Batas-batas ideologi maupun budaya, bukanlah perbatasan dalam pengertian geografis yang bersifat kasatmata. Ia lebih memprioritaskan rasa tertentu, seperti harga diri atau rasa hormat terhadap manusia lain (liyan) atas gaya dan konsep estetika yang berbeda. Dalam film Drive My Car, kita dapat melihat karakteristik tokoh utama (Kafuku) yang kalem dan tenang, seakan ia memiliki hati yang sudah rukun pada dirinya sendiri.
Film ini diadaptasi dari cerita pendek Haruki Murakami, berjudul Men Without Women (2014), menggambarkan kisah menarik perihal kehidupan aktor yang telah kehilangan pasangannya. Selama pernikahan mereka, Kafuku mengakui telah tidur dengan beberapa aktor muda, meski ia berusaha menutup diri untuk menyinggung perihal perselingkuhan yang dialami bersama pasangannya.
Komunikasi yang intensif antara Kafuku dan sopirnya, Watari yang kemudian saling mengungkap isi hatinya, secara implisit menunjukkan sifat dan karakteristik orang-orang yang memiliki “hati” yang sudah memafkan. Apalah artinya mudik melintasi perjalanan ratusan kilometer ke kampung halaman, ditambah dengan berbagai hadiah dan cenderamata untuk sanak famili dan keluarga di kampung, jika para pelakunya belum memiliki hati yang memaafkan?
Narator orang ketiga dalam Drive My Car menawarkan petunjuk tentang masa lalu Misaki, khususnya perihal sang ibu yang mencerminkan masyarakat modern yang gagal, serta meninggal selaku pecandu alkohol. Dalam menghadapi ujian dan kegetiran hidupnya, ternyata Watari sangat mahir menyimpan rahasia pribadi, namun sekaligus mencoba memahami arti kehidupan ini sambil tenang mengemudikan kendaraan dalam kesunyian.
Batas-batas komunikasi agar sanggup berjiwa besar mengakui kekhilafan di masa lalu, adalah tema unik di era hiper modern yang ditandai dengan beragam delusi akibat pandemi Covid-19 ini. Rekaman masa lalu istrinya, terus mengikuti perjalanan Kafuku. Suaranya menghantui dengan tenang dan halus, bergema di dalam mobil, seakan dalam perjalanan pulang menuju pintu gerbang kampung halaman. Apa yang telah ia lakukan di masa lalu? Sebagai orang yang memanggul beban psikologis, tentu Kafuku sudah memaafkan mendiang istrinya yang sudah tiada, namun apakah sang istri dapat memaafkan dirinya? Lalu, kepada siapa permaafan itu hendak disampaikan?
Sang pengemudi (diperankan Miura Touko) seakan tampil sebagai pendengar dan saksi sejarah dari segala kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan majikannya di masa lalu. Dalam diamnya, Milari terus mendengar pengakuan Kafuku, seakan ia tampil sebagai satu-satunya kunci dan saksi sejarah akan perilaku negatifnya di masa lalu. Namun, sekaligus mencerminkan pendengaran Tuhan yang mengantarkan masa lalu Kafuku di depan mahkamah pengadilan sejarah.
Dalam diamnya, Milari mendengar dengan tenang, seakan ia menampakkan sosok yang pasif, namun pada prinsipnya ia berperan kuat selaku saksi aktif yang menyaksikan pengakuan Kafuku perihal jejak langkahnya, sekaligus juga ketahanannya dalam menghadapi tragedi demi tragedi yang diakibatkan oleh kesalahan tindakan dan ketidakjujurannya.
Di sisi lain, ketika Misaki berangkat mudik ke kampung halamannya (ditemani Kafuku), mobil merah Saab seakan memasuki kota fiksi setelah perjalanan panjang dari Hiroshima ke Hokkaido. Di tengah perjalanan itu, suasana senyap dan keheningan menyertai perjalanan mereka. Mobil itu memasuki wilayah, tempat Misaki mengalami trauma di masa lalu, laiknya menghadapi hantu-hantu misterius yang sulit dipahami oleh nalar dan pikiran rasional.
Ketika memasuki tempat itu, Misaki segera mengenakan maskernya, menandakan bahwa dia sedang berada di era pandemi yang sulit termaknai hakikatnya. Meskipun akhirnya, keputusan untuk rujuk dengan kampung halamannya itu menciptakan perubahan yang semakin mencerdaskan dan mendewasakan batinnya.
