Oleh Muhammad Nora Burhanuddin, Saudara Kembar Muhammad Nova Buhanuddin, Alumni Al-Azhar, Asli Lamongan
Tak sengaja menemukan tulisan “Berbahayakah Studi Islam di Barat?” oleh Mas Annas Rolli Muchlisin, saya tergerak menuliskan kegelisahan ini. Bukan seputar topik utama tulisan itu yang punya kesan ingin mendamaikan beberapa penulis yag berseteru sebulan ini. Namun lebih kepada pembuktian, bahwa studi Islam di Barat yang dibangga-banggakan sebagai penelitian dengan metodologi objektif, sejatinya menyimpan cacat metodologis yang cukup fatal.
Ketika menampilkan perbedaan antara menjadi agamawan dengan menjadi peneliti, Mas Annas menampilkan dua contoh hasil kajian barat terkait tafsir dan teologi yang dari alurnya seolah ingin mengatakan, “Inilah hasil kajian Barat. Sangat menarik dan objektif kan? Tanpa harus menjadi agamawan pun, metodologi Barat mampu menghasilkan kesimpulan kajian yang membawa kemajuan pengetahuan bukan?”
Pertama, seputar tafsir, ia menulis:
“Para peneliti tafsir di Barat menemukan bahwa tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari (w. 1144) adalah tafsir yang paling populer pada abad pertengahan Islam. Kifayat Ullah menegaskan bahwa manuskrip al-Kasyaf sudah di-copy empat tahun setelah sang penulis wafat. Ia juga menyebut data dari al-Fihris al-Shāmil yang mencatat ada 843 manuskrip al-Kasyaf, yang 443 manuskripnya masih tersimpan di berbagai perpustakaan dunia. Ini belum dihitung berapa banyak jumlah hasyiyah dan ringkasan al-Kasyaf. Ullah berkata, “tidak ada satupun kitab tafsir yang disyarahi, diberikan hasyiyah dan mukhtasar lebih banyak daripada al-Kasyaf”.
Andrew J. Lane, peneliti tafsir lainnya, menemukan bahwa tidak sedikit ulama Sunni abad pertengahan yang memuji al-Zamakhsyari dan karyanya secara positif. Ia dinilai katsir al-fadl (memiliki banyak keutamaan), orang yang saleh, dan karya-karyanya, termasuk tafsirnya, menunjukkan keutamaannya yang berlimpah (wufur fadlihi). Walid Saleh, professor sa ya di University of Toronto, menulis, “jika engkau mengunjungi madrasah Islam pada abad 8H/14M, engkau akan mendapati bahwa al-Kasyaf adalah tafsir paling otoritatif yang banyak dipelajari dalam kurikulum madrasah.”
Di sini, beliau menampilkan data bahwa di abad pertengahan, tafsir al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari dipandang sebagai tafsir paling berpengaruh dan terhormat di kalangan ilmuan Islam. Kualitasnya diakui oleh civitas akademis Islam secara luas.
Kemudian, langsung setelahnya, beliau menulis:
“Gambaran ini berbeda jika kita baca, misalnya, al-Tafsir wa al-Mufassirun, disertasi al-Dzahabi di al-Azhar yang menempatkan tafsir al-Kasyaf dalam kategori tafsir bi al-ra’yi yang tercela (al-madzmum). Penilaian al-Dzahabi ini tentu didasarkan pada pertimbangan teologisnya yang Sunni, sedangkan para peneliti tafsir Barat di atas berpijak pada penelitian data-data sejarah.”
Di sini beliau menampilkan semacam paradoks, bahwa tafsir dengan kualitas terpandang seperti ini, mengapa dimasukkan kepada kategori tafsir madzmum (tercela) oleh al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun? Ini tak lain hanya buah dari pandangan teologis semata, dengan menafikan keunggulannya sama sekali.
