Orang membuat peringatan berbarengan berdalih: ikatan penerbit buku, perpustakaan, buku. Peringatan bertanggal 17 Mei. Acuan tahun untuk tiga peringatan berbeda: 1950, 1980, 2002. Konon, hal terpenting itu buku. Kita menunduk saja mengaku bingung dan meragu berpikiran buku beralamat Indonesia.
Kita berusaha mengingat tokoh-tokoh dalam perbukuan di Indonesia. Kita bisa menemukan nama-nama sejak awal abad XX: Marco Kartodikromo, Kwee Tek Hoay, Tan Khoen Swie, Mohammad Hatta, Soetomo, Kamadjaja, Haji Masagung, dan lain-lain. Peran mereka itu penerbit buku, pedagang buku, pembaca buku, dan kolektor buku. Daftar nama bisa panjang jika kita memiliki ingatan kuat dan bersih. Pada abad XXI, ingatan cepat lelah dan berhenti di tengah jalan.
Kita ingin menghormati tokoh dan Kwitang. Ia bernama Haji Masagung. Ingatan ke masa 1950-an: “Namun sejak berdirinya toko buku di Kwitang nomor 13 itu, jadi banyak yang tertarik berjualan buku, meski hanya dengan sarana gerobak. Selain buku, di antara gerobak-gerobak itu ada juga yang berjualan mainan dari kayu, sehingga menarik minat anak-anak sekolah di dekatnya. Sejak itulah kawasan Kwitang jadi terasa ramai, dimulai oleh anak-anak yang menyeret kuda-kudaan kayu ke sana kemari.” Kita senang membuka sejarah Haji Masagung dan Toko Buku Gunung Agung turut menggerakkan sejarah (buku) di Indonesia. Suasana dalam petikan itu menggembirakan: buku, mainan, anak.
Pada masa 1950-an, penerbitan dan perdagangan buku di Indonesia belum berpeta jelas dan terjanjikan menguntungkan. Haji Masagung berani dan bergerak terus meski sadar situasi politik dan ekonomi.
Di buku peringatan 50 tahun Toko Buku Gunung Agung berjudul Ketut Masagung: Bapak Saya Pejuang Buku (2003) disusun (kembali) oleh Rita Sri Hastuti, kita membaca kenangan: “Sebagai peresmian NV Gunung Agung, mereka mencoba membuat gebrakan, berupa pameran buku di Kwitang 13. Pameran dan resepsi perkenalan Gunung Agung pada tanggal 8 September 1953 itulah yang dianggap sebagai tonggak awal perjalanan Gunung Agung. Sehingga untuk selanjutnya, tanggal 8 September yang sebenarnya diambil dari tanggal kelahiran Tjio Wie Tay (Haji Masagung), 8 September 1927, dijadikan sebagai tanggal ulang tahun Gunung Agung, dan diperingati setiap tahun sampai sekarang.”
Kita pun ingat acara penting masa 1950-an: Pekan Buku Indonesia. Pengetahuan terperoleh dengan membaca buku diadakan NV Gunung Agung berjudul Pekan Buku Indonesia 1954. Di sampul, kita melihat globe dengan tampilan peta Indonesia. Pada bagian atas, buku terbuka. Pemuliaan buku terjadi saat deru revolusi. Misi diajukan berdalih buku: “Kami ingin menjampaikan seni dan pengetahuan, pengertian dan ilmu kepada mereka jang bertjita-tjita mempekaja djiwa dan rochaninja.” Buku bukan sekadar dagangan. Acara bersejarah itu diselenggarakan di Gedung Pertemuan Umum, Medan Merdeka Utara, Jakarta, 8-14 September 1954.
Kita mengikuti penjelasan Wiratmo Soekito: “Keinsafan akan buku atau lebih tepat kesadaran perpustakaan, kita belum melihat dinegeri jang baru sadja merdeka ini. Toko-toko buku sekarang pada umumnja masih berbau pengertian: asal dagangan laku, kepentingan-kepentingan lainnja tidak pernah dipikirkannja. Benar, di Djakarta umpamanja, ada kita lihat toko-toko buku jang mempunjai warna, seperti Obor di Tanah Njonja jang menerbitkan warna Katholik, toko buku Pembaruan di Tanah Tinggi jang memberikan warna Komunis, dan lain sebagainja…” Pemikir bakal dikenang dengan Manifes Kebudajaan itu memikirkan masalah buku dipengaruhi (badan) penerbitan buku, toko buku, dan perpustakaan. Indonesia masa 1950-an masih linglung dalam perbukuan.
