Karena kiai yang mulang tidak bisa hadir—sedang mengisi pengajian di lain kabupaten—, ngaji rutinan selapanan—sebulan atau lebih tepatnya tiga puluh lima hari sekali—alumni di pesantren itu diisi mujahadah selawat dan tahlilan. Rampung itu, sementara hadirin tampak nyamleng menikmati kopi, di dalam aula seseorang mulai bicara membahas pertemuan tri wulanan—tiga bulan sekali—yang diagendakan Ahad akhir bulan depan. Biasanya, para alumni menghadiri acara yang tempatnya bergantian tersebut berangkat sendiri-sendiri, tetapi karena kali ini tempatnya cukup jauh di pulau seberang, mereka sepakat menyarter lima buah bus pariwisata alias berangkat rombongan.
Setelah melaporkan jumlah sementara peserta, ia mengajak alumni yang belum mendaftar untuk ikut serta. Karena, di samping sebagai ibadah silaturahmi—baik antar sesama alumni maupun dengan warga sekitar, acara tersebut merupakan syiar agama. Selanjutnya, demikian katanya, panitia akan memberitahukan teknis pemberangkatan lewat group wa; titik penjemputan juga pembagian kursi yang rencananya berdasarkan kekeluargaan para peserta. Adapun nanti, apabila dalam pelaksanaan terjadi saling tukar kursi, boleh-boleh saja.
Pada titik ini, Ihsan—yang rajin mengikuti rutinan selapanan—tanpa sengaja menoleh ke arah Suka yang duduk bersila di teras aula beberapa jarak darinya. Ia rada tercengang, mendapati raut wajah Suka, menurutnya, sungguh sukar digambarkan lewat kata-kata, yakni semacam campur aduk antara bimbang, mumet dan iba. Atau, dengan istilah yang acap mereka pakai: mengkhawatirkan Organisasi Kebahagiaan Dunia. Padahal tadi, saat mereka bersama-sama melantunkan kalimat-kalimat thayyibah, kekhusyukan dan kehidmatan tampak tersirat di wajahnya. Apakah Suka sedang larut merenungkan masa lalunya atau jangan-jangan ingin ikut berangkat tetapi tidak ada dana? Demikian Ihsan bertanya-tanya dalam benaknya.
Kemudian, karena tidak tega mendapati sohib kentalnya itu memamerkan raut wajah sedemikian rupa, Ihsan mendekatinya, menanyakan apa yang oleh Suka sedang dipikir-rasakan.
Atas pertanyaan tersebut, mula-mula Suka menjawab dengan mengatakan bahwa ia sedang bingung memikirkan soal tukar kursi. Sementara Ihsan, seperti yang sampean lihat, tanpa mengelus-elus hape ditangan mendengarkannya dengan penuh simpati.
Kemudian Suka melanjutkan, “Selain bingung saya juga kasihan kepada petugas bus yang harus mencopoti untuk kemudian memindahkan dan memasang kursi-kursi yang ditukarkan. Misalnya kursi yang di belakang dipindah ke tengah atau ke depan. Apabila hanya sedikit orang yang bertukar kursi dan pertukarannya hanya sekali di awal pemberangkatan, mungkin tidak begitu merepotkan. Namun, apabila yang ingin bertukar kursi ternyata cukup banyak dan tidak hanya sekali di awal pemberangkatan tetapi juga berkali-kali selama dalam perjalanan—termasuk perjalanan pulang, bukankah hal ini amat-sangat merepotkan?”
Doplangkarta, 30 Mei 2022