Bagi yang belum pernah membaca al-Tafsir wa al-Mufassirun pasti akan menangkap kesan, penulis di sini ingin menampilkan sebuah paradoks. Bahwa tafsir terhormat di era klasik pun dianggap tercela di era kontemporer oleh ulama al-Azhar. Sehingga hasil penelitian Barat ini adalah sebuah kemajuan pengetahuan, dan menjadi bukti betapa mundurnya kajian Timur dibandingkan Barat.
Apakah demikian? Faktanya ternyata tidak demikian. Karena persoalannya jauh lebih simpel dibanding yang dibayangkan. Karena poin yang dipuji para ulama atas al-Kassyaf itu berbeda dengan poin yang mereka kritik. Ada yang diakui kualitasnya, ada yang dikritik keras kesalahannya. Setiap ulama boleh menilai kelebihan karya ulama sebelumnya sekaligus mengkritik kekurangannya. Tradisi Islam ini sampai sekarang masih terjaga dalam tradisi karya ulama-ulama kita.
Bahkan, jika kita membaca langsung al-Tafsir wa al-Mufassirun, kita akan tahu, hasil penelitian Barat di atas tak ada yang baru. Yang baru justru, penelitian itu digiring kepada semacam kesimpulan adanya kemunduran pandangan ulama tafsir atas al-Kassyaf, di mana dulunya memuji, sekarang malah mengkritik dan menganggapnya tafsir tercela.
Mari simak uraian Syekh Husein al-Dzahabi di sana:
وأما قيمة هذا التفسير، فهو – بصرف النظر عما فيه من الإعتزال – تفسير لم يسبق مؤلفه إليه، لما فيه من وجوه الإعجاز في غير ما آية من القرآن، ولما أظهر فيه من جمال النظم القرآني ولغته، وليس كالزمخشري من يستطيع أن يكشف لنا عن جمال القرآن وسحر بلاغته، والمعرفة بأشعارهم وما امتاز به من الإحاطة بعلوم البلاغة والبيان والإعراب والأدب، ولقد أضفى هذا النبوغ العلمي والأدبي على تفسير الكشاف ثوبا جميلا، لفت إليه أنظار العلماء وعلق به قلوب المفسرين.
“Adapun nilai tafsir ini – terlepas dari teologi Muktazilahnya – adalah sebuah tafsir yang belum pernah tertandingin sebelumnya karena kandungan I’jaz dalam ayat-ayat al-Quran di sana. Juga karena ia menampilkan disana keindahan sastra dan linguistic al-Quran. Taka da yang seperti Al-Zamakhsyari yang mampu menyingkap keindagan al-Quran dan sihir balaghahnya, pengetahuan syair-syair dan komperhensifnya dia atas ilmu-ilmu balaghah, I’rab dan sastra. Ia menghiasi keunggulan ilmiah dan sastrawi pada tafsir al-Kassyaf dengan corak baru, yang memikat perhatian para ulama dan memberi kesan mendalam pada hati para mufassirin.”
Seperti jelas terbaca di sini, al-Dzahabi juga memuji ¬al-Kassyaf secara luar biasa. Tak ada bedanya dengan para ulama klasik dulu ketika memberi penghargaan yang serupa. Sehingga, sebenarnya, tak ada yang baru dari penelitian Barat di atas. Toh, al-Dzahabi juga sama menilainya demikian.
Sedangkan kritikan beliau atas al-Kassyaf tentu saja poin lain yang bukan keunggulannya di sana. Hal seperti ini sudah sangat biasa kita temui di kitab tafsir-tafsir manapun, di mana ada sisi kelebihan dan kekurangannya.
Yang mengherankan saya justru, mengapa poin kritikan teologis ini menjadi sebuah poin yang dianggap paradoksal oleh penulis? Apa penulis tidak memahami:
ما به الإتفاق غير ما به الإفتراق
“Poin kesepakatan, beda dengan poin perbedaan”
Yang mana, poin yang dikritik ulama itu beda dengan poin yang dipuji. Sehingga ini dianggap semacam paradoksal dan dijadikan argumen sebuah hasil penelitian yang menambah kemajuan pengetahuan, justru bukti bahwa penulis tak memahami topik masalah. Tak ada yang baru dalam hasil penelitian Barat soal ini. Yang benar-benar baru hanya tadlis yang sering kita jumpai dari hasil penelitian mereka.
