Al-Ghazali, Sains, dan Jawaban atas Tuduhan Kemunduran Islam

Islam mengalami kejayaan perkembangan sains pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah. Salah satu trigger utama majunya perkembangan sains pada masa tersebut yaitu lewat proyek translasi buku barat ke dalam bahasa arab. Sehingga kaum muslim saat itu bisa mempelajari apa yang sedang berkembang di dunia barat.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan sains di kalangan kaum muslim mengalami kemandekan. Banyak faktor yang menyebabkan kemandekan ini, perlu adanya kajian komprehensif untuk mengetahuinya. Ada sebagian orang yang berasumsi bahwa kemandekan ini disebabkan oleh umat islam saat ini, salah satunya di Indonesia, masih mempelajari kitab tasawuf klasik yang seolah-olah membuat kaum muslim menjadi abai perihal ilmu non syariat.

Imam al-Ghazali melalui karangan-karangannya di bidang ilmu tasawuf dituduh menjadi salah satu penyebabnya. Salah satu karangan beliau yang diberi tuduhan ini adalah Ihya Ulumiddin. Kitab yang sangat masyhur di kalangan pesantren ini secara terlintas memang membuat sebagian kaum santri atau umat islam untuk fokus pada hal-hal ukhrawi saja.

Padahal jika kita menalah kitab Ihya Ulumiddin lebih dalam, beliau memiliki concern pada ilmu non syariat, sains dan humaniora. Dalam pembahasan mengenai ilmu (kitabul ilmi) di dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua, yaitu fardhu ain dan fardhu kifayah. Pada kategori ilmu fardhu ain secara garis besar adalah ilmu yang kita butuhkan setiap harinya, seperti ilmu ketauhidan, ilmu tentang tata cara ibadah yang kita lakukan seprti sholat, taharah, dsb.

Baca juga:  Kiai Sahal Mahfudh (2): Fiqih Kebangsaan Kiai Sahal

Hal yang menarik adalah ketika beliau menerangkan ilmu fardhu kifayah. Beliau membaginya dengan dua kategori, yaitu ilmu syariat dan ilmu non syariat. Ilmu syariat adalah ilmu yang sumbernya diambil dari apa yang datang dari para nabi. Sedangkan ilmu non syariat beliau mengkategorikannya ke dalam beberapa bagian.

Lantas, apakah ilmu non syariat tidak perlu dipelajari?. Ilmu non syariat ini dibagi lagi menjadi ilmu mahmud (terpuji), madzmum (tercela), dan mubah. Ilmu terpuji adalah ilmu dimana keberadaannya membawa kemaslahatan bagi khalayak umum. Untuk ilmu terpuji ini, beliau membagi menjadi fardhu kifayah dan fadhilah (kemulian jika mempelajarinya).

ما فرض الكفاية فهو كل علم لايستغنى عنه فى قوام امور الدنيا كالطب اذ هو ضرورى فى حاجة بقاء الأبدان وكالحساب فانه ضرورى فى المعاملات وقسمة الوصايا والمواريث وغيرهما

“Apa itu ilmu fardhu kifayah? Yaitu setiap ilmu yang mana keberadaannya dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dunia seperti ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran adalah suatu keharusan dalam kebutuhan menjaga sehatnya badan. Begitu juga, ilmu matematika (termasuk fardhu kifayah), karena ilmu ini pasti dibutuhkan dalam mu’amalah, pembagian wasiat, warisan, dan lain-lain”.

Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa belajar ilmu kedoteran dan matematika adalah fardhu kifayah. Hal ini berkonsekuensi jika tidak ada umat islam yang fokus belajar pada ilmu-ilmu tersebut maka komunitas umat muslim akan mendapatkan dosa semuanya. Imam al-Ghazali secara gamblang mewajibkan setiap sebagian umat islam untuk belajar ilmu sains. Bahkan beliau juga mewajibkan juga sebagian umat islam belajar ilmu industri dan politik.

Baca juga:  Ulama Banjar (84): Guru Abdussami

فان اصول الصناعات ايضا من فروض الكفايات كالفلاحة والحياكة والسياسة بل الحجامة والخياطة

“Sesungguhnya dasar-dasar ilmu perindustrian juga termasuk bagian dari ilmu fardhu kifayah seperti pertanian, perajutan, dan politik, bahkan pembekaman dan konveksi”.

Karena bagaimanapun juga manusia tidak akan terlepas dari dunia pertanian, industri bahkan politik sekalipun. Peraturan yang dibuat oleh pemangku kebijakan tidak akan terlepas dari kontestasi politik. Umat islam sendiri harus juga memiliki kemampuan dalam ilmu politik, supaya setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah membawa kemaslahatan bagi umat manusia.

Dari apa yang diuraikan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin perlu menjadi refleksi kita bahwa umat islam tidak hanya fokus dalam ilmu syariat saja. Sebagian kaum muslim harus ada yang ahli dibidang IPTEK sebagaimana yang dulu pernah ada seperti, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dll. Islam tidaklah anti dengan ilmu sains yang dibawa oleh barat. Jika islam anti terhadap ilmu sains tentu tidak akan lahir tokoh-tokoh hebat dari kaum muslimin yang berpengaruh terhadap perkembangan sains di barat pada abad pertengahan.

https://alif.id/read/uln/al-ghazali-sains-dan-jawaban-atas-tuduhan-kemunduran-islam-b243475p/