Laduni.ID, Jakarta – Berkaitan hal ini salah seorang murid Syekh Ibrahim al-Bajuri, yaitu Syekh Muhammad bin Abdullah al-Jardani (wafat 1307 H) dari Mesir merilis riwayat.
Suatu ketika ada sahabat mendatangi Nabi SAW untuk mengadukan dosa besar yang terlanjur dilakukannya. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah melakukan dosa yang sangat besar, lalu apa yang dapat meleburnya dariku?” “Apakah dosamu lebih besar daripada langit?” tanya Nabi SAW.
“Lebih besar dosaku”, jawab sahabat tersebut. “Apakah lebih besar daripada Kursi. Apakah lebih besar daripada Arsy ,” selidik Nabi SAW.
“Lebih besar dosaku”, jawab sahabat itu sebagaimana jawaban pertama. “Kalau dengan ampunan Allah?” sergah Nabi SAW. “Ya lebih besar ampunan Allah SWT”, jawabnya kali ini.
Setelah sahabat tersebut menyadari bahwa seberapa besar pun dosanya, ampunan Allah tetap lebih besar, maka Nabi SAW memberitahukan kepadanya berbagai amal yang dapat melebur dosanya itu. Nabi SAW bersabda, “Jihadlah fi sabilillah.”
Namun di luar dugaan sahabat itu justru menolaknya karena keberatan. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku termasuk orang yang paling penakut, andaikan tidak ada keluarga yang menemaniku keluar rumah di malam hari, niscaya aku tidak akan keluar sama sekali.” “Kalau begitu kamu puasa,” gumam Nabi SAW.
“Demi Allah, wahai Rasulullah, aku sama sekali tidak bisa kenyang dengan makan roti (sama sekali tidak mampu berpuasa),” elak sahabat tersebut. “Kalau begitu kamu shalat malam,” Nabi SAW memberi alternatif amalan. “Wahai Rasulullah, andaikan keluargaku tidak membangunkanku untuk shalat subuh, aku pun tidak bisa bangun untuk melakukannya (untuk shalat subuh saja sangat berat, apalagi shalat malam),” jawab sahabat itu penuh kejujuran.
Bukannya marah, mendengar jawaban yang penuh kejujuran ini Nabi SAW justru tersenyum hingga kelihatan giginya. Penuh kasih sayang, Nabi SAW pun memberi alternatif amalan yang sangat ringan untuk menjadi pelebur dosa yang telah dilakukan sahabatnya.
Nabi SAW akhirnya bersabda: “Kalau begitu, bacalah selalu dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan amal dan sangat disukai Allah Sang Maha Pengasih, yaitu: ‘Subhanallahi wa bi hamdihi, subhanallahil ‘adhim’.” (Muhammad bin Abdullah Al-Jardani, Al-Jawahir al-Lu’lu’iyyah fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyyah, (Manshurah, Maktabah al-Iman), halaman 164-165).
Rilis riwayat ini selaras dengan hadis yang menyatakan bahwa kebaikan dapat menghapus keburukan.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جُنادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَانِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنهما، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal ra, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: ‘Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan susulkanlah kebaikan pada keburukan yang dapat meleburnya, dan berperilakulah terhadap manusia dengan akhlak yang baik.” (HR at-Tirmidzi, dan ia berkata: Ini hadis hasan).
Walhasil dari kisah ini dapat diambil pelajaran, bahwa sebesar apapun dosa yang terlanjur dilakukan, baik dosa konvensional maupun dosa digital, manusia tidak boleh putus asa dari ampunan Allah yang pasti lebih besar daripada dosanya. Selain itu, kisah di atas juga menunjukkan begitu besarnya kasih sayang Nabi SAW terhadap manusia. Bahkan terhadap pendosa pun, Nabi SAW tetap menampakkan senyuman lepas penuh kasihnya. Wallahu a’lam.
Source: Muhammad bin Abdullah Al-Jardani, Al-Jawahir al-Lu’lu’iyyah fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyyah, (Manshurah, Maktabah al-Iman), halaman 164-165.