1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga Sunan Geseng
1.3 Wafat
2.1 Guru Sunan Geseng
3.1 Anak Sunan Geseng
3.2 Murid Sunan Geseng
4.1 Awal Mula Perjalanan Sunan Geseng
4.2 Menjadi Murid Sunan Kalijaga
4.3 Perjalanan Dakwah Sunan Geseng
5.1 Makna Simbolik Jalasutra
5.2 Mempersiapkan Jamuan Pelantikan Raja Demak dengan Sepotong Bambu
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Sunan Geseng terlahir dengan nama Cakra jaya (Cokrojoyo), putera dari Ki Ageng Kotesan yang bermukim di Lowanu-Bagelan-Purworejo. Beliau masih jalur keturunan dari Prabu Brawijaya.
1.2 Riwayat Keluarga Sunan Geseng
Sunan Geseng dikaruniai seorang putra :
- Jaka Bedug Nilasraba atau Kyai Kertomanggolo atau Cokrojoyo II atau R. Adipati Nilosobo I
1.3 Wafat
Makam Sunan Geseng terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Selain di dekat Pantai Parangtritis, Jogjakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong-dekat Gungung Telomoyo-secara administratif di bawah Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean makam) Sunan Geseng.
ada juga pendapat lain yang menyatakan juga makam Sunan Geseng ada di daerah Tuban, tepatnya dihutan diatas bukit kapur kurang lebih 10 km disebelah timur kota Tuban jawa timur, yang konon juga sunan geseng bertapa di situ sampai akhirnya hutan terbakar, dan pada saat beliau wafat dimakamkan disitu, karena di dusun geseng tersebut terdapat sebuah makam yang di atasnya terdapat batu nisan, dan banyak di ziarahi orang, dan dari situlah para peziarah yang pada umumnya berziarah di makam Sunan Bonang di tuban, atau di makam Syeh Maulana Ibrahim Asmoroqondi, selalu menyempatkan untuk berziarah ke makam Sunan Geseng tersebut.
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Sunan Geseng
Beliau dididik oleh Sunan Kalijogo/ Raden Sahid
2.1 Guru Sunan Geseng
- Sunan Kalijogo/ RadenSahid
3 Penerus Sunan Geseng
3.1 Anak Sunan Geseng
- Jaka Bedug Nilasraba/ Kyai Kertomanggolo / Cokrojoyo II / R. Adipati Nilosobo
3.2 Murid Sunan Geseng
- Pangeran Purubaya
- Raden Mas Rangsang/ Sultan Agung Hanyakrakusumo
4. Perjalanan Pendidikan dan Dakwah Sunan Geseng
4.1 Awal Mula Perjalanan Sunan Geseng
Cakrajaya sejak kecil telah menunjukkan sif at yang berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain, karena berkemauan keras tetapi suka menyendiri. Setelah menikah Cakrajaya sehari-hari bekerja sebagai penyadap pohon enau (aren) yang jarak dari rumahnya cukup jauh. Hasil sadapan itulah bersama isteri setianya dibuat gula dan kemudian di jual. Setiap pagi sebelum matahari terbit ia telah berangkat kerja dengan bumbung bambu yang diikatkan pada ikat pinggangnya hingga kelihatan seperti berekor. Sebelum lewat tengah hari Cakrajaya sudah tiba kembali di rumah dari bukit Sumber tempat tumbuhnya tanaman enau yang sebatang. Hasil sadapan, disebut legen.
Apabila dirasa sudah cukup banyak baru dibuat gula aren. Meski pekerjaannya cukup berat dalam mencukupi kebutuhan bersama isteri, tetapi Cakrajaya tidak pernah mengeluh. Suami isteri tersebut menghadapinya dengan sabar. Bagi mereka kebahagiaan bukan semata terletak pada tumpukan harta, namun justru berada pada suasana hati yang tenteram. Cakrajaya sesungguhnya sangat ingin mendapatkan seorang guru yang dapat dijadikan tempat bertanya dan member! bimbingan yang benar dalam hidup. Suatu pagi, ketika pemandangan sekitar belum terang benar, Cakrajaya sudah duduk termenung, ada getaran terasa dalam dadanya hingga jantungnya berdebar-debar. Seakan ada perasaan aneh.
