أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْد
“Carilah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahad (mati)” (al-Hadis)
14 abad silam Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w pernah berpesan kepada umatnya agar menuntut ilmu (belajar) dipraktikan dengan sebaik mungkin, karena hal tersebut adalah kewajiban yang abadi bagi manusia mulai dari buaian hingga liang lahat.
Namun demikian, Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w tidak spesifik menyebut ilmu apa yang wajib dipelajari dalam seumur hidup umatnya tersebut. Dengan tidak adanya spesifikasi ilmu apa yang wajib dipelajari, maka boleh diamini bahwa ilmu yang wajib dipelajari adalah semua disiplin ilmu, bukan ilmu agama semata, namun ilmu umum juga wajib dipelajari, termasuk di dalamnya ilmu sains, ilmu teknologi hingga ilmu eksak.
Namun demikian, dalam dinamika perkembangannya hadis di atas mendapat beragam tafsir, sebagian ada yang menyebutkan bahwa yang wajib dipelajari adalah ilmu agama semata, seperti ilmu akidah, ilmu ushul fiqh hingga ushul al- Din, ilmu umum lainnya seperti ilmu sains, ilmu teknologi serta ilmu eksak itu hanya pelengkap saja, dan tidak penting untuk dipelajari.
Tentu hal ini kurang baik untuk diteruskan, karena dengan menganggap ilmu umum itu tidak penting, dan harus dipinggirkan, itu secara mutlak telah mendikotomikan mahluknya Allah SWT yang bernama ilmu. Kerena bagaimanapun, pada hakikatnya ilmu itu tunggal, yaitu ilmunya Alllah SWT, termasuk di dalamnya ada ilmu agama dan juga ilmu umum. Sehingga ketika berpijak pada hadis dalam paragraf pembuka di atas, maka ilmu umum itu juga wajib dipelajari, minal mahdi ila lahdi, bukan hanya ilmu agama semata, sebagaimana penafsiran sebagaian orang atas hadis di atas.
Jika dikotomi ilmu ini terus berlanjut antara ilmu agama dan ilmu umum, maka ke depan akan menjadi preseden buruk bagi proses transfer of knowladge dalam dunia pendidikan kita. Di samping akan menimbulkan sifat adi gang – adi gung terhadap mereka yang mempunyai basic pendidikan yang berbeda, antara pesantren (non formal), dan sekolah umum (formal), misalnya, juga hal tersebut bisa menjadi pemicu terjadinya perpecahan di berbagai lini ukhwah, mulai dari ukhwah basyariah, uhwah wathoniah hingga ukhwah insaniyah di sekitar kita.
Jika ditilik lebih jauh, dikotomi ilmu ini kerap kali terjadi karena minimnya kesadaran akan arti egaliterianisme di tengah-tengah masyarakat kita. Proses saling asah, saling asuh kini sudah terreduksi menjadi proses saling misuh di tengah-tengah masyarakat kita, utamanya dalam ranah media sosial, yang ditandai dengan munculnya berbagai hate spech di media sosial.
Bagi mereka yang hanya mengenyam pendidikan di pesantren saja, misalnya, ketika berbicara masalah agama sebagian ada yang merasa lebih unggul dibanding mereka yang tidak mengenyam pendidikan pesantren, atau mereka yang mempunyai basic ganda berupa pesantren dan sekolah umum. Dengan hilangnya semangat egaliterian terhadap sesama manusia, maka proses dikotomi ilmu dengan merasa lebih unggul yang dibersamai sifat adi gang – adi gung tersebut akan tetap terjaga, dan ini tidak baik untuk “kesehatan publik”.
Indikator lainnya dari proses dikotomi ilmu yaitu sifat ria dengan pamer ilmu yang dimiliknya, utamanya dalam ranah media sosial. Mulai dari pamer ilmu ushul fiqh, hingga ushul al–Din yang dibersamai dengan sifat “adu mekanik” berupa ajakan untuk debat dengan dirinya di media sosial.
Sifat adi gang – adi gung ini hanya dapat dinetralisir dengan cara memberikan “vaksin egaliterian” kepada mereka yang dibersamai juga dengan stimulus berupa kesadaran, dan keyakinan bahwa hakikat ilmu itu satu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum itu sama-sama ilmunya Allah SWT dan wajib dipelajari minal mahdi ila lahdi. Sehingga harapannya sikap-sikap amoral, mulai dari sikap adi gang – adi gung, pamer ilmu, hingga sikap “adu mekanik” berupa baku debat kusir, dapat dieliminisir sebaik mungkin.
Benar ilmu agama itu penting, tapi ilmu umum juga tidak kalah penting untuk dipelajari. Saya kira memasuki dekade ke- 3 abad ke- 21 ini sudah tidak relevan lagi membanding-bandingkan ilmu agama, dan ilmu umum, karena bagaimanapun keduanya saling perpautan satu sama lain. Saling berkelindan dan saling membutuhkan.
Pilihan Redaksi
https://alif.id/read/luthfil-hakim/ketika-manusia-masih-terbelenggu-dikotomi-ilmu-b242837p/