Belajar Menahan Diri dari Kasus Ade Armando

Apa yang penimpa dosen FISIP UI dan pegiat media sosial, Ade Armando agaknya telah membuat beberapa pihak menjadi khawatir akan keberlangsungan kebebasan pendapat dan keberlangsungan hidup beragama secara damai di Indonesia. hal ini bisa kita lihat dari tanggapan Alissa Wahid, Koordinator Nasional Gusdurian. Memang kita tidak menutup mata terhadap keberadaan kelompok ultra konservatif yang dengan rasa sensitivitas agama yang terlampau tinggi membuat mereka “bersumbu pendek”.

Selain itu, insiden amuk masa tersebut telah menciderai iklim demokrasi yang telah dibangun dengan perjuangan panjang oleh para Bapak Bangsa kita. Benjamin Barber, sosiolog dan pengamat politik asal Amerika berpendapat bahwa kekerasan dan tindakan barbarian muncul akibat lunturnya budaya demokrasi. Kejadian tersebut menjadi sinyalemen mulai terkikisnya semangat reformasi menuju peradaban yang maju, dan mulai melangkah mundur kembali pada tindakan barbarian dan budaya primitif (jahiliyah).

Namun yang tak kalah gawatnya dari hal tersebut adalah menjadikan agama sebagai sumber legitimasi atas insiden amuk masa tersebut. Dikatakan di twitter “Rasulullah saw bertakbir ketika kepala Abu Jahal dibawa oleh Ibnu Mas’ud ra. Tidak salah bergembira melihat musuh Allah SWT celaka”. Hadis yang dimaksud memang tertulis dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, dan Sunan Kubra al-Nasa’I dalam pembahasan “maqtal Abi Jahal yauma Badr”.

Sebenarnya Abu Dawud telah menerangkan bahwa hadis tersebut tidak memiliki al-syahid (perawi hadis lain dari kalangan sahabat), karena memang hanya ditemukan dari jalur Abi ‘Ubaidah ‘Amir bin Abdullah bin Mas’ud. Lagi-lagi kredibilitas hadis takbirnya Rasulullah atas kematian masih dipertanyakan oleh beberapa ulama, karena Abi ‘Ubaidah tidak mendengarkan langsung redaksi hadis tersebut dari sang ayah Abdullah bin Mas’ud sebagai perawi. Hal ini dikatakan oleh Syaikh Abi Ishak al-Huwaini dalam kitabnya al-Nafilah fi al-Ahadits al-Dhaifah wa al-Bathilah.

Baca juga:  Agustus, Nasionalisme, dan Kemerdekaan

Mungkin masih bisa dinalar jika hadis dhaif dijadikan sebagai dasar fadlailul a’mal (amalan yang memiliki nilai keutamaan), namun jika memakai hadis dhaif -atau bahkan shahih sekalipun- untuk menyulut api permusuhan antar sesama, logika ini yang menjadi aneh dalam nalar agama Islam. Memakai narasi-narasi agama untuk melegitimasi tindak kekerasan. Inilah salah satu hal yang diperjuangkan Gus Dur untuk dihapus di bumi Indonesia. Usaha Gus Dur dalam mempurifikasi agama yang diatasnamakan untuk melegitimasi tindakan destruktif dapat kita lihat saat terjadinya pembakaran Gereja Situbondo tahun 1996 dan kasus pembunuhan masal di Sampit misalnya.

Jika logika yang dibangun adalah bolehnya berbahagia atas amuk masa terhadap Ade Armando, yang dianggap sebagai musuh Allah, sebagaimana Rasulullah bertakbir tanda syukur atas kematian Abu Jahal yang disebut sebagai fir’aun umat ini. Dengan menjadikan tindakan memusuhi Islam sebagai titik persamaannya, lantas bagaimana dengan keberadaan hadis yang menjelaskan larangan Rasulullah kepada sahabat Miqdad al-Aswad dan Usamah bin Zaid untuk membunuh seorang kafir yang sedang terjepit saat duel, setelah sang kafir mengucapkan syahadat?. Lebih-lebih Ade Armando adalah seorang muslim, meski seringkali ia membuat gaduh kaum muslim dengan opini-opini liberalnya.

Apakah benar cara mereka dalam “membungkam” opini-opini provokatif Ade Armando dengan tindak kekerasan telah membuatnya jera? Tentu tidak, malah justru tindak kekerasan ini akan membuat Ade Armando semakin menjadi-jadi.

