Laduni.ID, Jakarta – Belakangan isu agama jadi ramai ketika agama dijadikan tameng kepentingan pihak tertentu. Isu agama dihembuskan, seolah dengan isu itulah mampu membelokan perhatian dan konsentrasi rakyat pada yang lainnya. Misal berkaitan politik dan ekonomi.
Dari sisi lain, rupanya dengan mengendarai isu agama ada yang diuntungkan, yaitu mempopulerkan formalitas agama negara. Dengan begitu mereka hendak mengatakan bahwa sistem demokrasi itu sampah, bahwa pemikiran demokrasi itu thogut. Ada strategi usang namun dibuat militan untuk memaksakan bahwa sistem demokrasi ternyata selalu berbuntut pada derita rakyat. Opini seperti ini akan terus dikembangkan, seiring gamangnya bangsa kita melihat kebenaran yang masih berselimut nisbi atau dalam kondisi relatif, bukan final.
Awalnya, melihat pernyataan Pendeta Saifudin Ibrahim saya anggap non-sense (omong kosong), bagiku tidak lebih orang stress yang belum sembuh. Lalu untuk apa saya tanggapi jika itu tidak penting. Ada beberapa alasan yang ingin sekali saya mau sampaikan terkait pernyataan pak Saifudin Ibrahim tersebut, dan saya anggap ini serius perlu direspon.
Sebagai muslim tentu ada hak untuk menjawab pernyataan pak pendeta yang menyinggung al-Quran, yaitu usulan untuk menghapus 300 ayat di Al-Qur’an yang ia anggap sebagai ajaran radikal dan intoleran. Pertama, Al-Qur’an itu Wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril.
Wahyu itu adalah Kalam Allah yang dahulu (qodim), bersamaan dahulunya dengan dzat Allah yang maha suci dari segala kekurangan. Wahyu Allah itu pun dinamakan Kalam nafsi (Kalam Allah yang secara dzat tidak berhuruf, tidak bersuara dan tidak ada tanda baca). Kalam Allah tersebut eksistensinya bersamaan dengan eksistensi Allah yang azali, yang qodim.
Jika al-Quran itu dianggap sebagai sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, jelas keliru besar. Lalu ketika usulan untuk penghapusan 300 ayat itu pula artinya ia ingin mengatakan bahwa Al-Qur’an bisa dirubah-rubah, padahal jelas al-Quran itu diturunkan sekaligus dijaga oleh Allah dari tindakan manusia yang merubah dan menghapusnya, bisa lihat surat al-Hijr ayat 9 berikut tafsirnya.
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9)
Asumsi bahwa 300 ayat tersebut mengandung ajaran radikalisme dan intoleransi, saya pastikan Pdt. Saifudin Ibrahim ini tengah mabuk kecubung atau urat malunya putus. Sebab begini, semua ayat Al-Qur’an itu qothi’ (pasti benar) dan tsubuti (ditetapkan sebagai dasar dan dalil ajaran Islam).
Ke-qothi’an Al-Qur’an tidak boleh dan tidak bisa dirubah hanya karena bodoh memahami kandungannya, lebih-lebih pada murodnya ayat, mestinya pak pendeta ini tidak mengatakan begitu jika hanya melihatnya terjemah dari ayat yang dimaksud. Sebab untuk mengenali ayat saja perlu pemahaman atas kalimatnya, atas susunan kalam-nya, apakah itu khobariyah ataukah insyaiyah, apakah khitobnya itu amar atau nahi, apakah sudah dipastikan bahwa shigatnya amar lalu mengandung wajib, lalu apakah sudah dipastikan shigatnya nahyi selalu larangan (haram).
Terlalu dalam dan luas satu ayat Al-Qur’an dilihat secara tafsiri kalau hanya untuk dikatakan bahwa ayat dihapus, ini sekali lagi disebut tidak tahu isi dalam rumah tapi sudah mengatakan kosong. Pernyataan hapus ayat-ayat tersebut lebih kita sebut bodoh yang mabni.
Intinya yang saya maksud adalah bantahan atas pernyataan atau usulan Pdt. Saifudin Ibrahim, untuk mempertegas bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sudah qothi’, dan mempertegas pula bahwa ayat-ayat yang jumlahnya 300 dipastikan tidak ada ajaran radikalisme dan intoleransi. Islam itu isinya ajaran yang rahmatan lil alamin.
Logika terbalik yang diucapkan itu mengatakan bahwa ayat mengandung radikalisme jelas itu disebut tanaqudl (bertolak belakang) dengan fakta sesungguhnya. Bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak satupun mengandung kekerasan, karena al-Quran adalah Rahmat, karena al-Quran itu Hudan (petunjuk), karena al-Quran adalah isinya kebenaran. Dan kita tegas mengatakan bahwa kebenaran tidak pernah bersandingan dengan kekerasan atau radikalisme.
Yang kedua, pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris, jelas pernyataan sadis, jahat, dan membunuh karakter pesantren sebagai agent of social change, mengotori nama baik pesantren sebagai kawah candradimuka generasi penerus ulama. Pernyataan Pdt. Saifudin Ibrahim jelas menyesatkan, dan saya anggap kalimat muhmal (tidak berguna). Juga pernyataan yang berasal dari sinisme pribadi yang akut atas Islam yang ia tinggalkan. Kasihan kau Saifudin Ibrahim, dan umat Kristiani pun belum tentu mendukungmu.
Ciujung, 25 Maret 2022
Oleh: Gus Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/74701/kesesatan-berfikir-dalam-memahami-agama.html