Dalam perjalanan Cakrajaya berusaha menenangkan hatinya tetapi tidak berhasil. la bahkan bertanya, apa sesunguhnya yang akan terjadi. Rasanya ada kekuatan gaib yang menyentuh hatinya. Di tempat pohon enau, hati-hati ia memanjat dan menyadap. Pada waktu akan memanjat pohon kelapa, ia mengucapkan kalimat : “klonthang klanthung wong nderes buntute bumbung” kata-kata itu merupakan mantra bagi tukang nderes supaya hasil deresannya dapat untuk menghidupi keluarga. Mantra tersebut warisan dari nenek moyangnya.Hati yang gundah tadi diobati oleh hasil sadapan yang banyak, tidak seperti biasanya, bumbungnya hampir penuh berisi legen. la pun heran. Apakah yang ia rasakan itu firasat akan memperoleh rezeki banyak?, pikirnya.
Perlahan ia turun ke tanah. Begitu beliau menginjak tanah, terdengar suara: “He, ki sanak setiap hari kerjamu hanya naik turun pohon enau dengan berekor bumbung”. Cakrajaya terkesiap, siapa gerangan, tetapi sorot mata orang tua yang menyapa itu demikian menebar kewibawaan. Terkesan olehnya bahwa tokoh di depan matanya ini adalah seorang kyai, bahkan orang keramat. Tidak salah, tokoh itu adalah Sunan Kalijaga.Cakrajaya hormat ta’zim dan mencium tangan Sunan. Mendengar penderes tadi membaca mantra, Kanjeng Sunan Kalijaga menegur bahwa ia mempunyai mantra yang dapat menghasilkan legen lebih banyak lagi. Mendengar penuturan Kanjeng Sunan Kalijaga akhirnya penderes itu ingin membuktikannya.
Akhirnya mereka pulang bersama menuju rumah Cakrajaya. Dalam percakapannya dengan Sunan Kalijaga, ada kalimat-kalimat yang beliau tidak mengetahui maknanya Misalnya: Jatining urip dan urip sejati, makan sekali tapi kenyang selamanya. Demikian pula ada keajaiban-keajaiban yang beliau alami. Kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga memasak legen di rumah orang tersebut yang bernama Kyai Cakrajaya. Sesampainya di rumah Kyai Cakrajaya, mereka segera memasak legen. Setelah selesai memasak, legen dicetak dengan tempurung kelapa, untuk dijadikan gula. Kanjeng Sunan Kalijaga mencetak satu tangkap dan kemudian diserahkan kepada Kyai Cakrajaya. Sebelum pergi, Kanjeng Sunan Kalijaga berpesan agar gula satu tangkap tersebut tidak dibuka sebelum Kanjeng Sunan Kalijaga keluar dari desa tersebut. Setelah Sunan Kalijaga pergi, Kyai Cakrajaya segera membuka cetakan gula jawa. Kyai Cakrajaya sangat terkejut, karena gula kelapa tadi sudah berubah wujud menjadi emas.Kyai Cakrajaya baru tersadar bahwa orang yang tadi berbicara dengannya bukan orang sembarangan. Kedua orang suami isteri menggigil ketakutan. Tetapi Kanjeng Sunan Kalijaga sudah lenyap. Terngiang-ngiang ucapan terakhir tokoh keramat ini. Ya Rahman, ya Rahim. Spontan Cakrajaya menirukan kata-kata itu, dan aneh terasa ada sumbat yang membuka dadanya, lalu menjadi lega dan sejuk bagai terkena siraman embun pagi.
Pada suatu ketika Cakrajaya berkata pada sang isteri: “Wahai dimas, kakang tahu bahwa dimas tengah mengandung anak kita yang kini berusia 4 bulan. Tetapi kang mas mohon izin akan pergi mencari Kanjeng Sunan, dan berguru kepada beliau. Adapun gumpalan-gumpalan emas ini manfaatkanlah untuk keperluan hidup dimas, bahkan juga buat anak kita, karena mungkin kakang akan lama pergi”. Sang isteri dengan tabah menjawab: “Wahai kangmas, kalau memang demikian kehendak hati kakang, ini adalah sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Aku rela kangmas pergi. Dimas hanya bisa mengiringi dengan doa, semoga kakang selamat dan berhasil.”