Jika ingin mengatakan adanya kemunduran dalam diskursus tafsir di Timur karena pandangan negatif teologis al-Dzahabi atas al-Kassyaf, apa penulis tak mencari tahu dulu, bahwa sampai sekarang di fakultas Tafsir di al-Azhar dan sejumlah kampus sunni Timteng, masih menjadikan al-Kassyaf sebagai diktat kuliahnya? Bahkan saya sering mendengar, banyak ulama di al-Azhar sengaja mengkhatamkan al-Kassyaf setiap Ramadan sebagai bacaan khusus pribadi demi memuliakan bulan al-Quran bulan Ramadan.
Jika tak ada yang baru dalam hasil penelitian ini, otomatis yang disebut sebagai pendekatan sejarah dalam penelitian itu justru tak memiliki nilai apapun. Sejarah apa yang mau disampaikan di sini? Apakah terkait teologinya? Padahal sudah disinggung jelas al-Dzahabi, walau tanpa menyebut itu sebagai pendekatan sejarah.
Yang saya lihat, satu-satunya kelebihan peneliti Barat atas turats Islam adalah deskripsi mereka yang seolah menampilkan hal-hal baru, padahal sejatinya sudah lama. Atau terkadang, dianggap baru karena kesalahan awal menangkap maksud ulama, sehingga imajinasi mereka kemana-mana di atas-namanakan sebagai “metodologi” tertentu, sehingga menghasilkan kesimpulan yang aneh dan anti mainstream. Imajinasi liar karena kesalahan dalam memahami teks para ulama, bisa kita saksikan lebih jelas dalam poin berikutnya.
Kedua dalam persoalan ilmu kalam. Ini poin yang sangat sering terjadi misunderstanding oleh peneliti Barat asli maupun pengikutnya saja. Kesalah-pahaman yang sebenarnya muncul karena kurangnya kecakapan ilmu untuk memahami teks ulama kalam secara komperhensif. Bisa jadi karena sengaja tidak membaca karya-karya muktamad yang beredar secara luas di kalangan para akademisi.
Beliau menulis begini:
“Contoh kedua terkait penelitian teologi Asy’ari. Frank Griffel, Professor Religious Studies di Yale University, dalam salah satu artikelnya meneliti pergeseran dan perkembangan pandangan ulama Asy’ari antara tahun 1.100 dan 1.200 tentang konsep kenabian. Ia mulai dengan mengutip pandangan al-Jahiz, tokoh Mu’tazilah Bagdad, bahwa kenabian bisa dibuktikan dengan dua cara: mukjizat dan kebaikan ajaran Nabi.
Argumen yang kedua ini, bahwa kebaikan pesan yang dibawa Nabi Muhammad membuktikan kenabiannya, memunculkan problem bagi kalangan Asy’ari karena bagi mereka, kebaikan dan keburukan tidak bisa diketahui dengan akal, melainkan dengan wahyu.”
Beberapa paragraf di atas membuktikan bahwa peneliti Barat sama sekali tak memiliki kecakapan memadai untuk bisa memahami teks ulama kalam. Kesalahan metodologi, tidak komperhensif dalam membaca teks kalam, dan diakhiri dengan imajinasi yang luar biasa liar, seolah dengan imajinasi itu bisa menunjukkan sisi paradoksal dalam teks ilmu kalam. Sebuah kelebihan metode Barat yang ingin disampaikan.
Penulis ingin mengatakan bahwa justru pandangan Muktazilah – yang dalam hal ini diwakili al-Jahizh, ternyata lebih relevan dalam persoalan pembuktian kenabian. Karena itu nyatanya diikuti oleh al-Ghazali yang kemudian diteruskan oleh al-Razi. Ketika ditelusuri genealoginya, ternyata berujung ke Ibnu Sina. Al-Jahidz dan Ibnu Sina bukan seorang sunni.
