ARRAHMAH.CO.ID – Musyawarah adalah salah satu ajaran penting dalam Islam.
Setidaknya ada tiga ayat dalam al-Qur’an yang secara tegas memerintahkan kita
untuk bermusyawarah dalam menghadapi segala masalah, khususnya yang terkait
dengan orang lain. Ketiga ayat tersebut adalah:
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali Imron, 159)
Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS Asy-Syura [42], 38)
Tempatkanlah mereka
(para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS At-Thalaq [65], 36)
Islam memang datang untuk menghentikan tradisi kekerasan
dalam menyelesaikan konflik dan diganti dengan cara-cara perdamaian melalui
dialog dan musyawarah. Apalagi, Islam berasal dari kata s-l-m (kata
kerja infinitifnya; aslama-yuslimu-islaman) yang
berarti ‘tunduk’, ‘menyerah’,
dan ‘memenuhi atau
melakukan’. Dalam konteks
kalimat, ia bisa juga berarti al-silm dan al-salam yang berarti ‘kedamaian’ dan perdamaian.
Asghar Ali Engineer, pemikir muslim asal India, lebih
senang menafsirkan kata Islam dengan “perdamaian” (al-silm) dengan
merujuk kepada misi perdamaian dan kedamaian yang intrinsik dalam wahyu. Mengutip
Ahmad Amin, Asghar menganggap makna kedamaian dalam Islam sesuai dengan
petunjuk al-Quran dan konteks zaman Nabi.
Sebagaimana dalam al-Quran ditunjukkan ada beberapa ayat,
antara lain: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila ‘orang-orang keras hati’
(Jahiliyah) menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang damai (qalu
salama)” (QS. Al-Furqan: 63).
Secara kontekstual, kata kedamaian menunjukkan bahwa kedatangan
Islam sebagai rahmat dan pengikat bagi kebiasaan orang Arab yang suka berperang
dan bermusuhan berdasarkan emosi kesukuan. Orang-orang Arab masa itu terkenal
sangat keras, arogan, dan frontal.
Sistem sosial bangsa Arab pada masa pra-Islam berjalan
berdasarkan sistem kesukuan. Identitas seseorang berakar pada afiliasinya
dengan klan dan suku tertentu. Klan merupakan struktur sosial yang dibangun
oleh sejumlah keluarga besar dan suku merupakan asosiasi dari beberapa klan.
Sistem kesukuan menggambarkan kerasnya kehidupan
orang-orang Arab. Peperangan dan kekerasan menjadi suatu keseharian yang
integral dalam kehidupan mereka. Tidak ada satu alasanpun untuk menolak adanya
kekerasan dalam kehidupan mereka. Peperangan setiap saat bisa terjadi guna
memperluas pengaruh suku masing-masing dengan menjadikan suku-suku lain sebagai
“wilayah jajahan”. Mereka melakukan genjatan senjata pada bulan-bulan tertentu
yang disepakati. Singkatnya, tiada hari tanpa perjuangan mempertahankan diri
dengan segala upaya. Hukum saling menguasai dan balas dendam menjadi suatu hal
yang lazim dalam pandangan hidup bangsa Arab.
Tradisi perang dan kekerasan inilah yang kemudian berusaha
diminimalisir oleh Islam dan kemudian digantikan dengan cara-cara perdamaian
melalui dialog dan musyawarah.
Teladan Nabi
Ada dua peristiwa penting yang dialami Nabi
Muhammad – satu peristiwa sebelum
menjadi Nabi dan satu lagi setelahnya – yang menunjukkan dasar-dasar pentingnya
dialog dan musyawarah: yakni pembangunan kembali Mekkah tahun 605 M dan
penaklukan kembali Mekkah pada tahun 630 M.
Ketika pada tahun 605 masyarakat Mekkah berjuang untuk
membangun Ka’bah muncul konflik di kalangan beberapa suku mengenai siapa yang
berhak untuk meletakkan “batu hitam” di atas Ka’bah. Konflik bermula
ketika masing-masing klan saling berkeinginan untuk memperoleh kehormatan
sebagai pengangkat batu tersebut dan meletakkannya di tempatnya. Setelah hampir
lima hari terjadi perang urat syarat, muncul usulan dari orang tersepuh yang
hadir agar mengikuti saran orang yang kemudian memasuki Ka’bah melalui pintu “Bab al-Shafa”. Kebetulan yang beruntung melewati pintu tersebut
adalah Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad yang dipercaya atas tugas menyelesaikan
konflik tersebut meminta agar didatangkan jubah dan meletakkan batu hitam di
atas jubah yang telah dibentangkan di atas tanah. Beliau kemudian meminta
masing-masing klan untuk memegang pinggir jubah, kemudian mengangkatnya secara
bersama-sama dan Nabi Muhammad mengambil
batu tersebut untuk diletakkan di tempatnya. Maka dimulailah kembali
pembangunan Ka’bah tersebut.