Dalam menyelesaikan konflik horisontal, Gus Dur telah mengajarkan kepada kita semua untuk mampu menahan diri dan berpikir dewasa. Jangankan hanya karena sebuah opini ngawur, peristiwa pembunuhan besar-besaran oleh oknum berkostum ala ninja di Banyuwangi pada tahun 1998, yang memakan korban kurang lebih 200 orang saja, Gus Dur mengajarkan bangsa ini agar dapat berpikir dewasa. Gus Dur lantas mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk merespon kemarahan, sehingga akan tercipta pertumpahan darah.

Baca juga:  Harmoni dalam Bingkai Muktamar NU

Kepada masyarakat Banyuwangi, Gus Dur berujar: “Siapa pun di balik pembunuhan ini agaknya mengharapkan kita merespon kemarahan mereka dengan kemarahan. Oleh karenanya mereka menggunakan target para ulama. Sadar akan hal ini, kita harus menahan provokasi ini dengan tetap mengkampanyekan perdamaian”.

Saya sangat terkesan dengan respons KH. Cholil Nafis saat mengomentari opini Ade Armando lima bulan lalu, tentang tidak adanya keterangan lima waktu dalam perintah shalat dalam al-Qur’an. Opini ini menjadi gaduh saat media massa memelintir redaksinya dengan kalimat “dalam al-Qur’an tidak ada perintah shalat lima waktu”. Pernyataan itu lantas menjadi kontroversi di dunia maya.

  1. Cholil Nafis mengatakan: “Beberapa kali saya diminta komentar, tapi saya tidak mau terpancing. Saya terpaksa berkomentar karena tv one mempertemukan saya dengan bung Ade Armando secara langsung. Karena saya berpikir saya tidak merasa pantas mengomentari, karena bukan keahlian bung Ade Armando untuk bicara soal syariah. Hanya saja, saya mengantisipasi masyarakat yang salah paham atas opini bung Ade Armando. Bagaimana al-Qur’an yang global itu harus dimaknai dengan hadis yang juga wahyu, juga dimaknai dengan pendapat ulama. Yang khilafiyah bisa kita tolerir, tapi yang qath’i seperti kewajiban shalat yang harus mengikuti cara Rasulullah dalam shalat 5 waktu, bagi Sunni tidak bisa diganggu gugat. Berkenaan dengan pernyataan bung Ade Armando, sebaiknya tidak perlu ditanggapi biar tidak semakin ramai”.

Baca juga:  Adakah (Kajian) Filsafat Islam di Indonesia?

Sikap KH. Cholil Nafis tersebut mencerminkan kedewasaan berpikir dalam menanggapi hal-hal kontroversial di kalangan awam. Komentar tersebut juga memberikan kita arti penting dan perlunya untuk menahan diri dan tidak turut berkomentar agar tidak turut serta melanggengkan kontroversi tersebut. Karena dalam surat al-Ra’d ayat 17 secara tersirat Allah memisalkan sesuatu yang bathil dengan buih yang mengembang, adapun buih akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, (fa amma al-zabadu fayadzhabu jufa’a).

Perkataan-perkataan kontroversial yang tidak ada guna dan manfaatnya, akan hilang dengan sendirinya, maka tidaklah perlu dikomentari secara berlebihan, toh nanti juga akan hilang sendiri, asal tidak ikut tersulut dan terpancing. Karena pada dasarnya, akal sehat seorang muslim pasti akan menafikannya secara otomatis. Dalam hal ini, hendaknya kita lihat Imam al-Syafi’I yang mengatakan bahwa “zinatul ‘ilmi al-wara’ wa al-hilmi”, hiasan ilmu adalah sifat meninggalkan yang syubhat (al-wara’) dan sabar dengan berpikir dewasa (al-hilm).

Insiden terjadinya amuk masa terhadap Ade Armando patut untuk disayangkan. Insiden itu telah benar-benar menciderai kesucian bulan Ramadan, bulan kesabaran. Menciderai ibadah puasa, ibadah untuk menahan diri (al-imsak). Menciderai agama Islam, yang mengajarkan beramah-ramah, bukan marah-marah. Semoga kejadian ini bisa mendewasakan kita semua, dan mulai belajar lagi dan lagi untuk dapat “berpuasa” menahan diri dari pendapat dan opini kosong yang mengundang kontroversi.

https://alif.id/read/maf/mohamad-anang-firdaus-b243110p/