4.2 Menjadi Murid Sunan Kalijaga
Cakrajaya mulai mencari sang guru yang arif bijaksana dan keramat itu. Tetapi ke mana arah yang dituju, ia sendiri tidak tahu pasti. Berhari-hari, berminggu-minggu dan berbulan-bulan, sang guru dambaan hati tidak juga ditemukan. Ketika badan menjadi letih dan kepayahan, ia lalu istirahat melepas lelah di bawah pohon beringin yang rindang, dan merebahkan diri. Tetapi bayangan guru suci tidak hilang dari pandangan khayalnya. Ia menyebut-nyebut namanya, ada dorongan kuat dalam hati untuk lebih banyak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang senantiasa berputar-putar di otaknya. Dan ini menyiksa. Antara tertidur dan jaga, Cakrajaya terbelalak dan memasang telinga lebar-lebar ketika terdengar suara dari belakang pohon: Assalamu’alaikum ! Tak pelak lagi, beliau itu Kanjeng Sunan Kalijaga yang selama ini ia cari-cari. Segera ia menjabat tangan Kanjeng dan menciumnya, lalu bersimpuh di hadapannya. “Maafkan Kanjeng, hamba mohon diperkenankan menjadi murid Kanjeng,hidup matiku, hamba serahkan pada Kanjeng”. “Oo…. itu keliru jebeng, hidup matimu dan juga hidup matiku, hanyalah untuk Allah SWT. Hadapkan jiwa ragamu, dan sujudlah kepada Nya. Allahu Akbar !”.”Maafkan kanjeng hamba yang cubluk ini. Perkataan kanjeng, hamba perhatikan sebaik-baiknya “.Kyai Cakrajaya mengungkapkan keinginannya untuk berguru kepada Sunan Kalijaga. Keinginan Kyai Cakrajaya disetujui oleh Sunan kalijaga dengan syarat harus laku, celathu, tumindak (artinya berkelakuan baik, berbicara baik, dan bertindak yang baik).
Semenjak itu, Kyai Cakrajaya mengikuti Sunan Kalijaga. Selama berkelana, kanjeng Sunan kalijaga mengajarkan agama Islam kepada Kyai Cakrajaya. Suatu ketika, Sunan Kalijaga akan pergi ke Mekah. Ia kemudian menitipkan tongkat kepada Kyai Cakrajaya, agar tetap dijaga, dan tidak boleh pergi meninggalkan tempat tersebut sebelum Kanjeng Sunan Kalijaga pulang. “Bila engkau mau memperdalam ilmu, tunggulah saya di bukit Lowanu dan bawalah tongkatku ini. Saya melanjutkan perjalanan dulu, sampai Allah nanti mempertemukan kita kembali, Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh “.Semenjak kepergian Kanjeng Sunan Kalijaga ke Mekah, Kyai Cakrajaya tetap dengan setia menunggu tongkat tersebut dan tetap melaksanakan pesan Kanjeng Sunan Kalijaga. Cakrajaya di hutan Lowanu duduk bersila, tongkat sang guru ditancapkan di depannya. “Hidup matimu hanya untuk Allah, hadapkan jiwa raga,dan sujudlah kepada Nya. Allahu Akbar” Bibirnya bergetar mengulang-ulang menirukan ucapan sang guru. Kata-kata sang guru dicoba untuk direnungkan, terus menerus. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun, hingga kanan kirinya tumbuh semak belukar lebat, namun ajaib, ia masih tetap duduk seperti semula.
Namun, ternyata kepergian Sunan Kalijaga lama sekali, sehingga tempat untuk menancapkan tongkat, banyak mengalami perubahan. Tempat tersebut banyak ditumbuhi pohon bamboo dan semak belukar Kemudian, ketika Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan Kyai Cakrajaya untuk keluar dari rumpun bambu, tidak bisa dilaksanakan karena terhalang rumpun bambu dan semak belukar dan akhirnya Karena tak kunjung menemukan yang dicari, Sunan pun memerintahkan membakar hutan yang lebat an itu untuk memudahkan pencarian. Maka dibakarlah hutan yang lebat itu oleh murid-murid Sunan Kalijaga. Api membubung tinggi, dan bamboo dan semak belukar itu pun musnah.Setelah api reda, dan lembah yang semula penuh dengan ilalang itu terang benderang dan tampaklah Cokrojoyo. Sekalipun api membakar ilalang di sekelilingnya.Tapi, ajaib tubuh Cokrojoyo dan tongkat sang Sunan tak terbakar sedikitpun, hanya beberapa bagian bajunya yang terbakar.
