Laduni.ID, Jakarta – Semua manusia yang meyakini pasti akan sepakat, bahwa kehidupan dunia hanya bersifat sementara. Sedangkan kehidupan abadi terjadi setelah kehidupan dunia terlewati, setelah jiwa meninggalkan raganya, dan pada situasi itu kita baru tersadar bahwa apa yang kita miliki di dunia akan terputus, sebagaimana dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan kepadanya.” (HR Muslim).
Allah SWT juga telah menjelaskan secara detail dalam Al Quran tentang kehidupan dunia:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ -٢٠-
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (Al-Hadid: 20).
Allah juga telah memberikan jaminan kepada hamba-hambanya yang beriman sebagaimana dijelaskan dalam QS Adh-Dhuha: 4
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى
“dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.” (QS Adh-Dhuha: 4)
Ayat tersebut juga dijabarkan lebih lanjut dalam Tafsir Qurthuby dan Tafsir Mafatih Al-ghoib.
Lantas, setelah apa yang disebutkan di atas masihkah kita menjalani kehidupan dunia dengan sesuatu yang sia-sia?
Padahal, manusia itu diciptakan tujuannya supaya beribadah kepada Tuhan. Namun masih banyak manusia yang lalai dengan tugasnya. Ada banyak penghuni kubur yang yang merintih dan meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia hanya semata-mata untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana dijelaskan dala Al-Quran:
حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُوْنِ
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia).” (QS. Al Mu’Minun: 99-100)
Selama ini kita tidak tahu atau bahkan lupa bahwa ibadah yang kita lakukan tidak semata-mata hanya mengharap imbalan masuk surga. Ada hal yang lebih penting dari sekadar mengharap imbalan masuk surga, yakni keikhlasan beribadah hanya kepada Allah SWT.
KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan bahwa, status lamanya di surga semuanya bukan karena ibadah kita, melainkan karena fadhal-Nya atau karunia-Nya Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
ۨالَّذِيْٓ اَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهٖۚ لَا يَمَسُّنَا فِيْهَا نَصَبٌ وَّلَا يَمَسُّنَا فِيْهَا لُغُوْبٌ (٣٥
“Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; didalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.” (Q.S. Fatir: 35).
Oleh karenanya, ketika manusia beribadah puluhan tahun dan hanya menginginkan masuk surga, maka ibadah itu sangat tidak bermutu sama sekali. Sebab, ibadah yang seperti itu hanya digerakkan oleh egoismenya pribadi.
Ibadah dalam pandangan Prof Dr. Muhammad Quraish Shihab, berasal dari tiga huruf hijaiyah, yaitu Ain, Ba dan Dal. “Tiga huruf itu bisa berarti hamba sahaya bisa berarti juga tumbuhan yang beraroma harum, dan bisa untuk menggambarkan alat dari ketiga makna ini. Apabila dikaitkan dengan ibadah adalah ketundukan yang mencapai puncaknya disertai dengan penghormatan dan kecintaan kepada siapa yang terhadapnya kita beribadah karena didasari oleh keyakinan bahwa semua kepentingan, kemaslahatan, kita berhubungan atau ditentukan oleh siapa yang beribadah kepanya dan Tuhan yang kita beribadah kepadanya itu tidak terjangkau oleh kita betapa besar kekuasanya,” terang Quraish Shihab, dalam tayangan Youtube Najwa Shihab yang bertajuk; ‘Mengoptimalkan Ibadah Ramadan Bersama Habib Husein Ja’far Al-Hadar’, Jum’at, 16 April 2021.
Beliau juga menjelaskan bahwa, beribadah harus dilandasi dengan keikhlasan. Yaitu melakukan sesuatu demi dan karena Allah, bukan melakunya demi dan untuk yang lain.
https://www.laduni.id/post/read/71851/semangat-ibadah-turun-baca-ini.html