Uqudu al-Lu’lui wa al-Marjan fi Wadha-ifi Syahri Ramadhan, yah. Nama kitab yang satu ini sangat populer (popular), bahkan ketika sudah memasuki bulan suci Ramadhan, kitab yang satu ini menjadi salah satu kitab yang sangat dicari oleh umat Islam yang hendak menjalankan ibadah pada bulan mulia tersebut.
Jika kitab-kitab yang menjelaskan tentang bulan Ramadhan lebih condong pada kegiatan puasa dengan penjagaan yang super ketat, maka tidak dengan kitab yang satu ini. Kitab ini lebih pada penjelasan perihal keutamaan, mulai dari keutamaan puasa pada bulan Ramadhan, waktu-waktu mulia, keutamaan shalat tarawih, keutamaan membaca Al-Qur’an, keutamaan beribadah di malam hari pada bulan Ramadhan, dan keutamaan lainnya yang hanya bisa dijumpai pada bulan tersebut.
Penulis kitab ini sengaja tidak mencantumkan beberapa kewajiban puasa, kesunnahan, mubah, makruh, hingga yang haram dilakukan ketika puasa. Hal itu tidak lain karena sudah banyak kitab-kitab yang menjelaskan lebih luas perihal semua itu. Oleh karenanya, titik fokus kitab yang satu ini hanya tentang keutamaan-keutamaan saja.
Sebagaimana disebutkan dalam muqaddimah kitab ini. Pada mulanya penulis tidak memiliki keinginan untuk menulisnya. Namun, banyaknya orang-orang dan masyarakat yang memohon kepadanya untuk menulis perihal keutamaan-keutamaan yang ada pada bulan Ramadhan.
Mendengar permohonan dan permintaan itu, pada mulanya penulis tidak langsung mengiyakan. Sebab, dengan rasa rendah hati yang ada dalam dirinya, dan merasa belum pantas untuk menulis suatu kitab, ia mencoba menolak permohonan itu. Akan tetapi, banyaknya permohonan, baik dari masyarakat atau teman koleganya, serta sangat dibutuhkannya suatu kodifikasi yang membahas perihal keutamaan di bulan Ramadhan, pada akhirnya ia menyanggupinya.
Dengan bermodalkan tekad, dan pertolongan dari Allah, penulis mencoba memulai menulis dan pada akhirnya mampu menyelesaikan menjadi satu kitab yang sangat masyhur, yang dikenal dengan kitab ‘Uqudu al-Lu’lui wa al-Marjan fi Wadha-ifi Syahri Ramadhan.
Kitab ini ditulis oleh Syekh Ibrahim bin Ubaidillah al-Muhsin al-Ubaid. Ia merupakan salah satu ulama kontemporer (mu’ashirin) yang keilmuannya tidak diragukan lagi. Penguasaannya dalam ilmu hadits sangat mendalam, bahkan ia mendapatkan gelar ahli hadits (muhaddits).
Syekh Ibrahim dilahirkan pada tanggal 15 Jumadil Akhirah 1334 di Buraydah, salah satu kota terbesar yang ada di Makkah al-Mukarramah. Di tempat itu ia tumbuh sebagai sosok yang kelak akan memikul amanah mulia sebagai ahli ilmu. Di antara gurunya adalah Syekh Umar bin Muhammad bin Salim, Syekh Abdullah bin Muhammad bin Salim, Syekh Abdul Aziz al-Ubbadi, dan beberapa ulama lainnya.
Di bawah bimbingan ulama tersohor itu, ia tumbuh sebagai sosok yang sangat cerdas dan tangkas. Semua ilmu yang diajarkan oleh gurunya mampu ia pahami dengan mudah. Bahkan ia mampu menghafal semuanya.
Tepat di usianya yang sudah mencapai 22 tahun, guru-gurunya mempersilahkan bagi Syekh Ibrahim untuk mengajarkan ilmu yang sudah lama ada dalam dirinya. Dan, sejak itulah prestasi keilmuannya dimulai.
Kitab yang menjelaskan puasa mungkin sudah sangat banyak dan bisa ditemukan di mana-mana. Bahkan, di kitab-kitab fiqih juga tidak lepas menjadi singgungan dan pembahasan para ulama ketika membahas puasa.
