Zakat untuk Korban Kekerasan Seksual (3): Mendorong MUI Mengeluarkan Fatwa

Zakat merupakan jenis ibadah mahdhah yang diatur secara khusus oleh syariat Islam. Salah satu ayat yang menegaskan tentang kewajiban untuk mengeluarkan zakat bagi umat Islam terdapat dalam QS. At-Taubah(9): 103, yang artinya “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”. ayat tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa kewajiban untuk mengeluarkan zakat memiliki dua dimensi nilai, yaitu dimensi vertical dan dimensi spiritual.

Dimensi vertikal zakat merupakan bentuk ketakwaan manusia dengan cara melaksanakan perintah Allah. Sedangkan zakat sebagai ibadah sosial berupaya untuk membantu meringankan beban masyarakat serta mengasah kepedulian kepada sesama manusia.

Ketentuan tentang zakat telah ditetapkan secara pasti di dalam al-Quran dan hadis. Kepastian tersebut semata-mata untuk menunjukkan betapa penting dan transparannya pengelolaan dan distribusi zakat. Di dalam QS. at-Taubah ayat 60 telah ditetapkan secara qath’i golongan penerima zakat. Namun seiring dengan konteks dan beragamnya problematika sosial di masyarakat, maka kontekstualiasi penafsiran al-Qur’an atas zakat juga diperlukan. Salah satu asnaf yang berhak mendapat zakat adalah korban kekerasan seksual. Adapun alasan-alasan penting mengapa korban kekekerasan seksual berhak mendapat zakat adalah;

Pertama, meningkatnya laporan kekerasan seksual selama sepuluh tahun (2011-2021). Berdasarkan data CATAHU Komnas perempuan 2022, angka kasus kekerasan berbasis gender (KBG) mengalami kenaikan 50% dibanding tahun 2020, yaitu sebanyak 338.496. bentuk kekerasan yang dialami perempuan tidak jauh berbeda selama lima tahun terakhir, yaitu 36% untuk kekerasan psikis, 33% kekerasan seksual, kekerasan fisik sebanyak 18% dan 13% untuk kekerasan ekonomi. Data di atas menunjukkan betapa daruratnya kekerasan seksual di Indonesia. Tidak hanya trauma, korban kekerasan seksual juga seringkali mendapat stigma dan marginalisasi dari masyarakat. Oleh sebab itu, lembaga zakat sudah seharusnya membuat kebijakan untuk mengeluarkan zakat bagi korban kekerasan seksual.

Baca juga:  Mengapa Perempuan Lebih Religius daripada Laki-Laki?

Kedua, menurut Yulianti Muthmainnah di dalam bukunya berjudul Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, menjelaskan bahwa korban kekerasan sosial masuk dalam golongan mustadh’afin yaitu orang-orang yang dilemahkan sehingga butuh bantuan. Yulianti, memasukkan perempuan dan anak korban kekerasan seksual dalam 4 golongan penerima zakat; fakir, miskin, riqab dan fi sabilillah. Alasan mengapa korban kekerasan seksual masuk dalam golongan fakir miskin adalah terjadinya eksploitasi, marginalisasi dan stigma negatif dari masyarakat. Selain itu, penelitian di lapangan menunjukkan bahwa korban tersebut berasal dari masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah.

Kemudian alasan mengapa korban kekerasan seksual masuk dalam golongan riqabataupun budak adalah karena merupakan korban perbudakan modern. Bentuk dari perbudakan modern adalah perdagangan manusia. Melalui laman http://id.usembassy.govpada tahun 2020, Polri melaporkan penangkapan 42 terduga pelaku perdagangan seks dan kasus kerja paksa. Korban perdagangan manusia didominasi oleh tenaga kerja wanita yang dikirim ke beberapa negara. TKW kerapkali menerima kekerasan seksual, kekerasan fisik dan penangguhan upah oleh majikan. Perbudakan modern juga terjadi pada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tidak hanya tersakiti secara fisik dan psikis, korban KDRT mengalami kesulitan secara ekonomi karena kebanyakan perempuan bergantung pada nafkah yang diberikan oleh suami mereka.

Baca juga:  Inget Mamah Dedeh? Baru-Baru Ini Dia Menjelaskan Tentang Rumah Tangga

Selanjutnya alasan mengapaperempuan korban kekerasan seksual termasuk dalam golongan fi sabilillah adalah adanya upaya untuk mencari kesembuhan dan keadilan. Yusuf Qardhawi, seorang ulama fikih kontemporer menjelaskan bahwa sabilillah adalah golongan yang melakukan kebaikan untuk menegakkan perintah Allah. Dalam hal ini, upaya melakukan aduan, penyembuhan dan menegakkan keadilan adalah bentuk kebaikan yang dilakukan oleh korban kekerasan seksual. Upaya seperti yang telah dijelaskan di atas, selain membutuhkan keberanian dan dukungan dari masyarakat juga membutuhkan dana yang banyak untuk pendampingan. Oleh karena itu dibutuhkan bantuan dari pemerintah, dalam hal ini melalui zakat.

Ketiga, sebagai penerapan maqashid syari’ah, yaitu hifz nafs. Hifz nafs adalah menghindari hal-hal buruk dan memastikannya tetap hidup. Berdasarkan pengertian tersebut, upaya untuk membantu, mendampingi dan mengadvokasi korban kekerasan seksual merupakan bagian dari hifz nafs. Jika zakat tersebut dikelola dan diberdayakan dengan baik, bukan tidak mungkin jika korban bisa sembuh dan mandiri secara ekonomi. Keempat, program zakat untuk korban kekerasan seksual merupakan upaya optimalisasi fungsi zakat bagi kesejahteraan masyarakat. Disebutkan dalam kitab I’anah at-Talibin, jilid 2 hal 189 bahwa masing-masing fakir miskin diberi modal yang diperkirakan keuntungannya mencukupi guna hidup, bila ia dapat bekerja, diberikan alat-alat pekerjannya. Mengingat bahwa korban kekerasan seksual termasuk dalam golongan fakir miskin, maka optimalisasi zakat dapat dilakukan dengan membantu korban tersebut dalam bentuk dana untuk berobat ke psikiater dan diberikan modal usaha.

Baca juga:  Nada Fedulla: Dikorbankan Orangtua Demi Jihad yang Sia-sia

Empat alasan tersebut akan lebih kuat jika MUI segera merumuskan dan mengeluarkan fatwa zakat untuk membantu korban kekerasan seksual. Kita berharap upaya-upaya menghapus kekerasan seksual berbuah hasil yang maksimal, sehingga korban kekerasan seksual terus berkurang.

https://alif.id/read/fatimatun-nikmah/zakat-untuk-korban-kekerasan-seksual-3-mendorong-mui-mengeluarkan-fatwa-b244695p/