Banyak hal yang bisa dikritik dalam hal ini, namun saya ingin mengomentari satu hal yang cukup fatal. Yakni persoalan kebaikan-keburukan menurut ulama kalam sunni. Apakah sedangkal itu sehingga bisa penulis kritik seperti begini:
“Bagaimana mungkin audiens Nabi mengimani kenabian Nabi Muhammad berdasarkan penilain akal mereka bahwa ajaran Nabi itu baik sedangkan akal, bagi kelompok Asy’ary, tidak mampu mengungkap kebaikan-keburukan?”
Persoalan ini dalam tradisi kalam disebut tahsin wa taqbih aqli (kebaikan-keburukan rasional). Apakah benar, kelompok Asy’ary bisa dikritik soal ini karena telah menafikan fungsi akal sebagai penentu kebaikan-keburukan? Jika fungsi akal dinafikan, bagaimana mungkin orang kafir percaya dengan ajaran Nabi sebelum masuk Islam? Apakah benar maksud teori ini memang demikian sehingga pantas dikritik?
Jika kita merujuk kepada kitab-kitab kalam, imajinasi liar penulis akan langsung buyar. Bahkan masalah ini disebut di kitab-kitab kalam yang tipis dan level standar.
Syekh al-Mar’asyi dalam Nasyr Thawali’, sebuah kitab kalam ringkas pagi pelajar pemula, menulis:
وتفصيل المقام على ما في شرح المواقف أن العلماء قد ذكروا أن الحسن والقبيح يطلقان على ثلاثة معان:
الأول: كون الفعل صفة كمال، كالعلم، وكونه صفة نقصان كالجهل، ولا نزاع بين الفريقين في أن الحسن والقبيح بهذا المعنى يدركان بالعقل، فإن العقل يحتم بأن العلم حسن والجهل قبيح، ولا يتوقف على حكم الشرع بالحسن والقبيح فيهما.
والمعنى الثاني: كون الفعل ملائما للغرض ومنافرا له، فما وافق الغرض كان حسنا، وما خالفه كان قبيحا، وما خلا عنهما لا يكون حسنا ولا قبيحا، وقد يعبر عن الحسن والقبح بهذا المعنى بالمصلحة والمفسدة، فيقال الحسن ما فيه مصلحة، والقبيح: ما فيه مفسدة، وما خلا عنهما لا يكون حسنا ولا قبيحا، ولا نزاع في أن الحسن والقبح بهذا المعنى أيضا عقليان: أي يدركان بالعقل، لكن هذا المعنى بالإعتبار، فإن قتل زيد مصلحة لأعدائه وموافق لغرضهم ومفسدة لأوليائه ومخالف لغرضهم.
والمعنى الثالث: كون الفعل متعلق المدح عاجلا والثواب آجلا، وكونه متعلق الذم عاجلا والعقاب آجلا.
وهذا المعنى الثالث هو محل النزاع، فالحسن والقبح بهذا المعنى عند الأشعري شرعي، وذلك لأنهما لا يكونان لذات الفعل، وليس للفعل صفة لأجلها يكون الفعل حسنا وقبيحا بهذا المعنى الثالث حتى يدرك العقل ما به الحسن والقبح ويحكم بالحسن والقبح، بل كل ما أمر الشارع به فهو حسن، وكل ما نهى الشارع عنه فهو قبيح، حتى لو انعكس الأمر لانعكس الحال.
“Perincian masalah sebagaimana disebutkan dalam Syarah al-Mawaqif, para ulama menyebut sesuatu yang baik dan buruk, bisa dimaknai tiga hal. Pertama, perbuatan tertentu adalah sifat kesempurnaan seperti ilmu, dan perbuatan lain adalah sifat kekurangan seperti bodoh. Tak ada perselisihan antara Asy’ary dan Muktazilah bahwa hal baik dan buruk dengan pemaknaan ini bisa digapai lewat akal. Akal memastikan bahwa ilmu adalah baik, sedang bodoh adalah buruk. Status ini tak tergantung pada syariat untuk menghukumi baik-buruknya.
