Bagaimana jadinya jika seorang ulama besar memelihara anjing? Tentu akan jadi polemik. Ini terjadi pada seorang ulama sufi tanah Jawa bernama KH. Ahmad Mutamakin atau Kiai Mutamakin. Sosok kiai sufi nan saleh yang hidup pada abad ke-18 di daerah pesisir Jawa pernah membuat geger hingga pernah diusulkan untuk dihukum mati.
Dalam sebuah karya sastra Jawa berjudul Serat Cabolek (beberapa ada yang mengucap Cebolek) yang konon ditulis oleh pujangga keraton bernama Yasadipura I (1729-1803), tokoh Kiai atau Haji Mutamakin ini sebagai sosok yang kontroversial bahkan dituduh sesat.
Dia dianggap telah mengungkapkan dan mengajarkan ilmu hakikat kepada khalayak, berperilaku buruk, membuat ajaran bidah, mengabaikan tata laku syariat Islam. Salah seorang getol mempermasalahkan ajaran Kiai Mutamakin adalah Ketib Anom dari Kudus. Akhirnya, Kiai Mutamakin dilaporkan Sunan Amangkurat IV (1719-1726) supaya diadili.
Kiai asal desa Cabolek, daerah utara Jawa, ini menurut cerita lisan masyarakat Kajen adalah sosok historis yang alim, saleh, dan terkenal punya kelebihan magis (karamah). Dia dikenal sebagai Mbah Mutamakin Kajen yang pernah berguru yang pernah berguru pada seorang sufi asal Yaman, Syaikh Zain al-Yamanī.
Dia kembali ke Jawa dengan mengendarai ikam mladang dan diturunkan di sebuah tempat bernama Cabolek, akronim dari bahasa Jawa: jebul terus melek (tiba, lantas terjaga). Sejarah oral ini memiliki kesan yang bertolak belakang dengan cerita Serat Cabolek.(Wieringa 1998, 34)
Dalam Serat dikisahkan: selain karena ajarannya yang disamakan dengan tokoh-tokoh sesat masa lampau seperti Sunan Panggung, Syaikh Among Raga, hingga Syaikh Siti Jenar yang dulu dihukum mati oleh para Wali, Kiai Mutamakin juga dituduh tidak menghargai peringatan para ulama saat itu agar segera bertaubat. Dia malah “nantang”.
Tidak hanya mengabaikan ultimatum itu, dia juga memelihara anjing yang diberi nama tokoh ulama Tuban saat itu: Abdul Kahar dan Kamarudin. Keduanya adalah penghulu dan khatib di Tuban. Dalam Serat itu dikatakan:
“Tetapi Haji Mutamakin itu, tidaklah tergoyahkan, dengan menggagahkan diri berkeras kepala, tidak dihiraukan kesulitan atasnya, berani ia melawan hukum. (apa saja) Banyak menyerangnya, namun tetap kokoh tidak tergerak, banyak ulama yang mendatanginya, memberi petuah dan petunjuk. Ia malah memelihara “serigala” (= mungkin maksudnya anjing besar atau herder), anjing besar sebanyak dua belas ekor, seekor di antaranya dinamakan Abdulkahar.”(Hadisutjipto and Hadisuprapta 1981, 63)
Kemudian dilanjutkan: “Empat ekor anjing kiki kecil-kecil, pemimpin (yang terbaik) di antara anjing kikik itu si Komarudin namanya….”
Dalam The Mystical Figure of Haji Ahmad Mutamakin from the Village of Cabolek (Java), Kiai Mutamakin adalah pribadi asketik atau tarak, zuhud. Menurut cerita lokal, duo anjing itu bukan sembarang anjing. Keduanya merupakan jelmaan dan simbol dari hafa nafsu.
Disahkan: pada waktu tertentu selama empat puluh hari, Kiai Mutamakin berpuasa. Kemudian dia meminta istrinya untuk menyiapkan masakan daging yang lezat. Sebelum sang istri menyajikan daging, dia meminta sang istri untuk mengikatnya di tiang rumah.
Lalu, dengan aroma daging yang menyengat, tiba-tiba dari dalam tubuh Kiai Mutamakin keluar dua ekor anjing, yang kemudian diberi nama Abdul Kahar dan Komarudin. Dua anjing itu memakan daging yang telah disiapkan sang istri. Kemudian saat keduanya ingin kembali masuk dalam tubuh sang Kiai, mereka terpental.
Dua nama anjing ini, menurut cerita, menyinggung dua tokoh itu sebagai pelayan Tuhan atau ulama yang tidak mampu mengkontrol hawa nafsunya. Cerita ini dalam literatur sufi dikenal dengan simbolisai pemurnian jiwa. Jiwa (nafs) digambarkan sebagai anjing yang sangat menginginkan daging atau makanan. (Wieringa 1998, 34-35)
Ada dua sumber untuk menelusuri kesejarahan Kiai Mutamakin. Apakah yang diceritakan Serat Cabolek sahih atau cerita oral masyarakat Kajen, Pati, khususnya? Sebab dua sumber itu menceritakan kesan yang berbeda. Dalam Serat dia bercitra buruk, sementara dalam cerita oral dia seorang waliyullah.
Penggunaan Serat dalam memahami hidup Kiai Mutamakin boleh diperdebatkan. Bahkan bisa dibilang sebagai upaya mem-framing pemahaman Islam yang berbeda dari keraton. Di mana ada corak pemahaman Sufisme Falsafi ala Kiai Mutamakin dan Islam ortodoks ala Ketib Anom.
Ricklefs dalam Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries meskipun ada problem historis cukup serius dalam menggunakan Serat Cabolek sebagai sumber sejarah. Namun, hal yang dapat diterima bahwa sumber ini adalah laporan tentang kontroversi agama yang diproduksi dalam lingkaran keraton Kartasura tahun 1731. Serat Cabolek tetap menjadi karya menarik untuk dikaji. (Ricklefs 2006, 119)
Cerita oral juga penting dipertimbangkan. Sebagai sosok misterius yang konon merupakan keturunan Raden Fatah dari jalur Sultan Trenggana dan Jaka Tingkir, Kiai Mutamakin dipercaya sebagai penyebar Islam yang berpengaruh. Sosoknya terus dikenang dan wafatnya diperingati setiap tahun (haul). Tuntutan untuk mengeksekusinya pun juga tidak dikabulkan keraton yang saat itu dipimpin Pakubuwana II.
Anak cucu Kiai Mutamakin juga diceritakan juga merupakan orang-orang top, di antaranya seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Syansuri, keduanya pendiri NU. Ada pula KH. Said Aqil Siraj, KH. Sahal Mahfudz, Ulil Absar Abdalla, hingga Gus Baha’.
…
Persoalan memelihara anjing sebenarnya secara syariat Islam tidak pernah dilarang. Namun, dulu mungkin hingga sekarang itu bukan hal yang wajar. Seorang muslim apalagi kiai yang memelihara anjing pasti menjadi kontroversi. Tidak hanya masa lalu. Bahkan hingga masa sekarang.
Hadisutjipto, Sudibjo Z., and T.K.W. Hadisuprapta, trans. 1981. Serat Cebolek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kubudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Ricklefs, M. C. 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. 1st ed. Norwalk: EastBridge.
Wieringa, Edwin. 1998. “The Mystical Figure of Haji Ahmad Mutamakin from the Village of Cabolek (Java).” Studia Islamika 5 (01): 25–40.
https://alif.id/read/moh-ariful-anam/anjing-kiai-mutamakin-b244487p/