Alasan Saya Memilih Menjadi Sukarelawan

“Hidup sederhana dengan jiwa merdeka, jauh lebih baik ketimbang sibuk mengejar target kesuksesan dan kemewahan bersama keruwetan yang tak henti-henti menyertainya.” (Albert Einstein)

Kita terbiasa bekerja dengan mencurahkan segenap tenaga demi uang. Kemudian, setelah uang itu diperoleh justru kita manfaatkan untuk mencari hiburan di waktu senggang. Ironisnya, kita tak pernah merasa punya waktu senggang yang cukup. Lalu, kita kembali pontang-panting bekerja untuk menghasilkan lebih banyak lagi uang.

Jadi, kapan sebenarnya waktu senggang itu bisa dinikmati? Seringkali kita menunda hal-hal yang sebenarnya lebih bermanfaat dan bermakna dalam perjalanan hidup. Padahal, hakikat hidup bukanlah sekadar rangkaian pencapaian. Kita bekerja menghasilkan uang maupun tidak, tetap saja saat-saat rileks dibutuhkan oleh kita dan keluarga kita. Tapi bagaimana mungkin kita punya waktu santai manakala segala hal yang kita lakukan harus sesuai dengan jadwal yang diagendakan bos dan atasan kita? Kapan kita memiliki jiwa yang merdeka, dan pandai bersyukur?

Saat ini, kita menyadari bahwa dunia menjadi semakin terhubung antara satu dengan yang lainnya. Kita melangkah tertatih-tatih ke arah kesadaran global yang dipaksakan. Dalam pandangan dunia baru ini, kemampuan untuk berkolaborasi menjadi sangat berharga dan tak ternilai. Namun di negeri ini, tampaknya berat untuk ditanggung, juga tidak ada pekerjaan bergaji yang cukup bagi populasi ratusan juta manusia.

Aturan-aturan di tempat kerja menjadi tumpang-tindih dan tak tertulis. Rasa takut kehilangan pekerjaan menggiring bangsa ini pada dampak yang cukup mengkhawatirkan. Sikut kiri-kanan, menjilat sana-sini, adu-domba, tidak transparan, hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan. Yang sudah berpengalaman kerja, bahkan yang sudah puluhan tahun makan asam-garam, kini tidak menutup kemungkinan untuk tersingkir dan mengalah (disrupsi).

Baca juga:  Mengenang Prof Merle Ricklefs: Membaca Kesimpulan “Islamisation and Its Opponents”

“Lalu, pekerjaanmu sendiri apa, Bung?” tanya seorang teman yang biasa kerja kantoran. Saya sendiri bingung menjawabnya. Sebab, saya bisa dikatakan penulis, tukang numpang, aktivis, peneliti, pemulung, wartawan, pemerhati lingkungan, paranormal, pengamat sosial, karyawan swasta, sopir, pengurus ormas, pemantau pemilu, dan entahlah macam-macam. Saya adalah semuanya, bahkan lebih daripada itu.

Sebuah penerbit kenamaan yang rencananya menerbitkan novel karyaku, berkali-kali mengirim email agar saya menulis biodata lengkap dengan jelas dan terang benderang. Maka, saya biarkan mereka jengkel, dan saya tetap menjawab bahwa apa yang dikirimkan itu benar adanya. Kemudian, mereka menunda proses penerbitan dengan syarat saya harus menuliskan biodata dengan sejelas-jelasnya. Sebodo amat!

Identitas orang Indonesia

Dulu, ketika saya masih anak-anak, Bu Guru Wati menanyakan mau jadi apa ketika dewasa nanti. Maka, saya bisa menyebutkan satu profesi saja: pilot, dokter, tukang parkir, wartawan, penjaga pom, pemulung, anggota DPR, sopir angkot, presiden dan lain-lain. Tetapi, kalau ada orang bertanya dalam konteks saat ini, maka jawabannya tak ada lain bahwa kita semua harus menjadi manusia berguna bagi banyak orang.

