Akal. Ia adalah anugerah yang diberikan Tuhan Yang Mahaesa kepada manusia. Akal—yang merujuk kepada rasio (reason)—memiliki peran penting dalam setiap jejak langkah manusia, utamanya dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau pendidikan. Kita tahu bahwa posisi akal dalam semesta filsafat sangatlah mendominasi, di samping peran pengalaman empiris.
Dengan menggunakan akal—bermuara kepada aliran rasionalisme—proses berpikir secara mendalam (radix) dalam rangka memperoleh “kebenaran” akan tercapai. Berbicara tentang kebenaran, sangatlah sulit mendefinisikannya. Hidup ini terlalu singkat bilamana kita ingin menelisik apa esensi kebenaran tersebut. Yang mana, ia bersifat universal, relatif, dan sebagainya. Mungkin ada sedikit jawaban mengenai apa kebenaran itu. Adapun yang menjawab, bahwa kebenaran hanya datang dari Tuhan!
Kiranya, jawaban model seperti itu lahir dari berbagai agama, termasuk Islam. Namun, di lain pihak, apakah kita sebagai umat Islam “yang berakal” puas dengan jawaban tersebut? Kiranya tidak. Karena, filsafat Islam—sebagai sebuah tradisi intelektual dan menjadi simbol kemajuan umat Islam pada masa lalu—mengajarkan kepada umat Islam sendiri untuk menggunakan akal dalam kegiatan spiritual beragama dan tidak hanya berpangku kepada iman saja.
Memang, di lain pihak muncul sebuah asumsi bahwa pemahaman agama harus dibangun atas dasar keimanan. Sedangkan, filsafat berangkat dari keragu-raguan (skeptisisme). Sepintas, asumsi yang merujuk pada perbedaan agama dengan filsafat itu ada benarnya. Namun, apakah itu demikian? Haidar Bagir punya jawaban yang kiranya mencengangkan. Lewat bukunya yang bertajuk Mengenal Filsafat Islam (Mizan, 2020).
Pertama, tidak benar bahwa agama Islam menyatakan bahwa penganutnya bermula dari iman. Dalam Islam, yang dalam hal ini adalah paham rasionalistik Islam (ta’aqquli), keimanan datang belakangan setelah atau, paling cepat, bersamaan akal. Menurut paham ini, agama harus dipahami secara rasional.
Bahkan, bagi sebagian orang, adalah menjadi tugas setiap individu Muslim untuk berupaya sampai kepada kepercayaan (‘aqidah) yang benar mengenai Islam lewat pemikirannya sendiri. Dengan demikian, sampai batas tertentu, keragu-raguan memang dipromosikan disini. “Agama”, kata Sang Nabi: “adalah akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.”
Kedua, dalam rangka mencari kebenaran, filsafat Islam menggunakan metode demonstrasional (burhani). Mengingat para filosof Muslim membangun argumentasinya melalui pijakan apa yang dipercayai dan yang disepakati secara umum sebagai premis-premis kebenaran primer (primary truth). (hlm. 73-74)
Berlandaskan kedua argument di atas, dari situ kita paham, bahwa Haidar Bagir ingin menyuguhkan filsafat Islam sebagai sumber mata air segar untuk umat Islam, bahwasannya peran akal dalam memahami agama begitu penting. Beragama dengan akal akan membawa pemahaman kaum Muslim wal Muslimah secara universal dan tidak terpaku kepada satu dalil saja.
Tetapi, bilamana umat Islam tidak menggunakan akal dalam memahami nash maka dia cenderung literatif-tekstualis dan apa adanya, tanpa meninjau konteks. Sehingga, mencuatlah kelompok-kelompok Islam fundamentalis, Islam radikalis, Islam yang marah-marah, dan sejenisnya. Yang mereka itu, dengan mudah mengecap kelompok yang tidak sepaham atau sedalil dengannya dengan melontarkan: “kafir”, “neraka”, dan “sesat”. Mengerikan.
Disinilah filsafat—utamanya filsafat Islam—melebarkan sayapnya dalam problem sebagaimana yang terjadi di atas. Dalam hal ini, filsafat dapat membuka wawasan berpikir untuk bersikap sophisticated, adil, dan apresiatif dalam meneliti berbagai agama dan kepercayaan yang dianut oleh berbagai kelompok manusia. Dengan cara ini, umat Islam lebih siap untuk memajukan nilai-nilai keterbukaan, pluralitas, dan inklusivitas sehingga dapat melihat hikmah-hikmah yang mungkin dipungut dari berbagai sumber—suatu sikap yang jelas-jelas dianjurkan oleh agamanya sendiri. (hlm. 46-48)
Buku bersampul biru ini, menjadi santapan wajib bagi khlayak wa bil khusus umat Islam yang tidak begitu menggunakan akalnya dalam kesehariannya sebagai umat Islam. Karena buku ini mengajak kita untuk menjelajahi tingkatan-tingkatan akal, yang berasal dari pemikiran filosof-filosof Muslim. Dan itu, sangatlah menakjubkan.
Kaitannya dengan perihal diatas, penulis menjelaskan teori emanasi (al-faidh), yaitu teori yang menjelaskan tingkatan-tingkatan akal yang bermula dari Allah hingga alam immaterial. Bahwa, menurut teori emanasi, wujud Allah sebagai suatu wujud Intelijen (Akal) Mutlak yang berpikir—yakni, berpikir tentang dirinya, “sebelum” adanya wujud-wujud yang selain-Nya—secara otomatis menghasilakan—(yakni, memancarkan)—Akal Pertama (Al-‘Aql Al-Awwal) sebagai hasil “proses” berpikir-Nya. Menurut sebuah hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, “Yang pertama kali Aku ciptakan adalah al-‘aql, sang Akal (Akal Pertama)”.
Pada gilirannya, sang Akal—sebagai akal—berpikir tentang Allah, dan sebagai hasilnya, terpancarlah Akal Kedua. Proses ini berjalan terus hingga berturut-turut terciptalah Akal Ketiga, Keempat, dan seterusnya hingga Akal Kesepuluh. Akal Kesepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud di alam immaterial. (hlm 107)
Begitulah, apa yang telah diungkapkan memberikan umat Islam pencerahan (isyraq) betapa akal sangatlah penting dan utama. Mengingat, akal adalah sesuatu yang membedakan diri kita dengan makhluk lain. Jadi, “fungsikanlah” akal dalam beragama agar kita dapat mengenal diri kita. Bukankah orang yang tidak mengenal dirinya berarti ia tidak mengenal Tuhannya? Demikian.
Judul Buku : Mengenal Filsafat Islam
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun Terbit : November 2020
Tebal Halaman : 196
ISBN : 978-602-441-017-9
https://alif.id/read/fanam/mengenal-filsafat-islam-beragama-haruslah-berakal-b243458p/