Fahruddin Faiz dan Catatan Ngaji Kitab al-Munqidz Min Adh-Dhalal Karya Al-Ghazali

Saya pernah menulis sebuah catatan ringan seusai mengikuti Ngaji Filsafat bersama Ustadz Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.

Pada malam itu, Pak Faiz membabarkan begitu jelas; bagaimana lanskap pemikiran Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul al-Munqidz Min Adh-Dhalal (Penyelamat Kesesatan). Kitab yang sangat ringkas tersebut tercipta dari sebuah kegalauan. Yakni pengembaraan bathiniah al-Ghazali dalam menemukan hakikat dari kebenaran.

Kegalauan Al-Ghazali pada waktu itu dengan pertanyaan: “Apa itu kebenaran?”.

Batin saya, keren juga ulama’ zaman dahulu. Kegalauannya dapat menciptakan buah karya fenomenal, dan dapat dinikmati dan kita rasakan kedahsyatan pemikirannya hingga saat ini.

Berbeda dengan kita yang hidup di era sosial media. Kegalauan hanya menjadi tumpukan sampah—status di fesbuk, twitter, instagram, dan media jejaring sosial lainnya. Bahkan tak jarang menjadi perdebatan yang tidak mutu, hingga mengarah ke perpecahan sosial. Gara-gara si A dukung tokoh ini, akhirnya dihapus dari daftar pertemanan. Belum lagi bertebaran dalil-dalil agama untuk kepentingan masing-masing kelompok.

Perpecahan, fanatisme madzhab, dan serba ‘anti’ terhadap apapun, semuanya itu dihindari oleh Imam Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali, fanatisme dapat menjadikan seseorang anti kritik. Padahal, otokritik terhadap diri sendiri maupun kelompoknyalah yang sebenarnya dibutuhkan.

Begitu juga dengan orang yang ‘anti’. Ketika dia sudah masuk golongan tertentu, kecenderungan untuk anti dan menerima informasi dari kelompok lain menjadi tertutup. Bahayanya lagi kalau sampai melakukan generalisir. Semuanya “serba salah” dan “pokok e”. Kalau sholatnya tidak begini, pokok e salah. Kalau jilbabnya tidak begini, pokok e tidak syar’i. Jika islamnya tidak seperti pemahaman Islam saya, pokok e itu liberal. Dan orang liberal itu antek dari Yahudi dan kafir.

Baca juga:  Sufi dan Seni (1): Sufi dan Keindahan Transenden

Dalam kitab al-Munqidz kita akan disadarkan bahwa dalam beragama dan berkeyakinan, tidak sedangkal itu. Al-Ghazali menyebutkan ada bermacam-macam golongan pencari kebenaran. Ada kelompok bathiniyah, yang mengklaim dirinya sebagai pewaris kebenaran tunggal. Ada golongan filosof, yang mengklaim diri sebagai ahli logika. Ada golongan sufi yang mengklaim sebagai ahli musyahadah dan mukasyafah.

Klaim-klaim inilah yang sebenarnya ingin dibongkar oleh Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh Hujjatul Islam, itu bukan karena klaim-klaim sebagaimana yang diasumsikan oleh golongan-golongan tersebut. Al-Ghazali telah membuka diri—baik cakrawala berfikir maupun bergumul dengan madzhab dan golongan manapun. Sehingga ada yang mengatakan kalau Al-Ghazali itu seorang filosof, teolog, dan juga seorang sufi. Namun dia bukan semua. Dia cenderung menghindari pengkotak-kotakan.

Al-Ghazali adalah tipikal orang yang tidak percaya kepada asumsi. Karena asumsi baginya harus diuji kebenarannya, dengan cara mencoba dan mengalami sendiri. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa teh itu manis kalau kita tidak merasakannya.

Nah, permasalahan yang ada selama ini, terutama masalah “keberagamaan” kita itu muncul karena asumsi-asumsi tersebut. Baik yang Sunni, yang Syiah, Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah, jika masih suka berasumsi terhadap kelompok di luar dirinya, perpecahan dan konflik tanpa diundang akan datang dengan sendiri.

Siapa yang bisa menyangka jika ada dua pasangan (cewek-cowok) yang masuk ke hotel kemudian divonis melakukan hubungan terlarang? Bisa jadi mereka berdua justru bermunajat kepada Allah Swt, sholat tahajud bersama.”demikian kelakar Ustad Faiz.

Baca juga:  Imam Syafi’i juga Pernah Sinis

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Faiz, “hari ini telah banyak orang yang pintar mengomentari sesuatu, padahal dirinya sendirilah yang sebenarnya butuh untuk dikomentari. Hari ini banyak orang yang suka marah-marah dan memaki-maki, padahal dirinya sendiri sebenarnya yang butuh dimarahi dan dimaki-maki”.

Begitu juga telah banyak orang yang ingin membela agama Islam, berniat ingin menjadikan agama Islam itu jaya. Akan tetapi cara yang digunakannya tidak islami. Al-Ghazali menggambarkan ihwal ini seperti halnya membersihkan atau mensucikan barang yang terkena najis tetapi menggunakan air kencing. Muspro.

Menguji Status Kenabian

Banyak hal yang bisa kita lakukan dalam menguji seseorang siapakah dia sebenarnya. Terutama ketika ada orang yang mengaku sebagai wali atau nabi. Bisa menggandakan uang triliunan misalnya. Ustadz Faiz menyarankan supaya untuk melihat jejak rekam dan perilaku orang tersebut. Yang namanya seorang Nabi atau Rasul, tidak pernah melakukan penipuan, bahkan sampai melakukan pembunuhan.

Sealim apapun Iblis, berhubung dia melecehkan Adam, akhirnya diusir dari surga. Di sini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Allah sangat tidak suka pada orang yang sombong dalam level apapun. Termasuk mengaku nabi, mengaku wali, bisa terbang, bisa menggandakan uang lalu dipamer-pamerkan.

Singkatnya, dalam kitab Al-Munqidz Min Adh-Dhalal ini, Anda benar-benar akan diselamatkan dari sebuah kesesatan berfikir, mengasumsikan diri sebagai orang yang paling benar dan yang lain salah. Anda juga akan diselamatkan dari fanatisme bermadzhab, dan lebih cenderung menerima informasi dari sumber manapun. Karena semuanya itu adalah ilmu Allah Swt. Sementara ilmu Allah itu tidak bisa dibatasi baik oleh ayat-ayat Al-Qur’an, tidak pula dibatasi oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya, dan tidak pula dibatasi oleh ijtihad para ulama’. Kita semua berhak mendapatkan “apa itu kebenaran”.

Baca juga:  Sufi yang Tangannya Putus

Sebagaimana kata Al-Ghazali, bisa jadi apa yang engkau fikir benar justru terdapat kesalahan. Dan apa yang aku yakini sebagai salah, justru terdapat kebenaran. Wallahhu a’lam.

https://alif.id/read/autad/fahruddin-faiz-dan-catatan-ngaji-kitab-al-munqidz-min-adh-dhalal-karya-al-ghazali-b243443p/