Mengenal Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung: Asrama Barongan Tanpa Aturan yang Teratur

Kiai Imam Nawawi adalah pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Ringinagung. Beliau dikenal sebagai Kiai kharismatik, alim, dan “keramat”.

Dalam satu Riwayat disebutkan bahwa Kiai Nawawi berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah, sebuah kota yang populer dengan gelar “the Spirit of Java”. Sumber lain mengatakan, Kiai Nawawi berdarah priayi dan ningrat. Beliau punya nama kecil “Raden Sepukuh”, putra Raden Bustaman, seorang penghulu di Keraton Surakarta.
Nama Nawawi bukan Nama kecilnya, melainkan gelar dari sahabat sahabatnya saat nyantri di Pondok Siwalan Sidoarjo, karena keahlian dan penguasaan terhadap kitab kitab kuning khususnya yang dikarang oleh Syaikh Nawawi Al Bantani.

Pada saat kepengasuhan beliau, santri “Pondok Keling” ini mencapai 8000-an santri. Sebagaimana pondok lainnya, Pondok Keling ini fokus mengajarkan fiqih, tasawuf, ilmu alat (Nahwu Sharraf). Sekalipun ada yang mengenalnya dengan pondok ahli falak, itu karena ada dua Kiyai yang sangat ahli falak, yaitu kiai Maisur dan Kiai Hozin.

Menurut cerita santri, saking ahlinya dalam ilmu Falak, Mbah Yai Hozin sampai bisa menghitung dengan cermat dan tepat kapan daun daun pohon gugur.

Sepeninggal Syaikh Imam Nawawi, Kepengasuhan dilanjutkan oleh Kiai imam Bajuri, dilanjutkan Kiai Imam Mukthi, Mbah Kiai Humaidi, Mbah Zaid Abdul Hamid, mbah Muawwam, dan saat ini di bawah Kepengasuhan Kiai Hudaifah, atau lebih dikenal dengan “Pak Let “.

Baca juga:  Memahami Poligami secara Arif: Lora Fadil di Mata Santrinya

Di saat Kepengasuhan “Kiai Zaid” Pesantren Keling yang telah dikenal dengan nama Mahir Arriyadl ini sangat maju. Kiai Zaid juga dikenal sebagai ulama pembaharu ketika pada tahun 1980-an, mendirikan Pondok Pesantren Putri bernama Islahiyyatul Asroriyyah.

Kiai Zaid bukan hanya melakukan pembaharuan di dalam pondok, melainkan juga berelasi dengan masyarakat dengan baik. Bergaul dengan petani, pedagang, pejuang, penjahat, dan model apa dan siapapun beliau bisa. Jika bergaul dengan petani, beliau seperti petani, bergaul dengan pedagang ya seperti pedagang, dengan kiai kiai ya pantes karena memang kiai. Saya teringat Sabda Nabi, “Kun Ka sairi an nas- jadilah seperti manusia pada umumnya, jangan membedakan diri dengan orang lain”.

Sepeninggal Kiai Zaid, Pesantren sempat mengalami penurunan jumlah santrinya, sampai beberapa tahun kemudian keluarga bersepakat menjadikan Kiai Hudaifah atau yang lebih dikenal dengan pak Let sebagai Pengasuh. Saat ini menurut informasi jumlah santri putra putri mencapai 3000 an santri, yang berada dibawah asuhan beberapa keluarga Mahir Arriyadl, yaitu Al Gus Hafid Ghazali, Gus Irfan Hamid, Kiai Hudaifah sendiri, dll.

Kiai Hudaifah (pak Let) termasuk kiai yang Unik. Hampir seluruh hidupnya untuk mengajar di pesantren. Unik, karena beliau sama sekali tidak berpenampilan seperti kiai pada umumnya. Cukup mengenakan baju Hem lengan pendek yang tidak baru, sarung ya yang biasa biasa saja (bukan BHS), dan kopiah hitam yang sudah berwarna kekuningan. Kata adiknya, sesungguhnya banyak sekali yang memberikan sarung dan baju yang bagus bagus, tapi tidak pernah dipakainya, dan dikasihkan sama adiknya.

Baca juga:  Sewaktu Menggelandang di Jakarta

Beliau pak Let, juga pilih pilih menerima sumbangan dari masyarakat, apalagi dari pemerintah. Suatu kisah, ada salah seorang dari luar Jawa yang telah mengumpulkan sumbangan dari masyarakat, setelah terkumpul dan akan diserahkan, beliau menolaknya dengan halus, sekalipun diyakinkan bahwa apa yg dikumpulkan adalah 100 persen halal. Dan ini bukan hanya terjadi sekali dua kali.

Suatu hari (kira kira lima tahun yang lalu), saya diajak adik ipar saya mengelilingi pondok Mahir Arriyadl, termasuk “Asrama Barongan” yang berada dipengawasan “pak Let”. Di Sudut satu Asrama yang mirip gubuk ini, saya bertemu dengan laki laki dewasa dengan pakaian yg sangat sangat sederhana, jauh dari tampilan kiai, dengan rokok khas ditangan, didampingi dua anak muda di sampinnya. Saya jalan aja terus, sampai saya diberi tahu oleh adik, bahwa beliaulah “pak Let” itu, kontan saya berhenti dan kemudian mencium tangannya.

Di samping ada pondok Induk dengan sistem pendidikan yang telah matang dan modern, ada satu Asrama yang disebut Asrama Barongan, disebut barongan karena ia berada di bawah barongan pohon pohon bambu. Pada mulanya asrama ini diperuntukkan untuk santri santri nakal di induk yang harus diusir. Namun karena kasihan jika diusir, kasihan sama keluarga dan kedua orang tua yang sudah susah payah membiayai putra putrinya, akhirnya dibuatlah asrama Barongan ini. Inilah asrama yang dibuat sendiri oleh kang Santri santri.

Baca juga:  Meniti Jejak Radikalisme Berkedok Hijrah di Kalangan Remaja

Yang menarik, berbeda dengan asrama induk, asrama Barongan ini tidak ada peraturan tertulis. Ketika ditanya, mengapa tidak ada aturannya? Beliau menjawab, “Ya kan sudah ada Fiqih, ada kitab, itu kan cukup sebagai aturan.” Menarik!

Hari ini kita, umat Islam membutuhkan keteladanan, bukan hanya dalam keilmuan, prilaku, namun juga dalam kesederhanaan. Saya secara pribadi, menemukan di tempat ini. Semoga Mahir Arriyadl selalu Qiyam Al Ilmi, Qiyam Al Uswah sampai Allah memutuskannya.

Apa yang ditulis ini adalah bagian kecil dari sebutir debu, dari keseluruhan sejarah pondok Mahir Arriyadl Keling Ringinagung Kencong Kediri, yang bersebelahan dengan tiga pondok besar lainnya, yaitu pondok Sumbersari, pondok Kencong, dan Pondok Kiai Hannan Kwagean.

Pliringan Kepung Kediri 16-05-21.

https://alif.id/read/imam-nakhai/mengenal-pesantren-mahir-arriyadl-ringinagung-asrama-barongan-tanpa-aturan-yang-teratur-b237912p/