Terlihatlah seorang kurus duduk namun badannya telah hangus (geseng). Hanya saja ia masih hidup. Dialah Cakrajaya murid yang teguh hati. Mahaguru Kanjeng Sunan Kalijaga mengakui ketabahan, kesabaran, dan kuatnya kemauan dari muridnya yang satu ini. Kehadiran Mahaguru sangat menggembirakan hati sang murid. Segera ia mendekat Kanjeng Sunan menghaturkan salam ta’zim. Mahaguru mengusap-usap kepala sang murid dan berkata: “jebeng muridku ternyata engkau telah mampu melalui ujian berat dan bisa lulus dengan baik. Bersyukurlah kepada Allah.Kyai Cakrajaya dinyatakan lulus ujian, kemudian diberi sebutan Sunan. Karena tubuh Kyai Cakrajaya seluruh tubuhnya geseng (Jawa = hangus), maka kemudian dinamakan Sunan Geseng.
Selanjutnya Sunan Geseng diajak Kanjeng Sunan Kalijaga berjalan ke arah timur. Kanjeng Sunan Kalijaga ketika tiba pada suatu tempat, menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat tersebut dicabut, timbullah sumber air dan kemudian menjadi sendhang. Sunan Geseng kemudian disuruh Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mandi di sendhang. Ketika Sunan Geseng mandi di sendhang, seketika itu juga kotoran hangus pada tubuhnya hanyut terbawa aliran air, sampai di sungai yang dinamakan Kedhung Pucung, sedangkan sendhang itu dinamakan Sendhang Banyu Urip. Hingga kini, Kedhung Pucung merupakan tempat yang dihindari untuk mandi, karena ada kepercayaan bahwa apabila mandi di Kedhung Pucung akan membawa sial, karena kedhung tersebut tempat kotoran, tercemar.
Selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak Sunan Geseng pergi ke arah barat. Ketika pada suatu tempat, mereka berhenti untuk menetap. Kanjeng Sunan Kalijaga kemudian memberikan wejangan dan ajaran yang mendalam tentang agama Islam kepada Sunan Geseng. Sunan Geseng dengan senang hati menerima wejangan tersebut, dan dia tekun menimba ilmu dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Tempat menetap Sunan Geseng lama-lama berkembang menjadi suatu desa, yang disebut dengan Desa Ngajen. Desa tersebut berada di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelum melanjutkan perjalanannya menyebarkan Dakwah Agama Islam. Sunan Geseng disuruh olleh Kanjeng Sunan Kalijogo untuk menjenguk Istrinya. Sekarang pulanglah pada isterimu yang senantiasa mendoakan keselamatanmu. Bila engkau membuat sedekahan tanda tasyakur, maka lauknya hendaklah ikan sungai”. Beribu terima kasih murid haturkan pada Mahaguru sambil tidak lupa mohon tambah doa restu, Cakrajaya terhuyung-huyung pulang menuju kampung halaman.Sebagai murid yang tawaduk’ pada guru dan selalu menjunjung tinggi pada “dawuh” (perintahnya ), meski rasa rindu pada isteri demikian menggunung, apalagi ia segera ingin tahu berita mengenai anak yang ketika ditinggalkan pergi masih 4 bulan di kandungan isteri ingin ia bergegas pulang; tetapi ia tidak segera menemui anak dan isterinya, melainkan akan lebih dulu memancing ikan di sungai Bogowanto.
Orang berbadan hangus duduk di pinggir sungai dan di bawah batu besar itu, menarik perhatian orang. Meski badannya hangus, tetapi beberapa orang agaknya masih mengenalinya, hanya takut mendekat karena ada terasa pengaruh “perbawa” (wibawa) yang mengelilingi dirinya. Berita itu sampai ke Nyai Cakrajaya. Hati Nyai bergetar, jantungpun berdegup-degup, keringat dingin keluar. Kalau memang itu suaminya, apapun bentuknya, ia bersyukur, sebab ini merupakan karunia Tuhan. Meskipun demikian ia tidak bersikap gegabah sebab ia menyadari bahwa suaminya kini telah memperoleh tingkatan mutu rohani yang tinggi. Anaknya yang dulu dikandung, kini telah pandai berlari dan memanjat. la sangat ingin menemui sang ayah disebabkan selama ini hanya cerita saja yang didengar dari ibunda. Tetapi ibunda melarang, sebab ayah nanti kan pulang ke rumah juga.
