Oleh Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Jember
Apakah para guru ngaji itu layak menerima zakat dengan kategori ‘fi sabīlillah’? Sebagian kecil memperbolehkan dengan memasukkannya pada kategori sabīlul khair, sebagian tidak. Jalan tengahnya, para guru ngaji yang menjadi mustahiq kategori fakir dan miskin, bahkan gharīm, diberi. Banyak, sangat banyak guru ngaji yang masuk kategori ini. Syukur-syukur jika mereka diberi zakat produktif seperti modal usaha agar kesejahteraannya meningkat. Jika kesejahteraan meningkat, kaderisasi bagi putra-putrinya untuk mengenyam jenjang pendidikan lebih tinggi bisa dipenuhi.
Pada titik ini saya ikut pendapat KH MA Sahal Mahfudh dengan konsep zakat produktif. Zakat maal dari para muzakki itu tidak perlu diecer dengan jumlah yang tidak seberapa, apalagi dengan mendatangkan mustahik ke rumahnya, lantas membagi-bagikan dengan syarat antrean membludak hingga banyak yang pingsan. Ini kurang manusiawi.
Solusinya? Dicarikan para mustahiq yang punya potensi ekonomi, kasih modal yang cukup, didampingi hingga usahanya berkembang. Kiai Sahal sudah mewujudkannya dengan bercerita usahanya mengentaskan tukang becak. Hal ini ditulis dalam buku ‘Nuansa Fiqh Sosial’ (LKiS, 1994: 101). Dari yang hanya penyewa becak milik Tionghoa dengan ongkos sewa per hari, hingga dibelikan oleh Kiai Sahal sebuah becak yang menjadi hak milik si pengayuhnya. Kiai Sahal mengubah modal kapital. Dari pasif ke produktif. Dari hak sewa ke hak milik. Dari tidak berkuasa pada alat produksi, hingga memiliki secara mandiri dan independen alat produksi/alat kerja. Gagasan seperti ini layak dikukuhkan dan diterapkan.
“Dengan cara ini, meskipun dia tidak menjadi kaya, tetapi jelas ada perubahan sosial.” tulis Kiai Sahal dalam ‘Nuansa Fiqh Sosial’ (Yogyakarta: LKiS, 1994), halaman 101.
Saya sudah menerapkan gagasan zakat produktif ala Kiai Sahal ini. Melalui dana zakat maal titipan beberapa sahabat, saya membelikan mesin diesel untuk seorang mustahiq di Ponorogo, mesin jahit untuk seorang penyandang disabilitas di Jember, pembelian alat penetas telur di Jember, dan beberapa penerapan lain.
Pengurus Cabang Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Kencong bekerja sama dengan Unit Pengumpul Zakat, Infak dan Shadaqah (UPZIS) Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (Inaifas) Kencong, Jember juga menerapkan konsep ini dengan membelikan gerobak dan bantuan modal bagi mahasiswa miskin yang punya jiwa kewirausahaan. Hasilnya, usahanya tambah berkembang.
Intinya, dalam konsep zakat produktif ala Kiai Sahal, zakat yang terdistribusikan harus mengarah pada kegiatan yang lebih produktif, bukan konsumtif. Dimanfaatkan oleh mustahiq untuk kebutuhan primer, bukan sekunder, apalagi tersier. Digunakan dalam kegiatan yang terarah dan berkelanjutan, bukan dadakan. Tidak spontan, melainkan punya dampak berkelanjutan.
Dengan demikian, kegiatan ini mengarah pada konsep pemberdayaan sesuai dengan kemampuan, keterampilan dan potensi mustahik. Bukan lagi menyuruh mustahiq antre di depan rumah orang tajir lalu masing-masing diberi amplop yang isinya tidak seberapa itu. Bukan lagi mengecer uang dalam amplop yang seringkali malah dipakai kebutuhan konsumtif oleh penerima. Pola pemberdayaan mustahiq melalui zakat produktif semacam ini juga dijelaskan oleh Syekh Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahhab dan Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihāyatuz Zain.
