Sejak lama, Bayang dikenal sebagai basis ulama yang berjejaring ke basis-basis ulama Nusantara. Karena itu, jika Padangpanjang di pedalaman Minangkabau digelari “Serambi Mekah”, maka Bayang mendapat kehormatan sama: “Serambi Mekah” pantai barat Sumatera. Berbeda dengan Padangpanjang yang punya institusi pendidikan besar seperti Sumatera Thawalib atau Diniyah Putri, Bayang lebih dikenal dengan pendidikan surau dan halaqah.
Mungkinkah ini jadi penyebab Padangpanjang lebih dikenal dalam rujukan historiografi Islam di Nusantara ketimbang Bayang yang seolah tinggal sebagai bayang-bayang masa silam?
Pusat-pusat pengajaran Bayang terutama terletak di daerah pedalaman seperti Koto Barapak, Asamkumbang, Puluik-puluik hingga Pancung Taba. Kampung-kampung tersebut terletak sealur dengan sungai (batang) Bayang yang berhulu di Bukit Barisan. Dari Pasar Baru, ibukota Kecamatan Bayang, yang berada di jalan lintas Sumatera, jarak kampung itu bervariasi. Mulai Koto Barapak yang terdekat (sekitar 17 km) dan Pancung Taba yang terjauh (sekitar 27 km). Pancung Taba berbatasan dengan Alahanpanjang dan Surian di Solok Selatan.
Jalan tembus yang dirintis sejak tahun 80-an tak kunjung selesai, sebab dianggap melewati kawasan “terlarang” Taman Nasional Kerinci Seblat. Ketika SMA, saya pernah hikking dari Pancung Taba keluar di Danau Kembar (Danau Atas dan Danau Bawah) Alahanpanjang.
Di Pancung Taba inilah dulu bermukim Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, atau dikenal sebagai Syekh Bayang (1864-1923). Ia merupakan guru tarekat Naqsabandiyah. Pendidikan awalnya didapat dari ayahnya sendiri, Muhammad Fatawi. Kemudian ia berguru kepada salah seorang murid sang ayah, Syekh Muhammad Jamil. Saudara Syekh Jamil bernama Syekh Muhammad Shamad juga seorang ulama yang wafat di tanah suci tahun 1876.
Syekh Bayang melanjutkan belajar ke Solok Selatan yang terkenal pula sebagai basis ulama kharismatik. Itu berarti ia melewati hutan rimba Sumatera. Sudah pasti saya tak akan menyamakannya dengan aktivitas hikking saya dulu. Tapi saya dapat membayangkan betapa berat medan yang harus ditempuh.
Mula-mula ia menuju Alahanpanjang, berguru kepada penulis kitab fiqh Al-Kasyf, Syekh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman. Kurenah (perangainya) yang baik, dan otaknya yang dareh (cerdas) membuatnya dapat gelar Tuanku Bayang dari sang guru. (Kelak setelah naik haji berubah jadi Syekh Bayang). Ia pun berguru kepada Syekh Mahmud di Pinti Kayu.
Selanjutnya ia berguru kepada Syekh Musthafa di Sungai Pagu. Di sinilah ia ketiban jodoh, dinikahkan dengan putri sang guru. Setelah menikah, ia pindah ke Padang. Kebetulan, paman sang istri, Syekh Gapuak, merupakan pengurus Masjid Gantiang, masjid bersejarah di Sumatera Barat. Syekh Gapuak meminta Syekh Bayang membuka halaqah di sana.
Tahun 1903, Muhammad Dalil berangkat ke Mekah. Kecuali berhaji, ia belajar kepada Syekh Jabal Qubis dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Boleh dikatakan ia seangkatan antara lain dengan Syekh Muhammad Saad Mungka dan Syekh Khatib Ali. Mereka ini digolongkan sebagai “ulamo tuo” (tradisional) Minangkabau, pengamal teguh ajaran tarekat.
Dan kita tahu, kepada Syekh Ahmad Khatib kemudian berguru pula Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek dan Muhammad Thaib Umar. Dalam kajian akademis mereka digolongkan “ulamo mudo” yang pro pembaruan.
Gerakan pembaruan Islam di Minangkabau yang digerakkan Haji Rasul, dkk., membuka pertentangan dengan ulama tua. Untuk meredakan pertentangan itu sekaligus mencari jalan keluar, pada tanggal 15 Juli 1919 diadakan pertemuan akbar ulama Minangkabau di Padang.