Lalu, bagaimana dengan karier atau profesi? Ah, rasanya kita semua kurang begitu peduli pada soal-soal begituan. Maaf, agak menyinggung. Maksud saya, barangkali terlalu kerdil bila membatasi profesi dalam rentang kehidupan yang begini luas. Jika kita mengarahkan anak-didik agar mengikatkan diri pada jalur karier tertentu, apakah memang berlaku untuk konteks hari ini?

Baca juga:  Farah Antun, Lawan Debat Abduh yang Menolak Negara Islam

Jika kita bercita-cita menjadi sukarelawan Covid-19 atau bencana alam, bukankah itu juga profesi? Ditambah lagi, tidak harus ada konflik antara kepentingan-diri dan keuntungan orang lain, selama alasan-alasan egois bukanlah satu-satunya motif tersembunyi untuk membantu orang lain. Kerja sukarela sungguh menambah nilai bagi kehidupan orang-orang, termasuk kehidupan kita sendiri.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, tidaklah mudah meminta bantuan, atau bahkan menerima bantuan ketika ada yang menawarkan. Tapi, jika kita berharap menjadi sukarelawan, maka kita bisa mengambil inisiatif dan berbagai peluang di sana. Cukup banyak lembaga nonprofit yang mungkin memanfaatkan bantuan sukarela untuk menolong korban bencana, wabah, mengurus lansia, imigran, penyandang disabilitas, orang tua tunggal, atau kelompok lainnya yang sekadar kehadiran seorang sukarelawan saja dapat menjadi tak ternilai?

Jika Anda pandai menulis, dapatkah tulisan Anda dibaca oleh banyak orang hingga menggugah jiwa dan menyegarkan kalbu. Bahkan, mampu menggerakkan pembaca agar berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi pembangunan moral dan peradaban umat? Ketimbang hanya berkarya untuk kepentingan diri sendiri, sambil berdalih bahwa seni adalah urusan kebebasan berekspresi? Bukankah ngeden dan buang air di WC juga soal kebebasan berekspresi?

Menjadi sukarelawan

Kita tidak memerlukan keterampilan khusus untuk menjadi sukarelawan. Sikap senang membantu serta kemampuan untuk berinisiatif sudah cukup. Kalau bentuk kerja sukarela yang telah dipilih sudah cocok, maka ambillah lebih banyak tanggung jawab. Kalau tidak, kita bisa mencoba dengan bentuk kerja sukarela lainnya.

Baca juga:  Memetik Hikmah dari Lika-liku Hidup Buya Syafii Maarif

Boleh jadi akan ada pihak-pihak yang berkelakar atau mencemooh, ngapain juga kerja pontang-panting tetapi tak menghasilkan uang? Bukankah dengan begitu, maka kita akan makan dan minum dari hasil kerja orang lain. Lalu, apa jadinya kalau semua orang bekerja dengan sukarela, jadi pengangguran, tanpa menghasilkan pundi-pundi uang?

Karena itu, mudah saja bagi saya untuk balik bertanya: Emangnya selama ini saya nganggur? Apakah kamu mengamati apa-apa yang saya kerjakan selama ini? Justru saya sedang fokus mengerjakan apa-apa yang saya cintai, menjadi sukarelawan untuk membantu banyak orang di lapangan? Menurut kamu, lalu bagaimana nasib dunia ini kalau semua orang bekerja dengan sukarela seperti saya? Begitukah?

Lalu, sewajarnya kita membalik logika dengan pertanyaan yang lebih cerdas lagi: Bagaimana jika semua orang bekerja dengan sukarela, mencintai pekerjaan mereka ketimbang hanya fokus mencari uang untuk mengisi perut dan bertahan hidup? Lalu, apa fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, jika urusan hidupnya hanya semata-mata soal perut?

Pertanyaan bolehlah kita tujukan kepada pembaca. Kalau Anda merasa bahwa apa yang Anda lakukan, siang-malam, tidak bermanfaat bagi orang lain dan juga tidak menawarkan kesempatan bagi Anda untuk berkembang, lalu apa yang bisa diandalkan hingga usiamu lanjut dan menua?

Sudah tercapaikah cita-citamu yang dulu pernah ditanyakan Bu Guru Wati, sewaktu Anda masih anak-anak itu? ***

https://alif.id/read/muz/alasan-saya-memilih-menjadi-sukarelawan-b242544p/