Peristiwa tersebut menunjukkan betapa Nabi sangat mengedepankan
kebersamaan ketimbang kepentingan pribadi. Dengan kesepakatan yang telah
dicapai sebelumnya, Nabi bisa saja mengangkat batu tersebut dan melekakkan di
Ka’bah. Namun, demi menjaga kebersamaan diantara suku-suku di Mekkah, Nabi
mengajak para pemimpin suku untuk bersama-sama mengangkat baru suci tersebut.
Peristiwa kedua terjadi tahun 622 ketika Nabi bersama
pasukannya berupaya kembali ke Mekkah setelah hijrah selama delapan tahun di
kota Madinah. Orang-orang Mekkah yang merasa berbuat salah dengan mengusir
Muhammad ke Madinah takut akan kemungkinan balas dendam yang mungkin menimpa
mereka. Ketika memasuki Mekkah, Nabi Muhammad berpidato: “Apa yang akan
kalian katakan dan apa yang kalian pikirkan?” Mereka menjawab, “Kami
berkata dan berpikir baik: Saudara yang terhormat dan murah hati, Andalah yang
memberi perintah.” Kemudian Nabi pun mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya aku berkata seperti yang diucapkan saudarakan Yusuf: Pada
hari ini tidak ada celaan yang ditimpakan atas kalian: Tuhan akan mengampuni
kalian, dan Dialah Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad baik sebelum maupun
setelah menjadi Nabi ini merupakan contoh bagaimana konflik sesungguhnya bisa
diatasi dengan cara damai, tanpa dengan kekerasan. Alih-alih mendorong kepada
klan tertentu untuk meletekkan batu tersebut, Nabi memberikan kesempatan yang
sama kepada mereka guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik yang lebih
tajam. Nabi juga tidak melakukan balas dendam, tetapi justru memberikan maaf kepada
orang-orang Mekkah yang pernah melakukan kesalahan pada beliau.
Dari tindakan Nabi ini ada beberapa nilai inti yang bisa
diidentifikasi untuk terciptanya dialog, musyawarah dan perdamaian. Pertama,
kesabaran karena Muhammad mau mendengar terlebih dulu mengenai problem yang
sesungguhnya. Kedua, menghargai mertabat kemanusiaan dengan memberikan
kesempatan yang sama kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Ketiga,
kehormatan tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehormatan pihak lain,
tetapi bisa dengan cara membaginya secara setara. Keempat, berbagi bersama ini
didasarkan atas partisipasi yang sama di antara semua pihak yang terlibat
konflik. Kelima, perlu sikap kreatif untuk mencari media yang bisa
menyelesaikan konflik. Keenam, memberikan maaf kepada pihak yang memang
seharusnya diberi maaf.
Mendamaikan Konflik
Dialog, musyawarah dan perdamaian dibutuhkan karena
kehidupan ini penuh dengan perbedaan. Setiap orang memiliki keinginan dan
kepentingan mungkin berbeda dengan orang lain. Jika kepentingan tersebut
bertabrakan dengan kepentingan orang lain, maka yang akan terjadi adalah
konflik. Jalan terbaik untuk mengatasi konflik adalah dengan cara dialog dan
musyawarah, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt.
Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujurat [48]. 10)
Bahkan, dalam ayat sebelumnya, Allah mengancam orang yang
tidak mau berdamai dan malah berkhianat, agar diperangi.
Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Hujurat [48]. 9)
Perintah untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai
diulang dalam banyak ayat lainnya, yakni Al-Baqarah, 182; An-Nisa, 128;
Al-Anfal 61). Pengulangan ini tentu saja menunjukkan bahwa penyelesaian masalah
dengan cara damai melalui dialog dan musyawarah adalah pilihan yang sangat dianjurkan
dalam Islam.
Sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik, tentu
saja musyawarah membutuhkan prasyarat. Musyawarah dapat membuahkan hasil yang
baik jika masing-masing orang bermusyawarah saling percaya satu sama lain dan
menganggap orang lain sebagai setara. Syarat ini penting karena musyawarah
tidak akan berjalan dengan baik jika ada anggota musyawarah yang merasa lebih tinggi dari yang lain.
Itulah sebabnya, dalam musyawarah, berlaku pepatah yang sudah sangat populer:
Lihatlah apa yang dibicarakan orang, dan jangan lihat siapa yang berbicara.
Pepatah ini ingin menegaskan bahwa dalam musyawarah, tidak
terlalu penting dari siapa pendapat itu berasal. Yang jauh penting adalah apakah gagasan itu
membawa maslahat atau tidak bagi kepentingan orang banyak.[]
Oleh: Ust. Hasibullah Satrawi, alumni Universitas Al-Azhar Kairo,
Mesir.
https://www.arrahmah.co.id/2021/03/mengedepankan-dialog-dan-musyarawah.html