Barangkali, umat islam sudah mengetahui sejarah lama tentang kisahnya Fir’aun yang telah diabadikan dalam kitab suci al-Qur’an. Fir’aun sendiri sesungguhnya merupakan gelar untuk para raja di Mesir kala itu. sedangkan Fir’aun yang diabadikan oleh al-Qur’an sebab kekufurannya adalah Fir’aun Rames II (1304-1237 SM).
Sebagaimana karakter al-Qur’an, membeberkan fakta-fakta sejarah tujuannya tiada lain agar orang-orang yang hidup di masa selanjutnya mengambil pelajaran, khususnya orang-orang yang beriman. Diantara kisah yang diceritakan dan diabadikan tersebut adalah Fir’aun icon dalam kekufuran dan kediktatoran. Apa yang bisa diambil dari kisah itu? bukankah Fir’aun orang yang kufur dan musyrik? Pelajaran yang sangat penting bagi kita, kaum beriman, supaya menghindar dan jangan sekali-kali bersikap dan bertindak seperti Fir’aun.
Al-Qur’an mendeskripsikan Raja Fir’aun sebagai orang yang Thagha misalnya tertera dalam surah Thah ayat 24 dan 43 sebagai berikut.
{اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (24)} [طه: 24]
“Pergilah (Musa) ke Fir’aun, dia sungguh telah Thagha (bersikap tirani)” (QS. Thaha: 24)
{ اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43} [طه: 43]
“pergilah kalian berdua (Musa dan Harun) menemui Fir’aun. Dia sungguh telah Thagha (bersikap tirani)” (QS. Thaha: 43)
Seorang cendikiawan muslim Indonesia, Nurcholis Majid, menerjemahkan kata “Thagha” sebagai sikap yang tiranik. Dalam artikelnya yang berjudul Sikap Tiranik, Cak Nun (sebutan Nurcholis Majid) mengatakan, “sikap tiranik (dalam istilah al-Qur’an disebut Tuhgyan, yang dari kata-kata itu terambil istilah Thaghut, “si tiran”) adalah sikap yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada orang lain tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas”.
Dalam artikel lainnya, beliau juga menerjamahkan kata Thagha sebagai tindakan tiranik. Selain menggambarkan Fir’aun ini sebagai orang yang bertindak tiranik (thagha), al-Qur’an juga menyebutnya sebagai orang yang mengaku sebagai Tuhan dan menindas rakyat”, (Nurcholis Majid, Musa Lawan Fir’aun: Tawhid Lawan Syirik).
Syeh Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirnya Marahul Labiid [600/2], menafsirkan kata “Thagha” sebagai sikap yang amat teramat sombong hingga dengan berani tanpa rasa takut mengaku Tuhan. sikap yang melampaui batas terhadap sang pencipta terutama kepada makhluk. Dengan begitu, ia ingkar kepada Allah dan menyobongkan diri serta memaksa-maksa makhluk.
Dengan demikian, orang yang beriman tidak sewajarnya bersikap tirani dan diktator. Karena sikap tirani itu bertentetangan dengan keimanan. Mengapa demikian? Karena dalam sikap tiranik terselip pandangan bahwa diri sendiri pasti benar dan yang lain salah. Dengan kata lain, seorang tiranik telah memutlakkan diri sendiri dalam kebenaran. Padahal, jika sesorang telah menyatakan beriman kepada Allah maka konsekuensinya ialah pengakuan dan penuh kesadaran bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan, yang lain bersifat nisbi.
Beriman kepada Allah swt., sebagaimana ditegaskan Nurcholis Majid, dengan sendirinya berarti menolak absolutisme sesama mahluk, baik orang lain maupun diri sendiri; misalnya Raja Fir’aun yang menganggap dirinya sendiri absolut. Sehingga, iman secara otomatis menolak tirani dalam diri, sikap memaksa-maksa kehendaknya kepada orang lain tanpa memberi pertimbangan bebas kepada orang tersebut.
Dengan iman, seseorang menjadi rendah hati atau tawadlu, bersedia melakukan musyawarah dengan sesamanya. Orang yang beriman akan tulus menerima kemungkinan benar orang lain dan kemungkinan salah dirinya sendiri. Bahasa Nurcholis, “seorang yang beriman tidak akan menjadi diktator, dispot, tiran, totaliter, atau sebangsanya, melainkan menjadi demokratis dan egaliter”.
Dalam kisah Fir’aun, Nabi Musa yang diperintah oleh Allah untuk melawan raja Fir’aun dalam kediktatoran dan kekufurannya itu, melalui cara-cara yang baik, berdiskusi dan musyawarah menggunakan kata-kata yang santun. Ini merupakan bukti bahwa Nabi Musa alaihissalam beriman. Dalam al-Qur’an Allah Berfirman;
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)
“berkatalah kalian berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun dengan perkataan yang lembut. Barangkali dia akan ingat atau akan takut” (QS. Thaha: 44).
Imam al-Qurtubi menandaskan bahwa perkataan lunak dalam ayat tersebut yaitu tidak ada caci maki karena merasa benar sendiri. Jika Nabi Musa dan Harun saja yang sudah dipastikan kebenaran imannya masih dierintahkan untuk berkata “lembut” ( tulus menerima mana yang benar dan yang salah). Padahal, lawan dialognya adalah Fir’aun yang sudah dipastikan kediktatorannya. Maka, lawan dialog selain Fir’aun semestinya lebih lembut lagi. [al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, 11/200]
Jalannya diskusi antara Nabi Musa bersama Harun melawan Raja Fir’au bersama antek-anteknya, terekam dalam ayat-ayat setelahnya. Dimana Nabi Musa dan Nabi Harun tidak mencerminkan sikap tiranik kepada lawannya padahal lawan yang dihadapi sudah barang tentu salah, alih-alih memaksa Raja Fir’au untuk melakukan kehendak Nabi Musa. Dari kisah tersebut kita bisa mengambil pelajaran, bahwa orang yang beriman tidak semstinya bersikap diktator melainkan harus egaliter sebagaimana sikap Nabi Musa kepada Fir’un.
Oleh sebab itu, jika ada orang yang beriman namun memiliki sikap tirani sebagaimana sifatnya Fir’aun maka keberimanannya sungguh telah tercampuri dengan kejahatan. Dan, mengikuti paradigma Nurcholis Majid, orang seperti itu sudah dikategorikan sebagai orang yang tidak benar-benar iman (jika enggan mengatakan musyrik khafi karena sikap tiranik bagian dari menyekutukan Tuhan). Allah swt telah mempertentangkan sikap keimanan dengan sikap tiranik.
Kenapa sebab? Nurcholis menjawab dalam artikel yang berjudul Tawhid lawan Syirik, “dari kasus Fir’aun itu kita menarik pelajaran bahwa yang disebut syirik tidak hanya tidak hanya sikap seseorang yang mengagung-agungkan sesama mahkluk ini, termasuk sesama manusia (kultus), tetapi syirik juga meliputi sikap mengagunggkan diri sendiri yang kemudian menindas harkat dan martabat sesama manusia, seperti tingkah para diktator dan tiran. Kedua-duanya (tirani-diktator), sikap melawan Allah swt, yaitu kebenaran Mutlak, dan bertentangan dengan jalan hidup yang benar, yaitu jalan hidup menuju perekenaan (Ridha) Allah swt yang Maha Benar itu”, (Majid, Tawhid lawan Syirik,71).