Fattah al-Muni’i merupakan merupakan sosok yang tumbuh di bawah kerajaan, orang tuanya memiliki profesi sebagai pembantu istana pada masa itu. Dengan keadaan seperti ini, ayahnya lebih mendukung putra semata wayangnya untuk tumbuh menjadi orang kaya yang perjalanan keilmuannya kurang mendapat perhatian.
Abu Fattah kecil menuruti semua apa yang diperintahkan ayahnya. Sejak kecil, keinginan untuk menjadi orang alim sama sekali tidak terbesit dan tidak tergambar dalam dirinya. Ia selalu fokus untuk bekerja membantu kerajaan. Kisah ini terus berlanjut sampai usianya sudah sangat tua.
Sebagai salah satu pembantu di kerajaan pada masa itu, ia mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat. Semua memandangnya sebagai pejabat yang harus dihormati dan dimuliakan.
Akan tetapi, suatu suatu saat Abu Fattah al-Muni’i melihat masyarakat di kota Naisabur berbondong-bondong untuk keluar dengan pakaian sangat rapid an sopan, bahkan pakaian dan kesopanannya melebihi pemuliaan pada rajanya.
Melihat reaksi masyarakat itu, Abu Fattah langsung kaget, dalam benaknya mengira ada raja lain yang lebih hebat dan kerajaannya lebih besar dari rajanya sendiri yang akan mendatangi dan memasuki wilayah Naisabur. Akan tetapi, benarkah demikian?
Maka jawabannya tidak. Banyaknya masyarakat yang berbondong-bondong menuju suatu tempat itu membuat hati Abu Fattah untuk mengikuti dan menelusuri siapa yang akan mereka temui. Ternyata, masyarakat hanya hendak mengaji dan menyerap ilmu dari Imam al-Qadhi Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Marudi, salah satu ulama yang sangat alim dan memiliki ilmu tasawuf sangat dalam pada masa itu.
Sesampainya di tempat, tepatnya di rumah Imam Abu Hasan, ia mencoba mendengarkan apa yang disampaikan oleh Imam Besar Naisabur tersebut. Ia mendengarkan dengan fokus, memperhatikan setiap ilmu dan hikmah yang disamaikan olehnya.
Syahdan, setelah mendengarkan beberapa ilmu yang disampaikan oleh Imam Abu Hasan, Allah memberi hidayah kepadanya, dan senang dengan ilmu. Bahkan, ia meninggalkan tugas yang ada di kerajaan, dan fokus mendedikasikan dirinya untuk ilmu. Semangatnya untuk mendapatkan ilmu yang banyak sangat tampak saat itu.
Di saat yang bersamaan, usia Abu Fattah al-Muni’i sudah mendekati usia senja, 40 tahun, bukan usia yang layak untuk belajar, bahkan di usia itu, sudah seharusnya ada di posisi menjadi Imam, Syekh, dan Guru. Akan tetapi tidak dengan Abu Fattah, justru ia masih memulai belajarnya dari nol.
Semangatnya sangat tinggi, bahkan semua kekayaan dari hasil kerjanya di kerajaan ia tinggalkan, jabatannya ia hiraukan, ia fokus untuk belajar dan mendalami ilmu Allah yang sangat luas. Tidak ada nilai dunia sedikit pun dalam hatinya. Harta, tahta, dan jabatan menjadi tidak penting baginya.
Dengan semangatanya yang tinggi, dan keinginan untuk menjadi orang alim yang besar, akhirnya ia oleh Allah ditakdir menjadi orang yang sangat alim. Setelah belajar dari Imam Abu Hasan, ia menjadi sosok yang sangat alim dan disegani di wilayah Naisabur. Jika dulu masyarakat hormat kepadanya karena jabatannya sebagai salah satu ajudan raja, maka saat ini semua orang tunduk dan hormat kepadanya karena keluasan ilmu yang ada dalam diri Imam Abu Fattah.
Demikian potret perjalanan intelektual dari Imam Abu Fattah al-Muni’i, mulai dari masa kecilnya hingga menjadi ajudan raja. Ia dikenal sebagai sosok yang tidak memperhatikan ilmu, bahkan tak sedikit pun ada keinginan untuk menjadi orang yang alim. Keinginan itu muncul dalam dirinya ketika usia yang sudah sangat tua.
Akan tetapi, ia tidak menyia-nyiakan usianya sekalipun harus meninggalkan semua harta dan jabatannya di kerajaan. Oleh karenanya, ia tumbuh menjadi sosok yang sangat alim di usianya yang mendekati senja.