Dalam studi Islam di Indonesia, wilayah-wilayah Indonesia bagian timur masih belum mendapatkan perhatian secara serius dari kalangan filolog atau para peneliti naskah karya ulama-ulama Nusantara. Akibatnya adalah timbul anggapan bahwa Islam selalu tampak Jawa-sentris. Nyatanya, setiap daerah punya ekspresi khas atas ajaran-ajaran yang terkandung dalam Islam.
Di Buton, misalkan, ada sejumlah ulama-ulama terdahulu yang kreatif dan produktif mengarang kitab berikut artikulasi keislamannya. Sebut saja seperti Sultan Muhammad Aidrus Qaimuddin, seorang teknokrat sekaligus pengikut tarekat Khalwatiyah Samman, Haji Abdul Ghaniu, penasehat agama kesultanan Buton, dan Haji Abd Al-Hadi serta sejumlah ulama generasi sebelum mereka. Topik anggitan mereka pun membentang mulai tata kelola pemerintahan, aforisme sufistik, hingga panduan untuk menekuni laku hidup layaknya seorang resi.
Islam di tangan ulama-ulama Buton terdahulu, meminjam istilah H. Johns, mengalami proses vernakularisasi atau pembahasalokalan sampai melahirkan Buri (aksara atau tulisan) Wolio. Jauh sebelumnya, para ulama juga telah melakukan pembahasalokalan keilmuan Islam di Nusantara sehingga menghasilkan “produk kultural berupa apa yang disebut sebagai aksara Jawi-Melayu, yakni teks berbahasa Melayu yang ditulis dengan menggunakan huruf hijaiah (aksara Arab) seperti terdapat dalam khazanah kesusastraan Melayu. Istilah Jawi, meskipun berasal dari kata Jawa, merujuk kepada orang yang berasal dari wilayah-wilayah Nusantara,” tulis Gus Ulil Abshar Abdalla dalam salah satu postingan Facebook-nya.
Dari Aksara Jawi-Melayu ke Buri Wolio
Kesultanan Buton masa silam pernah menggunakan tiga bahasa resmi yang berlaku di dalam lingkungan keraton, yakni bahasa Melayu, Arab dan Wolio. Tiga Bahasa tersebut merupakan konsekuensi logis dari posisi Kesultanan Buton yang terletak di dekat pesisir pantai dengan pelabuhannya yang berfungsi sebagai transit para saudagar muslim dari wilayah barat menuju wilayah timur atau sebaliknya. Maka, sangat mungkin mereka intens menjalin hubungan komunikasi dengan ulama-ulama Buton.
Pakar filolog Buton dari Universitas Haluoleo, La Niampe dalam Bahasa Wolio di Kerajaan Buton, menjelaskan bahwa bahasa Melayu dan Arab di dalam sejumlah koleksi naskah Buton umumnya tertulis pada abad ke XVII. Sedangkan naskah-naskah Buton berbahasa Wolio berada pada kisaran pertengahan pertama abad XIX. Hal ini mengonfirmasi bahwa penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa resmi tingkat kerajaan baru berkembang kemudian setelah pemakaian bahasa Melayu dan Arab.
Sangat mungkin juga ulama-ulama Buton menerima atau mempelajari Islam melalui kitab-kitab beraksara Jawi-Melayu. Salah satu buktinya adalah kitab-kitab karya ulama dari Palembang, Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani, banyak beredar di Buton. Selanjutnya, penetrasi khazanah keilmuan Jawi-Melayu turut memberikan sumbangan yang amat berharga bagi bahasa Buton. Bukan saja ajaran Islam jadi mudah dimengerti, tetapi lebih dari itu aksara Jawi-Melayu telah mengilhami lahirnya sistem tulisan baru khas bahasa Wolio. Yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan Buri Wolio.
Buri wolio ialah teks berbahasa Wolio yang ditulis dalam bentuk aksara Arab (huruf hijaiah). Ulama-ulama Buton mengadaptasi sebagian aksara Jawi-Melayu itu ke dalam ciri-ciri khusus bahasa Wolio. Dari 28 huruf hijaiah dan terhitung 30 huruf jika ditambah dengan lam alif dan huruf hamzah, buri wolio hanya menggunakan 17 huruf sesuai fonem bahasa wolio. Kemudian ada penambahan 5 huruf yang diadopsi dari aksara Jawi-Melayu.
Contoh Buri Wolio:
يعاد dângiya artinya ada
ناباب Bâ-bâna artinya pertama-tama
کاقاک Kâpâka artinya sebab
Atas hal di atas, ulama-ulama Buton bukan saja kreatif mengadaptasi aksara Jawi-Melayu lalu melahirkan Buri Wolio, tetapi juga, seperti penjelasan La Niampe, Islam membentuk kembali budaya Buton dan memberinya dasar yang kokoh tanpa merusak tingkatan peradaban yang sudah ada.
Di Ujung Tanduk
Sampai sekarang tulisan pegon, setara Buri Wolio, masih tetap lestari di dalam lingkungan pesantren di Jawa. para santri mencatat pelajaran agama Islam dari ustad dan kiai dengan menggunakan tulisan pegon. Saban hari ketika kiai memaknai kandungan kitab kuning, santri selalu mencatat dengan tulisan pegon. Maka keberlanjutan pegon sebagai hasil pembahasalokalan ajaran Islam wajar bila tetap berdenyut hingga sekarang di pesantren-pesantren di Jawa.
Sementara Buri Wolio lain lagi nasibnya. Selain terbatas kepada orang-orang tua yang bisa baca-tulis Buri Wolio, generasi Buton sekarang awam terhadap Buri Wolio. Hal ini disebabkan lantaran tidak ada upaya pelestarian secara masif, dan pesantren –belakangan banyak pesantren berdiri di Kota Bau-Bau, (sebelum mekar, kota ini dahulu merupakan pusat wilayah Kesultanan Buton)– sebagai lembaga pendidikan informal yang berfungsi, salah satunya, sebagai suaka kebudayaan, justru abai, untuk tidak mengatakan anti terhadap Buri Wolio dan budaya lokal secara umum. Innalillah…
https://alif.id/read/mdr/buri-wolio-pembahasalokalan-islam-ala-ulama-ulama-buton-b244465p/