Namun, yang tidak kalah menarik dari kitab yang satu ini, yaitu perihal cara memberikan semangat bagi umat Islam agar melakukan ibadah dengan iming-iming keutamaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun kelak di akhirat. Di dalamnya, penulis mencoba menguraikan dengan sangat detail perihal keutamaan orang yang berpuasa.
Kitab dengan tebal 414 halaman ini terbagi menjadi 30 bab. Dan, yang menarik dari kitab ini adalah dalam setiap bab selalu dimulai dengan khutbah pembuka, mulai dari hamdalah, shalawat dan salam, kemudian di akhir penjelasannya ditutup dengan doa, yang di dalamnya terdapat permohonan kepada Allah perihal diterimanya ilmu yang ada di dalam kitab ini. Berikut beberapa kutipan dalam kitab ini yang patut diperhatikan di bulan Ramadhan saat ini;
Sebagai umat Islam, merasa bangga masih menututi bulan Ramadhan merupakan sebuah anjuran. Sebab, bulan yang satu ini memiliki nilai yang sangat mulia dan agung di sisi Allah. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim mengutip salah satu hadits, Rasulullah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ تَكُونَ السَّنَةُ كُلُّهَا رَمَضَانَ
Artinya, “Seandainya hamba-hamba (Allah) tahu perihal apa yang ada di dalam bulan Ramadhan, maka umatku sudah pasti akan berharap selama satu tahun hanya bulan Ramdhan.”
Mendengar hadits tersebut, para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullah, ada apa sebenarnya pada bulan Ramadhan. Kemudian beliau menjawab:
“Sungguh, surga telah berhias sejak satu tahun untuk menunggu kedatangan Ramdhan. Oleh karenanya, jika malam pertama bulan Ramdhan telah datang, angina akan turun dari bawah arsy, kemudian meniup daun-daun dalam surga, kemudian bidadari melihatnya dan berkata: ‘Wahai Tuhanku, jadikanlah aku sebagai istri hamba-Mu yang melakukan puasa pada bulan ini.’” (halaman 15).
Syekh Ibrahim menjelaskan bahwa orang yang puasa pada bulan Ramdhan memiliki satu waktu, di mana pada waktu itu tidak akan pernah ditolak oleh Allah jika berdoa, yaitu ketika hendak berbuka puasa, sebagaimana hadits Rasulullah, yang artinya, “Sungguh, bagi orang berpuasa ketika hendak berbuka, terdapat doa yang tidak akan ditolak.”
Selain mendapatkan jaminan doa yang diterima, orang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, (1) bahagian ketika hendak berbuka; dan (2) bahagian ketika bertemu dengan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Artinya, “Orang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, (1) ketika berbuka; dan (2) ketika bertemu dengan tuhannya.”
Menurut Syekh Ibrahim, yang dimaksud dua kebahagiaan pada hadits di atas adalah, kebahagiaan pertama karena orang yang berpuasa akan memiliki jiwa yang condog pada makanan. Ketika berpuasa, ia dilarang untuk makan, minum, menggauli istri dan semacamnya. Jiwa-jiwa manusia akan merasa terganggu dan terbebani dengan larangan itu. Oleh karenanya, ketika waktu maghrib sudah tiba, maka jiwa yang awalnya merasa terbebani akan bahagia seketika itu juga.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebahagiaan kedua, yaitu bertemu dengan Allah, yaitu kebahagiaan ketika Allah memperlihatkan semua pahala orang berpuasa di hadapannya. Pada saat itu, ia sangat membutuhkan pahala sebagai bekal untuk masuk surga, dan di saat yang bersamaan, Allah memberikan pahala itu, sehingga bisa masuk surge dengan gampang, itulah kebahagiaan keduanya. (hal. 60).
Selain dua penjelasan di atas, banyak yang akan didapatkan oleh orang puasa yang disebutkan dalam kitab ini, di antaranya, (1) semua amal ibadah orang yang berpuasa akan dilipatgandakan oleh Allah; (2) satu bacaan tasbih (subhanallah) yang dibaca oleh orang berpuasa, lebih baik dari seribu bacaan tasbih dari orang yang tidak puasa; dan (3) satu rakaat shalat sunnahyang dibaca oleh orang berpuasa, lebih baik dari seribu rakaat dari orang yang tidak puasa. (hal. 102).