Menariknya, Syekh Bayang ditunjuk sebagai pimpinan rapat. Ia diterima kedua golongan. Meski dari kalangan tua, ia dianggap moderat oleh golongan muda. Meski tak urung, bagi ulama “radikal” (perhatikan, kata ini sudah lama ada dalam kajian Islam), ia dituduh terlalu lunak.
Sejak pulang dari Mekah, Syekh Bayang kembali mengajar di Surau Gantiang dan surau-surau lain di seputaran Padang. Tak lupa ia mendatangi secara teratur surau leluhurnya di Bayang. Selain mengajar tafsir, tauhid, fiqh, ushul fiqh, nahu dan sharaf, ia juga menulis kitab. Salah satu karya babonnya adalah Kitab Taraqub ila Rahmatillah (1910) yang disebut Schrieke sebagai literatur penuh moral dari abad ke-20.
Syekh Bayang meninggal di Padang dan dimakamkan di kompleks Masjid Gantiang.
Proses berguru di surau sebagaimana ditempuh Syekh Bayang, kemudian dilanjutkan ke surau lain di daerah lain, plus keputusannya balik mengajar ke tanah kelahiran, membuat dinamika Bayang terjaga dalam sanad keilmuan dan konstelasi jaringan. Merujuk Azyumardi Azra, pola-pola semacam inilah yang salah satunya membentuk jaringan ulama di Nusantara.
Jaringan Singkil
Jauh sebelum kiprah Muhammad Dalil atau Syekh Bayang, sejak tahun 1666 Bayang sudah dikenal dengan surau Syekh Buyung Mudo di Puluik-Puluik. Syekh Buyung Mudo merupakan kawan seperguruan Syekh Burhanuddin. Makamnya di Ulakan, Pariaman, menjadi pusat ziarah pengamal tarekat Satariyah terbesar di Sumatera atau mungkin Nusantara.
Burhanuddin yang nama kecilnya Pono, bersama Buyung Mudo dan tiga sahabat mereka yang lain—Muhammad Nasir (Koto Tangah), Tarapang (Solok) dan Datuk Maruhum Panjang (Padang Gantiang)—berangkat berguru kepada Syekh Abdurauf Al-Singkili, di Singkil, Aceh. Daerah ini terletak sejajar dengan garis pantai Bayang dan Ulakan di pantai barat Sumatera.
Yulizal Yunus, sejarawan dari UIN Imam Bonjol yang banyak mengkaji historiografi Bayang, berpendapat bahwa “lima sekawan” itu kemungkinan punya guru sama sebelum berangkat ke Singkil. Atau paling tidak, pernah bersentuhan dengan sosok yang punya kaitan dengan Abduraf. Jika tidak, mustahil kelimanya bisa sepakat menuju ke satu tempat menemui seorang guru. Bila memang demikian, berarti mereka satu sirkel sejak awal.
Sementara itu, di dunia tarekat, sudah menjadi kelaziman bahwa sang guru akan menunjuk khalifah dari kalangan muridnya sendiri. Khalifah merupakan orang yang diijazahi dan dipercayai untuk membuka tempat perguruan baru melanjutkan sanad keilmuan sang guru. Begitu pula dengan Syekh Abdurauf.
Merujuk skripsi Yurnani (2010), dalam lima orang rombongan Minangkabau itu, Burhanuddin terpilih sebagai khalifah. Ia kemudian berkhidmat di surau Tanjung Gadang, Ulakan, Pariaman. Empat kawannya ikut belajar lanjutan kepada Syekh Burhanuddin sebelum mengembangkan sendiri ilmu tarekat di daerahnya masing-masing.
Maka begitulah, setelah memperdalam ilmunya di Ulakan, Syekh Mudo Bayang mengajar di suraunya Puluik-Puluik. Muridnya berdatangan dari segala penjuru. Ia wafat di Puluik-Puluik dan dimakamkan di kompleks suraunya itu.
Azyamurdi Azra menyebut Singkil dengan sosok Syekh Abdurauf merupakan salah satu titik simpul jaringan ulama terpenting di Nusantara. Dalam konteks ini, tentu saja Syekh Buyung Mudo sebagai seorang murid Abdurauf, kemudian sempat berkhidmat di Ulakan, telah ikut membuka simpul jaringan Singkil-Ulakan-Bayang.