Terbukti! Kita kembali ke buku peringatan 50 tahun Toko Buku Gunung Agung. Di situ, kita membaca: “Selain itu sukses pameran 10.000 buku dengan modal Rp 500 ribu itu, membuat Haji Masagung semakin mantap untuk mengukuhkan posisi sebagai penerbit.” Peristiwa pada 1953 memberi pengaruh untuk menambahi peran sebagai penerbit. Konon, penjualan terbesar saat pameran buku di Kwitang itu buku-buku pelajaran untuk digunakan di sekolah-sekolah.
Misi memuliakan Indonesia dengan buku berlanjut. Gunung Agung mendaftar ingin menjadi anggota IKAPI, organisasi berdiri pada 17 Mei 1950. Keinginan mendapat penolakan. Kita memperoleh pengakuan dari HA Notosoetardjo selaku Ketua IKAPI periode awal. Keterangan terberikan berlatar suasana sejarah: “Habisnya Cina selalu kepala dua, maunya duit melul, lupa tugasnya untuk kebangkitan Indonesia. Sama Belanda mau, sama Indonesia mau, semua mau walaupun maunya tidak bersih, tidak keluar dari kesadaran, hanya memburu duit. Tidak ada prinsip, semua mau asal dapat duit. Itu berbahaya. Makanya di masa itu penerbit yang berbau Belanda dan Cina terpaksa kami sikat.” Sejarah pernah kelam dan mengancung curiga-kebencian. Haji Masagung terus bergerak melewati masa-masa kadang buruk. Gunung Agung berhasil menjadi anggota IKAPI dengan restu Soekarno. Pada masa 1980-an, peran Gunung Agung di IKAPI cukup besar.
Pada masa berbeda, Haji Masagung membuktikan bukan sosok tamak atau melulu berpikiran duit. Ia mendirikan Yayasan Idayu. Nama bereferensi dari nama ibu Soekarno. Pendirian saat Haji Masagung berusia 40 tahun. Ia ingin berfaedah bagi (perbukuan) Indonesia. Sejarah baru dibuat dengan mengadakan perpustakaan di naungan Yayasan Idayu, diresmikan pada 28 Oktober 1966. Perpustakaan itu menggembirakan mahasiswa, peneliti, intelektual, dan pelbagai pihak dalam riset dan pengetahuan tentang Indonesia.
Nasib perpustakaan tak seindah pengharapan sejak awal. Di buku, penjelasan mengandung prihatin: “Sayang, meski sampai sekarang perpustakaan dan pusat dokumentasi Yayasan Idayu masih berkantor di Jl Kramat Kwitang Kecil, Jakarta Pusat, koleksinya sudah tidak selengkap dahulu. Tinggal 30% dari total koleksi karena banyak yang terkena rayap dan pernah kebanjiran.” Duka untuk perbukuan di Indonesia.
Berita duka pernah dimuat di majalah Gatra, 12 Agustus 1995. Judul berita bisa membuat pembaca menangis: “Sekarat Setelah 29 Tahun”. Masa-masa indah berlalu. Pada 1990-an, sulit demi sulit tertanggungkan tanpa jawab. Kutipan dari berita: “Sejak didirikan 28 Oktober 1966, perpustakaan Idayu sebenarnya berkembang cukup pesat. Apalagi Bung Karno, Bung Hatta, dan Adam Malik pernah tercatat sebagai pelindung perpustakaan ini. Koleksinya terbilang maju untuk ukuran saat itu sehingga perpustakaan kecil ini selalu banjir pengunjungnya.”
Kita mengerti sejarah dan perkembangan perbukuan di Indonesia dipengaruhi politik, nalar bisnis, banjir, binatang, dan lain-lain. Di sejarah panjang dan pasang-surut, kita mengingat nama penting: Haji Masagung. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/toko-buku-penerbit-dan-perpustakaan-b243583p/