Aku tiba di kompleks pemondokan Jemaah Haji Indonesia di Madinah pukul 15.30, Ahad, 12 Juni 2022. Tujuanku ke sana, dan juga tujuan Abdul Hakim (Sindo), Pradipta (RRI) Pudji Abdul (SCTV) dan Surya Yuli (Suara Merdeka), adalah meliput Kloter 1 Embarkasi Solo dan Kloter 1 Embarkasi Jakarta-Pondok Gede bergerak meninggalkan Madinah menuju Mekkah.
Turun dari mobil, kami bergerak sendiri-sendiri. Aku berjalan ke arah Masjid Nabawi, mengikuti bapak-bapak.
“Mau ke mana Pak?” Pertanyaan basa-basi kulontarkan untuk bapak-bapak. Ya pasti basa-basi, wong jelas berjalan menuju Nabawi, kok masih ditanya. Untung saja bapak itu jemaah asal Betawi, yang ditanya sedikit tapi jawabnya banyak:
“Mau ke Nabawi, genepin shalat Arba’in. Habis salat langsung naik bus ke Mekkah.” Sayang sekali, aku lupa tanya namanya. Duuh..
Tapi, sebelum dapat info dari bapak tadi, aku mengira shalat Arbain terakhir Zuhur tadi, ternyata selesai Arbainnya Asar. Shalat Arbain adalah shalat wajib lima waktu yang dilakukan di Masjid Nabawi. Shalat ini dilakukan secara berturut-turut sebanyak 40 waktu. Itulah tujuan Jemaah Haji Indonesia tinggal 8-9 hari di Madinah. Tapi ini hukumnya Sunnah saja, tidak ada kaitannya dengan ibadah haji.
Setelah beberapa langkah menemani bapak itu, aku pamit balik arah. Panas sekali. Aku harus berteduh.
Tibalah aku di hotel Jawar al-Saqifah, hotel besar berjarak 500 meter sisi Barat Nabawi. Bus-bus berderet-deret di jalan, menunggu jemaah yang masih di Nabawi.
Lobi hotel sepi, hanya tampak 2 resepsionis berbusana hitam. Tetapi di sudut, ada perempuan berkerudung putih duduk sendiri. Aku menghampirinya.
“Ibu, kenapa tidak ke Nabawi?”
“Masih sakit. Saya shalat di sini saja..”
Aku pun mengajak kenalan. Belum 5 menit, aku mendapat banyak informasi darinya.
Namanya Siti Dzulhijjah umur 44 tahun, asal Cilandak, Jakarta Selatan. Sebelum haji sekarang ini, dia sudah pernah datang untuk melaksanakan ibadah umroh, tahun 2008.
Dzulhijjah sakit kepala dan sakit leher sejak Jumat. Awalnya karena dua jam di bawah terik matahari. “Jumat siang saya tidak kebagian tempat di dalam. Setelah itu kepala sakit. Kalau dibawa jalan rasanya muter-muter, sempoyongan kram otot. Tapi sejak tadi malam sih sudah mendingan. Tinggal dikitlah,” tuturnya. Dia merasa beruntung karena tim kesehatan petugas haji wira-wiri sampai 4 kali menyambanginya di kamar hotel. “Dokternya baik, ramah dan kasih resep. Suami saya malam ke apotek nuker resep.”
Di luar sakit 3 hari, semua aktivitas selama di Madinah, Dzulhijjah merasa senang. “Saya menikmati seminggu lebih Madinah, tidur nyenyak, ke Raudah juga dimudahkan. Ziarah juga ke Masjid Quba, Uhud, Baqi, dan Qiblatain.”
“Jarang jajan saya, cocok makanan jatah dari panitia. Tapi koper saya sudah penuh, banyak jajan baju,” tambah Dzulhijjah sambil tersipu-sipu.
Dzulhijjah mengaku shalat Arbain tidak genap 40 kali, karena datang bulan dan 3 hari sakit. “Tidak masalah Bu, kan hukumnya sunnah dan bukan termasuk rangkaian haji,” demikian aku katakan.
***
5 Anggota Keluarga
Ibadah Haji Siti Dzulhijjah terasa menyengangkan. Sebab, di samping berangkat sama sang suami (Khoirul Amri) berangkat juga abangnya Ahmad Makki serta 2 adiknya; Faturahman dan Ahmad Baidlowi. Jadi total 5 anggota keluarga. Mereka tergabung dalam kelompok terbang 1 Embarkasi Jakarta-Pondok Gede.
“Nana adik saya yang perempuan sebetulnya didaftarkan juga tahun 2012, tapi karena kesibukan, pindah ONH Plus. Coba ada dia, pasti lebih seru lagi,” ungkap Dzulhijjah.
“Bagaimana ceritanya Bu, bisa berangkat berombong-rombong? Enak sekali ini, tidak semua orang bisa berangkat haji bersama keluarga besar…”
“Semuanya biaya Umi. Waktu itu kami sekeluarga sering anter Umi umroh dan naik haji. Satu waktu Umi tanya, pengen naik haji tidak, kalau pengen Umi ongkosin..” Yang dimaksud Umi adalah ibunya, bernama Hajjah Halimah, 65 tahun. “Kok Umi masih muda, Bu?” tanyaku menyergah.
“Umi kawinnya umur 14 tahun. Namanya juga zaman dulu. Wajarlah,” cerita Dzulhijjah yang pendidikan terakhirnya diselesaikan di MAN 4 Jakarta.
Hajjah Halimah 7 kali pergi ke tanah suci, sekali haji, 6 kali umroh. Haji Muhidin –suami Hajjah Halimah– adalah pensiunan guru agama, sudah meninggal tahun 2002.
Aku makin penasaran, keluarga ini boleh dibilang kaya raya. Bayangkan seorang ibu, single parent, memberangkatkan 5 orang haji, dan dia sendiri sudah ke tanah suci sebanyak 7 kali.
Girah orang Betawi naik haji memang tinggi ditandaai dengan banyaknya biro haji dan umroh di Jakarta. Selain itu, jika kita mendatangi taklim-taklim di Jakarta, yang umumnya dihadiri ibu-ibu setengah baya, doa-doa yang menaikkan harapan pergi ke tanah suci selalu dipanjatkan. Alwi Shahab pernah menulis demikian tentang keinginan orang Betawi naik haji:
“Bagi warga Betawi, sejak masa kecil ketika hendak ditidurkan, si ibu dengan kasih sayang bersenandung, ‘Ya Allah ya Rabbi, minta rezeki biar lebih, biar bisa pergi haji, ziarah ke kuburan Nabi’.”
Kembali ke cerita Siti Dzulhijjah. Aku yang awalnya sungkan bertanya, jadi memberanikan diri mengorek informasi lebih:
“Dari mana sumber biaya ke pergi haji, Bu?”
“Hasil jual tanah. Sebetulnya yang mungkin berada (kaya, red.) itu kakek saya, Haji Dali,” terang Dzulhijjah. Mendengar pengakuannya, aku hanya berdecak kagum, “Masya Allahhh.. Sudah kaya, dermawan pula..sempurna!”
“Alhamdulillah.. Umi memang sayang sama anak-anak. Saya sudah berkali-kali berdoa untuk Umi semoga panjang umur..”
Amiiiii… Semoga jadi haji mabrur, Ibu dan keluarga…
https://alif.id/read/hamzah-sahal/5-anggota-keluarga-berangkat-haji-dibiayai-ibunya-b244050p/