Selain dengan Syekh Ulakan, ia terhubung dengan surau Syekh Muhsin Supayang (Solok) dan surau Syekh Nasir di Koto Tangah (Padang). Mereka “mewadahi” tak kurang 60-an surau lainnya yang tersebar di berbagai pelosok. Dari surau-surau tersebutlah lahir banyak ulama Nusantara asal Minangkabau. Termasuk “trio” Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datuk Ri Bandang), Khatib Sulaiman (Datuk Ri Patimang) dan Khatib Bungsu (Ri Tiro) yang menyebarkan agama Islam di tanah Bugis-Makasar.
Menurut Yulizal Yunus, dalam penyebaran Islam di Minangkabau, surau Syekh Buyung Mudo membentuk semacam “tungku tigo sajarangan” dengan Ulakan dan Koto Tangah. Mereka saling terhubung dan bekerjasama.
Abdurahman dari Kerinci
Pada akhir abad ke-19, datanglah ke Bayang seorang ulama dari Koto Rawang, Kerinci. Ulama tersebut bernama Syekh Abdurahman, kakek sekaligus guru pertama Ilyas Yakub.
Dalam manuskrip Reuni Keluarga Taruko, disebutkan bahwa Abdurahman datang untuk berdakwah. Dari Kerinci, ia harus melewati wilayah Kesultanan Indrapura dan Bandarsepuluh dengan menunggangi kuda putih. Tanpa mengabaikan kemungkinan berdakwah, saya duga kedatangan Abdurahman juga karena nama besar Bayang sebagai basis ulama. Jadi ada upaya membuka jaringan. Sekaligus Bayang ikut menempa aktivitas dan kiprahnya kemudian.
Abdurahman diterima baik di Asamkumbang, tempat ia menetap. Ia menyunting gadis setempat, Siti Rahmah, dan mulai mendirikan surau Baruh Kayu di tepi batang Bayang. Selain masalah-masalah fiqih, Al Quraan dan hadis, di surau ini juga diajarkan ilmu-ilmu tarekat.
Waktu itu, Asamkumbang sentra pengumpulan kopi. Pemerintah Hindia-Belanda sedang giat-giatnya melaksanakan politik tanam paksa (cultuurstelsel). Bayang menyumbang kas Belanda yang kempes akibat Perang Padri. Untuk mengimbanginya, diterapkan politik “balas budi”. Mereka mendirikan sebuah sekolah rakyat Gouvernement Inlandsche School (GIS).
Sekolah ini cukup diminati. Tahun 1913 misalnya, tercatat 74 orang anak yang bersekolah, dengan rincian 67 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Untuk kawasan Pesisir Selatan, selain di Asamkumbang, Belanda mendirikan sekolah di Tarusan, Painan, Kambang, Balaiselasa dan Indrapura.
Syekh Abdurahman tidak merasa terganggu dengan keberadaan sekolah modern itu. Ia terus saja mengajar di suraunya dengan pola tradisional. Sementara urusan pendidikan formal, ia bebaskan warga memilih sekolah barat yang baru berdiri. Bahkan cucunya, Ilyas Yakub, belajar di sekolah yang terletak dekat rumahnya itu. Kini dikenal sebagai rumah gadang Taruko.
Rumah gadang tempat lahir Ilyas Yakub tersebut masih terpelihara baik. Ketika saya datang, sejumlah piagam kepahlawanannya tergantung di dinding. Ruangnya yang lapang sebagian diisi bangku dan meja tulis rumah tahfidz Abdurahman.
Rasanya rumah itu layak juga dijadikan museum, baik yang berhubungan dengan Ilyas Yakub sebagai pahlawan nasional, maupun tentang ulama masa lalu. Termasuk Syekh Abdurahman sendiri. Makamnya masih terpelihara di barat Asamkumbang yang disebut warga sebagai gobah (makam besar bercungkup).
Demikian tiga ulama yang bisa saya ceritakan ulang. Selain mereka ada sejumlah ulama lain yang tak kalah penting. Di bekas Masjid Jihad Koto Baru, misalnya, pernah berkhidmat Syekh Muhammad Jamil. Makamnya juga berbentuk gobah. Penerusnya, Pakiah Jamil menjadikan masjid itu sebagai basis perjuangan, membuatnya bergelar Perintis Kemerdekaan.
Sebagai gambaran awal, saya kira sepintas kisah tiga ulama besar tersebut cukup representatif sebagai pintu masuk mengenal Bayang lebih lanjut. Monggo.