Kedua, perbuatan tertentu sesuai keinginan dan melenceng dari keinginan. Perbuatan yang sesuai keinginan adalah hal baik, yang melenceng adalah hal buruk. Perbuatan yang sepi dari keduanya, tak bisa disebut hal baik atau buruk. Terkadang hal seperti ini disebut maslahat dan mafsadah. Sehingga hal baik adalah sesuatu yang mengandung maslahat. Sedang hal buruk adalah yang mengandung mafsadah. Yang sepi dari keduanya bukan hal baik atau buruk. Tak ada perselisihan juga (antara Asy’ary dan Muktazilah) bahwa keduanya rasional. Maksudnya, bisa digapai oleh rasio/akal. Namun makna kedua ini berbeda-beda sudut pandang. Seperti, membunuh Zaid adalah maslahat bagi musuh-musuhnya dan sesuai keiginan mereka. Namun itu mafsadah bagi para pembelanya dan melenceng dari keinginan mereka.
Ketiga, perbuatan tertentu terkait pujian duniawi dan pahala ukhrawi. Juga terkait celaan duniawi dan siksa ukhrawi. Makna inilah yang terjadi perdebatan antara kedua belah pihak. Kebaikan dan keburukan dengan makna ketiga ini adalah syar’i menurut Asy’ary. Itu karena keduanya (pahala dan siksa) bukan disebabkan oleh perbuatan itu sendiri. Perbuatan apapun tak memiliki sifat yang menjadi pendorong itu disebut baik dan buruk dengan makna ini, sehingga akal bisa menghukumi kebaikan dan keburukannya. Namun, setiap yang diperintahkan syariat adalah hal baik dan semua yang dilarang adalah hal buruk. Hingga jika keadaannya terbalik pun, status baik-buruknya juga terbalik.”
Paragraf ini secara tegas merinci maksud ulama kalam Asy’ari ketika menyebut akal tak bisa menentukan hal baik dan buruk. Bahwa yang dimaksud bukan semua kebaikan dan keburukan, melainkan hanya yang terkait pahala dan siksa di akherat. Tegasnya, akal sama sekali tak memiliki kekuatan untuk mengetahui mana perbuatan yang mendapatkan pahala atau siksa di akherat. Tanpa adanya syariat yang menentukan mana perbuatan yang mendapat pahala dan siksa, akal tak punya kuasa di sini. Hanya poin ini sebenarnya yang terjadi perdebatan teologis antara ulama Asy’ary dengan Muktazilah. Adapun poin lain yang tak terkait itu, maka terjadi kesepakatan Asy’ari dan Muktazilah, bisa ditentukan dengan akal.
Tegasnya, maksud kebaikan-keburukan dalam teologi Asy’ari hanyalah kebaikan yang bermakna pahala di akherat. Demikian juga keburukan maksudnya siksaan di akherat. Akal tak punya kuasa menentukan mana perbuatan yang berujung pahala dan siksa di akhirat.
Penjelasan para ulama terkait hal ini sangat mudah kita temukan di semua kitab standar ilmu kalam dan ushul fikih. Bahkan di kitab al-Ghazali (yang berusaha ditarik ke pemahaman lain oleh penulis Barat di sini) juga disebutkan. Silahkan buka al-Iqtishad fi al-I’tiqad karya beliau, pasti akan menemukan. Di matan Jam’ al-Jawami’, kitab kurikulum ushul fikih pesantren, di bagian awal-awal pun disebutkan. Apalagi dalam kitab-kitab level advanced semacam Syarah Mawaqif dan Syarah Maqashid, pasti ditemukan penjelasan maksudnya di sana. Silahkan dibuka sendiri.
