Soekarno, Idul Fitri, dan Kemanunggalan

Tertulis tanggal 18 Maret 1961, tepat di halaman Istana Merdeka Soekarno menyampaikan pidatonya terkait pesan ruhaniyah bagi umat Islam yang bertajuk Islam, Agama yang Mempersatukan Tuhan dengan Manusia. Pertama Soekarno menyampaikan perihal bagaimana melakukan sholat Id yakni Idul Fitri ataupun Idul Adha disunahkan dilakukan di lapangan terbuka. Tentu saya tidak bisa membayangkan bagaimana sang orator ulung menyampaikan pesan-pesan kenabian itu dengan semangat yang berkobar dan mengkantar-kantar.

Pasalnya, presiden pertama itu dijuluki Singa Podium seantero Asia bahkan mungkin dunia. Tentu yang harus kita catat di sini adalah Soekarno juga seorang muslim taat, muslim Islam Jawa. Muslim yang tidak pernah meninggalkan identitas ke-jawaan-nya sebagai manusia Jawa sesungguhnya. Mafhum, jika dalam pidato-pidatonya, khutbah-khutbahnya Soekrano selalu menyisipi wejangan-wejangan dari bahasa Jawa, salah satunya terkait dengan pidato hari Raya Idul Fitri ini.

Soekarno membuka khotbah  tersebut dengan mengucap terimakasih dan permohonan maaf karena tidak bisa melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Baiturrahman, seperti yang disebutkan di atas, pada waktu ini sedang dibangun mega proyek besar, sebagai tanda supermasi Islam di Indonesia. Dengan demikian shalat Idul Fitri dilaksanakan di depan Istana Presiden. Bahkan untuk menyelut Api semangat umat Islam, Soekarno dalam khotbahnya memekikkan kalimat takbir, “Allahu Akbar saudara-saudara”, kira-kira begitu.

Baca juga:  Bukti-Bukti Orang Nusantara Telah Bertemu Khalifah Umar Bin Khattab

Soekarno menyampaikan bahwa agama Islam, agama kita sekalian adalah agamanya yang teramat besar, agama untuk sekalian umat manusia, agama yang menghendaki kita berhubungan langsung dengan Tuhan. Baginya, ada agama lain yang hanya menghendaki hubungan manusia dengan Tuhan saja, maka manusia agama lain cita-citanya  hanya berhubungan dengan Tuhan saja dan mengabaikan dengan hubungannya dengan yang lain.

Maka bagi Soekarno itu bukan ajaran Islam, karena hanya memprioritaskan hubungan dia dengan Tuhan-nya. Hal demikian diilustrasikan dengan seorang manusia yang masuk ke gua di gunung-gunung yang jauh dan bersemadi, mempersatukan dirinya dengan Tuhan. Soekarno menandaskan Bersemadi mandeng pucuking grana, nutupi babahan hawa sanga, mempersatukan diri dengan Tuhan (Seokarano, 2006:287). Tentu hal demikian tidak sembarang ada makna filosofis yang mendalam ketika ungkapan-ungkapan semacam demikian dilontarkan.

Mandeg pucuking grana, dia memandang pucuk hidungnya. Menutupi babahan hawa sanga, menutupi lubang sembilan dalam tubuh kita yang situ keluar hawa: 2 dari hidung, 2 dari mata, 1 dari mulut, 2 dari telinga, 7, ada dua lagi sehingga lubang 9 ini laksana menjadi mati. Dia mematikan diri, menghubungkan dirinya dengan Tuhan, menyendiri di gua, di hutan, di gunung. Hal demikian adalah ajaran-ajaran Jawa Lama yang dikenal sebagai Moksa. Tentu hal demikian bukan cita-cita Islam, tangkas Soekarno.

Baca juga:  Syekh Abdussamad Alfalimbani, Pencetus Jihad Melawan Kolonialisme

Tentu kritik ini disampaikan kepada mereka yang berlaku mistik asketik, ajaran pasivitas dalam Islam. Hal demikian seyogyanya tidak dilakukan oleh seorang muslim selaku khalifah di muka bumi. Sebab, seyogyanya muslim sejati adalah muslim yang tidak terhanyut dalam buaian Tuhan sehingga meninggalkan kewajiban dirinya sebagai khalifah di muka bumi, melainkan dia harus menanamkan sifat-sifat Tuhan dalam ke-diri-anya sekuat mungkin yang nanti akan memanifestasi dan menjadi manusia dalam taraf paling tinggi yakni sebagai Insan Kamil.

Sebenarnya, konsep kemanunggalan bukanlah kita menyepi dan menepi dari sosial kemasyarakatan. Melainkan menancapkan nilai-nilai ketuhanan dengan kuat di dalam diri kita kemudian memendarkan sifat-sifat itu di alam raya ini. Dengan artian bahwa penerimaan pencerahan Ilahi bukanlah penerimaan pasif belaka, melainkan seorang muslim dengan tindakannya menciptakan situasi baru yang akan menawarkan peluang lebih lanjut bagi perkembangan kreatif.

Inilah cita-cita agama Islam yang sesungguhnya, di satu sisi manusia harus tetap bersujud kepada Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Di sisi yang lain seorang muslim juga harus mempersatukan dengan semua manusia. Oleh sebab itu, di dalam agama Islam banyak sekali hukum-hukum yang berbicara soal sosial kemasyarakatan. Agama Islam dengan gamblang mendidik dan melatih kita untuk menjadi insan masyarakat, bukan individu yang menjauhkan diri dari lingkungannya.

Baca juga:  Andalusia Era Islam (2): Konflik Etnis hingga Datangnya Abdul Rahman Sang Penakluk

Islam menghendaki agar supaya insan muslim menjadi manusia yang demikian. Menjadi muslim yang tegak, gagah dengan hati yang suci, hati yang tunduk kepada Allah Swt, tetapi badaniah juga tegak, sigap, tidak gentar dengan apa pun. Terlebih dengan paham-paham yang datangnya dari luar baik dari Timur Islam (Arab)  maupun Barat yang tidak sesuai dengan ke-diri-an umat Islam Indonesia khususnya Jawa. Sebab, muslim yang baik adalah muslim yang bisa berasimilasi dengan ajaran yang datang dari luar.

Tentu, di hari yang fitri ini kita harus terlahir kembali, terlahir dari rahim agama Islam yang mengajarkan gerak untuk menghentak dan menghujam menyampaikan pesan-pesan keislaman yang sesuai dengan zaman dan problem sosial kemasyarakatan. Bukan lahir kembali atas nama manunggal yang melebur ke dalam ke-diri-an Tuhan, meninggalkan sosial kemasyarakatan, menjauhkan diri dari keramaian, menepi dan menepi dari perubahan dan pergolakan. Bangkitlah insan muslim, lahirlah di hari yang fitri!

https://alif.id/read/raha/soekarno-idul-fitri-dan-kemanunggalan-b243401p/