Laduni.ID, Jakarta – Sekitar tahun 1998, saya pernah tinggal dan berdagang di Jakarta, tepat di Jatinegara, Jakarta Timur. Di dalam etalase dagangan ada gambar Abah Guru Sekumpul yang saya pajang. Singkat cerita, datang seorang laki-laki setengah baya yang bertanya kepada saya. Sebelumnya ia selalu melihat ke dalam etalase yang di dalamnya ada gambar Abah Sekumpul.
“Bang, gambar siapa ini? tanya dia kepada saya.
“Oh, ini gambar ulama besar dari Martapura, Kalimantan,” jawab saya.
“Saya juga punya gambar ini di rumah, tapi bukan punya saya,” ucapnya.
“Saya ini seorang pelukis, dan kebetulan saya disuruh oleh seorang habib di Jakarta ini untuk melukis wajah beliau,” ungkapnya.
Sejenak ia terdiam memperhatikan saya, seakan-akan ada yang ingin ditanyakan.
“Ampun, mohon maaf,” katanya.
“Tidak apa-apa, silahkan apa yang ingin mas tanyakan,” kata saya kepadanya.
“Saya ini berprofesi sebagai pelukis, gambar siapapun bisa saya lukis. Banyak lukisan orang yang saya lukis dan lukisan saya sudah ada di mana-mana. Tapi saya heran, kenapa saya tidak bisa melukis wajah beliau (Abah Sekumpul). Padahal sudah berbulan-bulan saya kerjakan, saya jadi malu dengan habib yang memesan lukisan ini dan habib tersebut mendesak terus kapan lukisannya selesai,” ungkapnya.
Saya tatap wajahnya, saya juga merasakan adanya kejujuran di hatinya dan ada satu perasaan yang tidak dia ungkapkan. Akhirnya, saya beranikan diri untuk bertanya kepadanya.
“Mas agamanya apa?” tanya saya.
“Agama Islam,” katanya.
“Rajin shalat?” dia hanya tersenyum. Saya kembali menanyakan suatu hal, “Suka hiburan malam?”
“Biasalah, ini Jakarta,” katanya.
“Masih suka minum (mabuk-mabukkan)?” dia hanya mengangguk.
“Ampun maaf, bolehkah saya menasehati mas sedikit saja. Karena mas ini agamanya Islam, mas adalah saudara saya juga,” kata saya.
“Mas jangan tinggalkan shalat, kebiasaan buruk yang sering dilakukan sebaiknya ditinggalkan. Perbanyak juga shalawat sebelum melukis, dan tidak lupa untuk menghadiahkan Al-Fatihah kepada Abah Guru Sekumpul. Insyaallah mas bisa menulis wajah beliau,” lanjut saya menasehatinya.
Saya lihat di wajahnya ada rasa bahagia dan rasa penasaran ingin tahu siapa sebenarnya Abah Guru Sekumpul semakin kuat.
“Seumur hidup saya sebagai pelukis, baru ini saya tidak dapat melukis gambar wajah beliau,” katanya.
Dia berkata kalau ingin sekali pergi ke Martapura, Kalimantan untuk bertemu Abah Guru Sekumpul. Ada kerinduan yang amat terasa saat dia menyebut nama Abah Guru Sekumpul. Kami pun akhirnya berpisah dan saling mendoakan satu sama lain.
Disadur dari unggahan FB Permenhack pada 26 Maret 2022
Sumber gambar: Twitter @Fihrikamal
Editor: Daniel Simatupang