Sehingga, kesalahan fatal memahami teori kalam Asy’ary oleh penulis Barat ini, berujung pada pertanyaan kritis tapi salah alamat seperti nada kalimat di bawah ini:
“Bagaimana mungkin audiens Nabi mengimani kenabian Nabi Muhammad berdasarkan penilain akal mereka bahwa ajaran Nabi itu baik sedangkan akal, bagi kelompok Asy’ary, tidak mampu mengungkap kebaikan-keburukan?”
Pertanyaan di atas tak akan muncul jika penulis memahami sejak dari awal, bahwa maksud kebaikan-keburukan syar’i dalam teologi Asy’ary hanya yang bermakna pahala dan siksa saja. Selain itu tentunya akal punya peran menentukannya.
Bagaimana mungkin audiens Nabi SAW yang belum beriman menanyakan seputar siksa dan pahala sejak dari awal, sedangkan mereka saja belum beriman kepada Nabi SAW? Justru dalam kalam Asy’ari sebagaimana ditegaskan di semua kitab, menunjukkan, bahwa akal berfungsi sangat kuat untuk memberikan argumentasi orang yang belum beriman pada Allah dan Rasul. Mana mungkin orang bisa percaya dengan syariat, sebelum dia beriman kepada Allah dan Rasul yang membawa syariat?
Kerancuan lain sebenarnya masih banyak dalam beberapa paragraf penulis. Namun, terlalu panjang jika saya sebutkan argumen dan bukti-bukti kerancuannya di sana.
Ringkasnya, anggapan bahwa al-Ghazali melemahkan dalalah mukjizat, dan lebih mengunggulkan dalalah akhlak, sejatinya kurang tepat. Lebih akuratnya, terlalu global. Silahkan dicek di al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Di sana beliau, sama dengan ulama Asy’ari pada umumnya, menggunakan argumentasi mukjizat untuk menentukan kebenaran Nabi SAW.
Satu-satunya momen al-Ghazali mengunggulkan dalalah akhlak di atas mukjizat adalah di kitab al-Munqidz min al-Dhalal. Itu pun bukan dalam konteks pembuktian kebenaran Nabi secara umum. Melainkan dalam konteks, pemantapan keyakinan akan kebenaran Nabi. Yakni, jika ingin memantapkan keyakinan kepada Nabi, membaca sirah dan akhlak beliau yang agung memiliki kekuatan yang lebih kuat dibanding hanya melihat mukjizat, tanpa adanya indikasi akhlak ini. Karena akal masih bisa membawa syubhat tertentu untuk menafsirkan mukjizat secara berbeda.
Sejujurnya, pendapat al-Ghazali ini bukan hal yang baru ditemukan oleh peneliti Barat. Ia bahkan sudah disebut dalam Syarh Mawaqif. Disana, selain menyebut mukjizat sebagai bukti utama kebenaran Nabi, juga menyebut jalur lain yang dikatakan oleh para ulama. Yakni al-Jahidz dan al-Ghazali dalam al-Munqidz.
Masih sangat panjang sebenarnya jika ingin menguliti hasil kajian peneliti Barat ketika membincang turats Islam. Banyak sekali imajinasi-imajinasi liar yang di atas-namakan metode ilmiah, metode historis, metode objektif, dan sebagainya yang disematkan. Padahal sejak dari data, metodologi, kelengkapan refrensi, dan kecakapan memahami teks ulama, sangat tidak komperhensif. Sehingga kesimpulan penelitian yang dianggap baru ini sejatinya benar-benar baru karena kesalahan dan cacat metodologi semata. Bukan sebuah penemuan karena metode rasional objektif yang selama ini dipasarkan di banyak kesempatan.
Sebenarnya, masalah ini sangat simpel sekali. Saya bisa saja menerangkan secara verbal kesalahan metode Barat ini tak lebih dari sepuluh menit karena saking sepelenya persoalan. Namun ketika dituliskan, butuh waktu beberapa jam untuk menyajikannya lengkap dengan bukti teksnya.
Jujur, saya lebih senang menyebut metodologi Barat soal turats sebagai tak bermetodologi sama sekali.