Oleh Masyhari
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan bagian 1 dengan judul yang sama. Untuk melihat tulisan bagian 1, silakan klik di sini.
Menulis dengan Cinta
Kembali ke judul tulisan ini, dalam kesempatan perbincangan tersebut saya tanyakan terkait rahasia kerja menulisnya yang kreatif dan produktif.
Aguk mengaku, bahwa kunci dalam produktif menulis yaitu cinta. Apa pun pekerjaan yang ditekuni, jika dilakukan dengan penuh cinta, akan betah berlama-lama. Selama apa pun, akan terasa baru sebentar saja.
Dengan cinta, segala yang sulit bisa terasa mudah dijalani. Sesuatu yang berat menjadi terasa ringan. Oleh karena itu, bila kita menulis dilandasi dengan cinta, tulisan akan begitu mudah teralirkan.
The Power of Kepepet
Meskipun begitu, Aguk tidak menampik, awalnya dia semangat menulis karena terpaksa oleh keadaan. “Kalau tidak menulis, ya tidak makan,” katanya.
Kondisi keluarganya yang bukan termasuk mampu secara finansial memaksanya harus kreatif dan produktif dalam menulis. “Karena saya bisanya menulis,” jelasnya.
Ia mengaku menjalani aktivitas menulis dan menerjemah saat itu di Mesir sebatas untuk bertahan hidup.
Kondisi kepepet atau terpaksa juga yang membuatnya bisa berangkat haji secara mandiri sebagaimana dituliskannya dalam novel Haji Backpacker. Ia berangkat haji menuju Baitullah dari Mesir ketika kuliah di sana.
Menulis adalah Pekerjaan Mulia
Menurut Aguk, pekerjaan menulis itu adalah pekerjaan yang mulia. Aasannya, karena perintah pertama di dalam surat di dalam Al-Quran yaitu surat al-Alaq 1-5 yang berisi perintah membaca.
Adanya perintah membaca juga berarti perintah menulis. Sebab, adanya teks bacaan dimulai dengan adanya proses penulisan. Dengan menulis berarti membantu orang dalam melaksanakan perintah Al-Quran berupa membaca. Sehingga, menulis adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Selain membaca karya tulisan, juga ayat al-Quran sebagai firman Tuhan, tentunya, kita juga dituntut untuk membaca alam raya dan segala isinya.
Selain di dalam surat al-Alaq, kata Aguk, bahkan secara terang-terangan dikatakan oleh Allah dalam QS Al-Qalam ayat 1 & 2. “Nuun walqalami wama yasthurun.” (Nun. Demi kalam dan apa yang mereka tuliskan).
Jadi, adanya kalam (qalam) apalagi kalau bukan tulisan? Saking pentingnya kalam (pena) yang merupakan alat menulis, sampai Allah jadikannya sebagai objek sumpah. Artinya, menulis itu pekerjaan yang penting.
Mayoritas Ulama Menulis
Aguk mengatakan bahwa hampir tidak ada seorang alim yang tidak menulis. Artinya, hampir semua ulama menulis buku.
Bagi seorang ulama, menulis adalah media untuk mentransfer ilmu dan memberikan pencerahan kepada umat.
Menulis, Media Belajar Paling Efektif
Karena merasa bukan seorang alim, ia menulis bukan untuk menyebarkan ilmu. Aguk menulis agar bisa belajar kepada para ulama dengan menuliskan petuah dan ilmu yang ditulis oleh para ulama.
Menurutnya, menulis adalah cara belajar yang paling efektif. Ia menulis agar bisa belajar, mempelajari berbagai ilmu yang telah dituliskan oleh ulama.
Menulis, Cara Mencintai Ulama
Dengan menulis novel biografi para tokoh dan ulama, Aguk mempelajari kepribadian dan kehidupan sehari-hari mereka.
Menurutnya, banyak metode dalam mencintai figur ulama. Salah satunya yaitu dengan menulis biografi kehidupan mereka dalam sebuah novel.
Menulis novel biografi ulama seakan menghidupkan mereka kembali secara kontekstual dengan bentuk yang lebih membumi. Para ulama memang telah tutup usia, akan tetapi rekaman kehidupan mereka melalui buku tersebut membuka kembali lembaran kehidupan mereka.
Menulis sebagai Amal Jariyah
Usia manusia terbatas, karenanya sedekah jariyah mutlak diperlukan untuk memperpanjang usia kehidupan, meski jasad telah terkubur di dalam tanah pemakaman.
Bagi yang kaya harta, ia bisa sedekahkan harta tersebut untuk rumah ibadah, lembaga pendidikan, beasiswa, fakir, miskin, pembangunan rumah sakit, jalan, dan lain sebagainya.
Bagi yang tidak punya kelebihan harta, dan khususnya bagi seorang akademisi, ia bisa menyedekahkan karya tulisnya sebagai bekal untuk memperpanjang usia hidupnya di dunia.
Kendati penulis telah mati, karya-karyanya akan tetap dibaca dan bermanfaat bagi umat manusia. Selama itu, ia akan tetap terasa hidup bagi pembaca karya-karyanya. (Bersambung)