Dengan demikian, kita perlu memberdayakan para guru ngaji yang kategori fakir dan miskin melalui konsep zakat produktif ini. Banyak dari mereka yang terseok-seok secara ekonomi, padahal pada saat yang sama panggilan jiwanya tetap mewajibkan dirinya mendarmabaktikan ilmu dan waktunya dengan mengajar ngaji. Dan, tentu, mengajar ngaji identik dengan bisyarah seikhlasnya.
Kalaupun ada biaya bulanan, jumlahnya tidak seberapa, sebab masyarakat bakal mencibir guru ngaji yang menerapkan ‘tarif’. Banyak dari sahabat, saudara dan tetangga kita yang sudah rela mengajar ilmu agama tapi tidak sejahtera secara ekonomi. Saya membayangkan, mereka diberi pelatihan kewirausahaan, setelah itu mendapatkan zakat maal untuk pengembangan ekonominya. Tidak perlu muluk-muluk dulu. Pengembangan ekonomi mikro bisa menjadi awal yang baik.
Saran lain, acara-acara keagamaan yang gebyar nan bombastis atas nama syiar dikurangi. Selain kadang menyedot dana besar namun tidak meninggalkan atsar yang menggerakkan dan memberdayakan, acara semacam ini lebih bersifat festival.
Saya usul, kemasannya bisa disederhanakan, dan dana dialihkan pada pemberdayaan fakir miskin dan yatim di sekitar. Anak-anak yatim dari keluarga tidak mampu bisa dipondokkan dan dikuliahkan melalui dana ini melalui formula beasiswa. 5 hingga 10 tahun, hasilnya bisa dipanen: yatim yang berdaya guna secara keilmuan. Kaderisasi ulama.
Apakah saya hanya berwacana saja? Tidak. Kampus Inaifas melalui UPZIS sudah menerapkannya melalui formula beasiswa bagi yatim berprestasi. Beberapa sahabat yang menitip dana ke saya, alih-alih saya salurkan untuk kegiatan keagamaan yang gebyar meriah, saya lebih memilihnya dengan menggelontorkannya dalam format beasiswa santri di Pondok Pesantren Mabdaul Ma’arif Jombang, Jember, maupun unit pendidikan di dalamnya. Termasuk pada format pemberdayaan kaum miskin melalui pola zakat produktif.
Kembali ke bahasan guru ngaji. Bagi saya guru harus bermartabat. Tampil ‘mbois’ dan sedap dipandang walaupun sederhana. Bahasan apakah guru ngaji layak diberi zakat dalam kategori fi sabīlillah atau tidak, ini wacana fiqih. Bisa diperdebatkan. Tapi memberi para guru ngaji yang fakir dan miskin dengan formula zakat produktif adalah alternatif memberdayakan mereka.
Menutup tulisan ini, saya teringat kalimat motivatif dari KH Ahmad Shodri, ulama Betawi pimpinan Yayasan Al-Wathoniyah Asshodriyah Cakung Jakarta Timur, pada Ramadan 2019.
Di depan ratusan guru ngaji yang diundang berbuka puasa bersama di masjid yang didirikan, sang kiai dawuh: “Elu-elu ini guru ngaji. Pembawa ilmu agama. Penampilan harus keren. Harus perlente. Nih Elu-elu semua gua kasih sarung BHS, parcel, juga uang. Jangan khawatir, jumlahnya banyak. Entar elu cek deh. Gua kasih sarung mahal agar orang tua santri elu hormat dengan ilmu yang elu miliki. Kagak ngremehin elu. Jadi guru harus bermartabat. Jangan sampe karena pakaian elu jelek, akhirnya orang bilang ke anaknya, eh tong jangan bercita-cita jadi guru ngaji deh, entar elu miskin kayak guru elu. Nah kayak begini ini gua kagak demen. Jadi, elu harus bermartabat di mata para santri elu. Paham ye?”
Wallahu a’lam bishshawab.
—repost–