Oleh Ahmad Rusdiana, Guru Besar Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tanggal 21 April menjadi momen bersejarah bagi wanita Indonesia karena kelahiran tokoh emansipasi keturunan ningrat bupati Jepara R.M. Sosroningrat dari isteri selir Ngasirah. Masa kecil R.A Kartini, dilingkungan bangsawan merasakan suasana kehidupan yang penuh aturan tata krama dan etika yang membelenggu. Terlebih ketika sering diajak ayahnya dinas luar, hatinya semakin tersayat melihat kaumnya hidup menderita dalam tekanan dan kebodohan. Di sisi lain kaum bangsawan selain terkungkung adat dan tekanan penjajah, ada diskriminasi antara pria dan wanita dalam segala hal termasuk sekolah. Kartini muda yang “haus pengetahuan dan pendidikan” mendapat kesempatan sekolah di Europese Lagere School, khusus orang Belanda dan putera bangsawan. Namun kesempatan ini terhenti dan asanya terenggut untuk menjalani masa pingitan ketika berusia 12 tahun. Sementara kakaknya Sosrokartono dikirim sekolah ke Belanda oleh ayahnya. Jiwa Kartini semakin memberontak dan bergejolak, apalagi ketika ia dijodohkan dengan R.M. Joyo Adiningrat, Bupati Rembang sebagai isteri selir dalam usia 24 tahun (1879-1903). Sayang, empat hari setelah melahirkan R.M. Soesalit Kartini tutup usia pada tahun 1904, dalam usia 25 tahun.
Ketika menjalani masa pingitan Kartini memanfaatkan waktunya untuk membaca buku, majalah, surat kabar bahasa Belanda. Menulis di majalah dan korespondensi dengan sahabatnya Abendanon di Belanda adalah kebiasaan yang selalu dilakukan. Surat kabar De Locomotief, majalah kebudayaan, ilmu pengetahuan, majalah wanita De Hollandche Lelie. Buku Max Havelaar, dan Surat-surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, karya Van Eedden, roman feminis Ny. Goekoop de Jong Van Beek, roman anti perang karya Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder, adalah bahan bacaannya.
Membaca dapat membuka wawasan pengetahuannya, dan menulis menuangkan ide/gagasan/pemikiran, agar diketahui orang lain. Surat-surat Kartini untuk Abendanon sahabatnya di Belanda, adalah ungkapan isi hatinya. Jiwanya memberontak melihat ketidak adilan, keterbelakangan, peraturan adat yang feodal dan patriarki. Kartini berjuang untuk emansipasi wanita, sosial umum, kebebasan dan persamaan hak secara hukum dan otonomi hidupnya. Pemikiran dan wawasan Kartini sudah melebihi zamannya, yang membuka jalan untuk kaumnya dan berani melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Kartini menjadi pelopor sejati literasi bagi kaumnya di Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka. Membaca dan menulis menjadi teman setia selama 12 tahun dalam menjalani masa pingitan. Tulisannya berupa surat-surat untuk sahabatnya Abendanon telah dibukukan berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, suatu karya yang fenomenal sampai sekarang. Dari buku itu, Sosok Kartini dapat dikakan sebagai tokoh literasi pada zamannya, yang terbukti telah dapat membuka wawasan dan pengetahuannya.
Yang menjadi pertanyaan masalanya, apakah para perempuan pada zaman “now” ini juga mempunyai tingkat literasi seperti Kartini?. Semestinya minimum menyamai bahkan melebihi.
Secara kuantitatif, ya, terbukti banyak perempuan yang mempunyai pemikiran cemerlang dan mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan sejajar dengan kaum laki-laki. Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif terus mengalami peningkatan untuk mencapai kuota 30 persen. Perempuan juga berkiprah dibidang eksekutif, yudikatif, TNI, Polri, ilmuwan, fisikiawan, bahkan calon astronot.
Namun literasi sejatinya bukan sekedar “melek” huruf, tapi menyangkut berpikir kritis, logis, bertindak etis, dan beradab. Pembentukan soft skill dan karakter yang sudah dilegalkan dengan Perpres No. 87/2017 tentang Penguatan Pembentukan Karakter (PPK). PPK sebagai harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga yang melibatkan sekolah, keluarga dan masyarakat. PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter diantaranya gemar membaca. Literasi bukan sekedar baca-tulis tetapi berpikir kritis dan bertindak etis. Artinya dari berliterasi dapat menumbuhkan nilai religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial, lingkungan dan bertanggung jawab.
Tuntutan untuk Kartini zaman “now”, bukan sekedar berliterasi, tetapi harus peka terhadap Revolusi Industri 4.0 menuntut gerak cepat, cerdas, transformatif dan menyesuaikan perubahan. Setiap perubahan pasti berpotensi menggeser “zona nyaman (comfort zone)” menjadi tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Bahwa tidak selamanya posisi roda itu selalu berada diatas, adakalanya berada dibawah dengan segala resikonya.
Oleh karenanya menjadi perempuan saat ini walaupun sudah terbuka kesempatan, tetap sebagai seorang ibu yang mempunyai kewajiban sebagai pendidik pertama dan utama. Para perempuan yang sudah berliterasi dengan teknologi digital, literasi ekonomi, hukum, politik, budaya, agama, media sosial, semestinya tidak membiarkan putra putrinya “terpapar” oleh gadget sejak dini.[]