Batas-batas perbedaan bahasa, budaya, hingga ke persoalan batas-batas geografis, tercermin jelas dalam penggambaran Drive My Car. Komunikasi menjadi sebuah proses translasi yang bergerak antara satu manusia ke manusia lain, antara satu bahasa ke bahasa lain, antara teks dengan konteks. Bahkan, antara masa lalu yang sarat kekhilafan, dengan masa kini yang harus berjiwa besar untuk berani memaafkan.
Tidak jarang orang yang merusak bangunan kerukunan itu berdalih atas dasar paham dan pandangan agama. Padahal, semua agama membawa pesan kebaikan dan cinta-kasih antar sesama. Bagaimana mungkin manusia berjalan di atas rel dan jalur yang benar, pada saat jiwanya masih terikat oleh pandangan dan dogma masa lalu. Kafuku dan Misaki mengungkap pentingnya rukun terhadap diri sendiri, hingga kemudian bisa merukunkan sesama manusia dan makhluk Tuhan.
Karena itu, jika hati sudah rukun dan mengakui kesalahan, ia akan memberikan kemerdekaan jiwa, ketenangan batin dan kepasrahan diri, sehingga perjalanan hidupnya terkontrol oleh sikap rendah-hati, mawas-diri, tidak merasa dirinya sebagai tuan atas harga diri manusia dan alam semesta ini. Tetapi sebaliknya, hati-hati yang belum bisa memaafkan sesamanya, serta menuruti hawa nafsunya, ia akan terbelenggu oleh ego pribadinya, bahkan juga sulit tumbuh menjadi hamba yang merdeka. Karena, dorongan hawa nafsu sangat memengaruhi pola pikir yang ujung-ujungnya berpendapat bahwa segala yang mungkin dilakukan oleh otak manusia, boleh dilakukan sekehendak hatinya. Kesimpulan ini mengakibatkan rusaknya tatanan kosmos, akibat saling tarik-menariknya keinginan dan kepentingan untuk memengaruhi yang satu terhadap yang lainnya, bahkan untuk menguasai yang satu atas yang lainnya.
Bila semua pemeluk agama memiliki mental dan karakteristik yang rukun terhadap diri dan sesamanya, maka kebhinekaan yang menyimpan potensi konflik dapat teratasi dengan sebaik-baiknya. Bahkan, ketegangan sosial-politik yang rawan, dapat pula diatasi dengan mekarnya jiwa persaudaraan dan solidaritas tinggi. Dengan demikian, paradigma keberagamaan tidak dikelompokkan dalam tataran tradisional maupun modern, tetapi meningkat kepada suatu fase “esoterik” yang tidak lagi dalam sekat-sekat pembatas yang primordial, tetapi sudah menembus kepada atmosfir spiritual yang lebih matang.
Kita perlu mengantisipasi munculnya kelompok tertentu yang sering merusak citra kerukunan, dengan memelintir ayat-ayat suci, serta mendukung kebenaran secara sepihak, yang pada hakikatnya merupakan “pembenaran” atas penafsirannya sendiri. Untuk itu, proses pendewasaan di dunia pendidikan harus terus memperjuangkan prinsip-prinsip kebersamaan, yang memekarkan api empati dan cinta kasih. Kesalehan vertikal dan horisontal harus bersatu dan senyawa, bagaikan kebersamaan dalam pikiran dan tindakan.
Sikap tenggang rasa, akan memunculkan kemaslahatan yang melahirkan prinsip keadilan bagi segenap bangsa. Dengan demikian, tak ada tempat bagi mekarnya radikalisme dalam pikiran kaum muda yang sudah merasuk api empati dan cinta kasih di dalamnya. Dalam hati dan jiwa yang pemaaf, kualitas kemanusiaan akan terwujud dengan baik.
Tapi, seberapa pun jauhnya perjalanan mudik, dan sebanyak apapun sumbangan materi yang disuguhkan kepada sanak-famili, jika hati ini masih diliputi dendam dan kedengkian, maka putaran roda sejarah akan menjebak kita ke dalam siklus lingkaran setan yang tak pernah terpecahkan sampai kapan pun. (*)
https://alif.id/read/chs/mudik-dan-menembus-batas-batas-b243425p/