Buku berkaitan dengan pengasuhan dari orang tua terhadap anak terus ada. Keberadaannya juga terus berkeinginan mendapatkan perhatian dari para orang tua dengan alih-alih memiliki mereka kemudian menaruh perlu akan urusan bacaan. Para keluarga secara alami dituntut untuk menyadari bahwa keberadaan keuarga menjadi salah satu faktor penting dalam proses bagi seorang anak.
Kita menemukan sebuah buku garapan Anggraini Adityasari, Main Matematika Yuk!: Cara Mudah dan Menyenangkan Mengajarkan Dasar-Dasar Matematika Pada Balita (Gramedia, 2013). Buku ditulis oleh perempuan yang juga seorang ibu dengan salah satu aktivitas mengasuh anak. Berlatar belakang pendidikan di bidang sains, tentu ada keinginan yang mendasari. Selain berbagi pengalaman dan membuat ajakan, juga terus belajar menjadi seorang ibu.
Para pembaca diajak memahami dasar-dasar pengajaran akan matematika dengan cara sederhana berupa jenis permainan untuk seorang anak. Mula-mula pembaca diberi pemahaman bahwa dua hal penting yang dapat membantu proses tumbuh dan kembang bagi seorang anak adalah permainan dan cerita. Jelasnya, bermain bisa melatih motorik halus dan kasar, mengembangkan logika dan rasa, mengajarkan toleransi, hingga berbagi.
Sementara itu, memberikan cerita pada anak tidak lain untuk menumbuhkan sikap kritis mereka. Pengakuan penulis tersampaikan berupa: “Bercerita kepada anak, juga dapat merangsang sikap kritis anak, yang bisa juga berhubungan dengan Matematika. Oleh karena itu, kita harus siap-siap dengan pertanyaan-pertanyaan kritis anak yang tak terduga.”
Dari penjelasan tersebut, agaknya membawa kita perlu memberi perhatian sebuah film dokumenter dari UNICEF di Netflix, The Beginning of Life (2016). Film yang disutradarai oleh Estela Renner tersebut banyak menceritakan anak-anak dari hasil sejumlah riset maupun penelitian. Di film tersebut juga menghadrkan sejumlah tokoh penting baik itu praktisi, peneliti, hingga akademisi untuk berbagi perspektif tentang anak-anak beserta dunianya. Pada sebuah bagian dalam dokumenter tersebut, kita bertemu Patricia K. Kuhl, Ph. D.
Direktur Institut for Learning & Brain Sciences University of Washington itu memberikan pernyataan: “Orang-orang telah menghitung jumlah kata dan selisih antara anak-anak di keluarga termiskin dan anak-anak di keluarga profesional. Jumlah yang ditemukan adalah 30 juta kata lebih sedikit saat usia 4 tahun yang didengar anak di keluarga miskin daripada di keluarga profesional.”
Kata kemudian menjadi penting dan perlu dalam proses pengasuhan. Kendati juga patut dipahami bahwa anak-anak tidak bisa dianggap sebatas lembaran kosong. Interaksi muncul antara orang tua dengan anak adalah sebuah kombinasi saling melengkapi. Mereka sama-sama belajar memahami satu dengan lainnya. Baik itu dengan kasih sayang, empati, berbuat baik, dan saling menghargai.
Anggraini tentu memperhatikan itu, meski ia agak dominan pada aspek matematika. Bahwa aktivitas sehari-hari dalam relasi antara orang tua dengan anak mesti dilakukan dengan menambah tindakan kreatif dan inovatif. Ia tidak sebatas membayangkan, namun juga telah melakukan. Bagaimana aktivitas seperti mandi, makan, memasak, bangun tidur, hingga aktvitas di luar ruangan bisa dimanfaatkan untuk mengajarkan matematika.
Seorang anak diperkenalkan nama bangun, hitungan, makna lambang di tempat umum, memahami angka-angka, hingga memahami karakteristik benda. Orang tua perlu punya banyak cara dalam memberikan stimulus terhadap anak. Tentu saja orang tua juga perlu memberikan tanggapan balik atas respon yang diberikan dari seorang anak. Kegiatan tersebut mestinya butuh ketekunan dalam mengawal proses tumbuh dan kembang dari seorang anak.
Kita kemudian membaca sebah liputan garapan M. Pines, Perhatiakan Anak Anda! di Majalah Aku Tahu Edisi Februari 1985. Pembaca diajak memberikan perhatikan terhadap teori yang dikembangkan oleh ahli etologi dari Prancis, Hubert Montagner. Penelitiannya memberikan pemahaman bersama bahwa bahasa gerak isyarat anak saat usia 2-3 tahun berperan terhadap pembentukan sifatnya di kemudian hari. Salah sat pernyataan tertuliskan berupa:
“Kini, Montagner mampu “membaca” perilaku anak-anak 2 tahun untuk meramalkan bagaimana pergaulan mereka kelak umur 10 tahun. Dari umur 2 tahun, anak-anak tertentu sudah menunjukkan sifat “menarik” bagi lainnya. Daya tarik ini, katanya, berasal karena banyak menggunakan gerak isyarat dari kategori tenang-lekat.”
Pada abad XXI, urusan pengasuhan terhadap anak terus menjadi penting dan perlu. Jendela referensi bagi para orang tua semakin berlimpah dan terus tersedia. Apalagi disokong dengan perkembangan teknologi digital. Hanya saja, selain menyediakan informasi maupun pengetahuan, keberadaannya juga menimbulkan masalah bagi banyak orang tua dalam membangun interaksi dengan anak-anaknya. Tak sedikit mereka yang mengalami keterbatasan mencari konsep untuk dicontoh.
Buku ajakan bagaimana orang tua menjalin komunikasi berkaitan ilmu pengetahuan kepada anaknya belum tentu menarik perhatian di zaman ini. Bisa jadi orang tua zaman sekarang cenderung menyerakan pengasuhan anak-anaknya kepada keberadaan teknologi. Dilema kemudian muncul di tengah percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak sedikit dari kita mungkin masih ingin pamrih pada kehadiran buku-buku tentang pengasuhan anak bermuatan ilmu pengetahuan.[]
https://alif.id/read/joko-priyono/anak-dan-matematika-b244289p/