Laduni.ID, Jakarta – Pertanyaan ini ringan, tapi banyak juga yang menjawabnya kurang tepat. Sebenarnya apa sih konteks kita wajib tabayyun dan tidak perlu tabayyun? Yuk kita bahas satu persatu.
1. Wajib Tabayyun
Seseorang diwajibkan tabayyun ketika mendengar pernyataan tidak langsung, dalam arti misalnya anda mendengar bahwa si B berbicara begini dan begitu tetapi anda tidak mendengarnya langsung, namun melalui penuturan si A. Maka, sebelum mengambil keputusan atau kesimpulan, anda wajib bertabayyun ke si B dulu apa betul dia berkata demikian dan maksudnya seperti penuturan si A. Kasus seperti inilah yang melatarbelakangi turunnya Qs. al-Hujurat ayat 6 yang terkenal itu.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujarat: 6)
Skema “mendengar tidak langsung” ini juga merupakan kebanyakan kasus yang disidang di pengadilan, sehingga majelis hakim selalu mengundang saksi mata atau pelaku untuk bertabayyun sebelum memutuskan.
Kasus lainnya yang juga wajib tabayyun adalah ketika berurusan dengan vonis kafir atau murtad. Ini kasus yang sangat serius, sehingga meskipun misalnya anda mendengar langsung sebuah statement dari seseorang yang dapat ditafsirkan membuat dia murtad atau jatuh kafir, maka haram divonis murtad apabila masih ada celah bahwa tafsiran anda keliru. Dalam kasus ini wajib bertabayyun dulu ditanyakan apa maksud pernyataan itu. Dan, ini seharusnya dilakukan oleh seorang Kadi (hakim) di pengadilan.
2. Tidak perlu tabayyun
Tidak perlu tabayyun ketika skemanya seperti kasus pertama di atas, namun sumber yang menyampaikan adalah sumber yang betul-betul kredibel (‘adil). Misalnya anda mendengar keterangan resmi polisi bahwa Si A adalah pelaku kejahatan yang ditangkap berdasarkan barang bukti yang ada, maka anda bisa mempercayainya tanpa harus bertanya terlebih dahulu kepada si A apa betul kejadiannya seperti itu. Para ulama tafsir juga membahas hal ini dalam tafsir mereka terhadap Surat al-Hujurat ayat 6 di atas.
Kasus lain yang mirip dengan ini adalah ketika anda mendengar rekaman video, yang isinya jelas menyatakan suatu hal atau jelas merekam suatu kejadian tanpa ada kecurigaan adanya manipulasi. Maka anda dapat langsung menarik kesimpulan tanpa perlu tabayyun terlebih dahulu, sebab rekaman video semacam itu dianggap kredibel. Kasusnya sama dengan melihat dan mendengar secara langsung. Bahkan rekaman kadang lebih jujur daripada pernyataan manusia saat ditabayyuni.
Jadi, jangan asal nyuruh orang lain tabayyun dulu dalam segala hal. Perintah semacam itu ada konteksnya yang realistis. Jangan juga tebang pilih soal ini. Giliran yang terkena kasus adalah musuhnya, maka langsung divonis salah meski belum jelas betul. Tapi giliran yang terkena kasus adalah idolanya, maka langsung diminta tabayyun meskipun sudah jelas dan nyata bukti-buktinya.
Dalam kasus tulisan-tulisan saya ketika saya menyimpulkan bahwa ini salah itu salah, semuanya berdasarkan bukti kredibel yang meyakinkan, yang membuat saya tidak perlu tabayyun lagi. Apabila itu hanya katanya-katanya, maka tidak saya tulis sebab saya tahu betul bahwa yang semacam ini perlu tabayyun dulu.
Adapun ketika ada pihak yang merasa bahwa kesimpulan saya salah berdasarkan bukti lain yang lebih kuat yang menyatakan sebaliknya, maka silakan dia yang klarifikasi dan saya akan dengan senang hati mengubah kesimpulan saya.
Semoga bermanfaat.
Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad
Dikutip dari unggahan FB Kiai Abdul Wahab Ahmad pada 24 Maret 2022
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/74687/kiai-abdul-wahab-ahmad-memahami-konteks-tabayyun.html