Meskipun ia berat menemui suami karena rasa hormatnya, tetapi demi kepentingan bersama yakni nasib anak, ia beranikan juga mendekati sang suami. Setelah uluk salam dan minta maaf maka ia menyampaikan kejadian yang baru saja di alami oleh anaknya itu. Cakrajaya buyar perhatiannya pada pancing ketika mendengar suara yang sudah lama tak didengar tetapi sangat di rindukannya. Benar! Suara itu adalah isteri yang telah bertahun-tahun ditinggalkan dan anaknya? Ketiga-tiganya berangkulan dalam derai air mata. Sang suami membujuk isterinya:”Sudahlah mbokne terimalah ini apa adanya. Kalau Allah Ta’ala masih menghendaki bisa berubah, saya akan mengusahakan sedapat- dapatnya “.
Dikisahkan, Nyai Cakrajaya jadi melaksanakan tasy akuran atas selamat dan berhasilnya sang suami mencapai cita-citanya. Oleh karenanya, sedekahannya berupa kupat luar dan gudeg manggar. Kupat luar ialah ketupat bersegi empat besar-besar. Kupat dimaknai sebagai laku papat L !
(1) Lebar (selesai menjalankan tapa/ujian);
(2) Luber (melimpah, memberi sedekah);
(3) Lebur (menyatu, karena sudah maaf memaafkan)
(4) Labur (Cat gamping ber- warna putih, kembali pada kesucian : fitrah).
Adapun kata “luar” itu berasal dari bahasa Jawa: ngluwari, artinya melaksanakan hajat sedekah sehubungan tercapainya suatu maksud. Adapun manggar adalah bunga kelapa, untuk ramuan gudeg biasanya dicampur atau ditambah dengan daging ayam. Makanan itu dibagikan kepada tetangga. Akan tetapi Cakrajaya, tidak lupa memberi nama putranya dengan nama Jaka Bedug Nilasraba.
Suatu hari ia minta izin istrinya untuk menemui mahaguru Kanjeng Sunan Kalijaga, selain mohon petunjuk dan tambahnya ilmu, juga mohon dapat bantuan do’a agar wujud Jaka Bedug, bisa kembali seperti sediakala. Dalam pertemuannya dengan mahaguru, Cakrajaya menceritakan pengalaman yang pernah dialami bersama anaknya. Sunan menyarankan agar senantiasa beristighfar kepada Allah, serta mohon belas kasihNya agar sang anak kembali seperti semula. Sunan juga menyarankan agar nama diri anaknya diganti dengan nama dirinya, dan Cakrajaya diberi nama baru oleh sang guru: Muhammad.
4.3 Perjalanan Dakwah Sunan Geseng
Sebagai seorang da’i, Kyai Muhammad bertugas mendatangi kampung-kampung pemukiman dengan melalui pelbagai rintangan alam. Tetapi oleh masyarakat, Kyai Muhammad tidak popular. Yang lebih popular adalah nama yang dikaitkan dengan penampakan dirinya, maka Kyai Muhammad, terkenal dengan nama Sunan Geseng, karena badannya geseng (jawa) atau hangus. Route da’wah Sunan geseng dimulai dari Bagelen Kedu, Jatinom (Klaten), Prambanan, terus ke selatan, menetap beberapa waktu di dukuh Dalem untuk kemudian pindah ke dukuh Kenasan. Ketika bermukim di Dalem, Kyai Muhammad berganti nama sebagai Ki Depok. Tetapi bagai buah durian yang tidak bisa ditutupi bau harumnya, nama Ki Depok tersebar luas. Hal itu karena seringnya memberi pertolongan pada orang-orang yang tengah menderita dan sebagai penyembah.
Pelbagai penyakit, mulai penyakit jasmani biasa sampai penyakit ruhani, dengan maunah Allah SWT, dapat disembuhkan. Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Sunan Kalijaga, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan puji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
Sebagai pengamal thariqat, gemanya sampai di lingkungan Kraton. Saat itu pusat pemerintahan berada di Pajang, dengan Hadiwijaya sebagai rajanya. Ki Ageng Pemanahan dan Ki gede Panjawi adalah pembesar-pembesar kraton yang diberi hadiah oleh raja dikarenakan jasanya mengalahkan R. Harya Penangsang dalam perebutan tahta Demak. Pemanahan pendapat hadiah bumi Mataram yang waktu itu masih berupa hutan yang dikenal dengan Alas Mentaok. Panjawi mendapat hadiah bumi Pati, pantai Utara. Tetapi dalam perkembangannya justru Mataram berkembang dengan pesat dan dapat mengungguli Pati, bahkan Pajang sendiri, Madiun, Bagelen dan beberapa daerah lain. Hal itu berkat ambisi Senopati, pendiri kerajaan Mataram, putera Pemanahan, yang dahulu bernama Sutawijaya, (anak angkat Hadiwijaya – raja Pajang). Tertarik oleh thariqat Ki Depok alias Kyai Muhammad, Pangeran Purubaya dari Kraton Mataram datang ke dukuh Dalem menemui Ki Depok, untuk mempelajari ilmu kasampurnaning urip. Pangeran Purubaya adalah salah seorang putera Senopati Mataram. Disebutkan, beberapa orang istri Senopati adalah:
1. Putri/ keturunan Ki Ageng Giring dari Gunungkidul (ibunda Pangeran Purubaya).
2. Putri dari Pati, kakak Pragola putra Ki Panjawi (ibunda R.M. Jolang).
3. Putri/keturunan Ki Kajoran.
4. Sekar kedaton Madiun Retno Dumilah (Ibunda R.M. Rangsang).
Awal tragedi yang terjadi di kraton Mataram, berawal dari sayembara yang diadakan oleh Senopati terhadap anak-anak dan istri-istrinya, yakni, barangsiapa mampu menggulingkan kursi singgasananya, maka dialah kelak yang berhak meng- gantikan kedudukannya sebagai raja Mataram. Seluruh anak-anaknya tidak ada yang sanggup, juga para istri, kecuali Ratu Retno Dumilah. Didorongnya kursi singgasana itu, dan terguling. Sabda Pandita Ratu, titah raja pantang ditarik, maka ditetapkanlah bahwa pengganti Senopati kelak adalah putra yang dilahirkan oleh Ratu Retno Dumilah putri Adipati Madiun, pemilik pusaka Kyai Kala Gumarang dan Kyai Gupit.
“Hai Purubaya”, ujar Senopati pada putranya. “Ketahuilah olehmu, bahwa pengganti rama kelak, adalah adikmu yang kini dalam kandungan ibumu yayi Retno Dumilah – ia juga yang kelak akan menurunkan raja-raja Jawa. Bila aku meninggal kelak, hati-hati dan pandai-pandailah mengasuh adikmu itu. Perhatikan ini!” Pangeran Purubaya menjawab: “Baik rama, titah rama hamba pegang teguh, untuk hamba laksanakan!”.
Adik Purubaya lain ibu adalah pangeran Adipati Anom -atau Mas Jolang. Saat ayahnda “dawuh” pada Purubaya, dirinya ada di situ, tetapi justru hatinya berkata -.”Kalaulah saya yang dapat menggantikan ayahnda Prabu, maka putra dari ibu Retno Dumilah akan saya singkirkan.Ratu Retno Dumilah ternyata memang melahirkan seorang anak laki-laki yang oleh sang ayah diberi nama R.M. Rangsang. Di masa anak-anak, R. Rangsang diserahkan pada seorang kyai untuk dididik agama. Kyai tersebut bernama Kyai Muhammad, alias Sunan Geseng; penyerahan tersebut, bisa jadi atas anjuran Purubaya yang sudah kenal akrab dengan Sunan Geseng – yang kemudian kelak terkenal dengan nama Kyai Jalasutra.
Sejarah membuktikan, Senopati wafat di Kajenar daerah Sragen dan jenazahnya dimakamkan di Kotagede. Atas nasehat sesepuh kraton Patih Mandaraka dan anjuran Pangeran Mangkubumi, maka dilantiklah Mas Jolang sebagai pengganti raja. Mas Jolang atau Adipati Anom Amangkurat Adi, atau Amangkurat Adi juga bergelar Anyakrawati dan gelar anumerta Sultan Seda Krapyak, benar-benar ingin melaksanakan kehendaknya menyingkirkan adiknya sendiri lain ibu yairu Raden Rangsang yang masih bocah. Maksud hatinya ini disampaikan pada Purubaya, agar menyingkirkan adik yang dianggap penghalang. Purubaya bingung, tidak berani menolak karena perintah raja pantang dibantah, tetapi kalau melaksanakan berarti mengkhianati amanat almarhum ayahanda.
Pangeran Purubaya menyanggupi perintah raja alias adiknya sendiri, tetapi otaknya berputar-putar mencari jalan keluar.Akhirnya menemui ibu Retno Dumilah secara diam-diam di Keputren dan diajaknya pulang ke Madiun. Dalam perjalanan, ibu Retno Dumilah diceritai maksud raja. Retno Dumilah menangis sedih sambil memeluk Rangsang kecil, air matapun tak terbendung. Dinasehatkan oleh Purubaya agar cerita ini dirahasiakan benar, dan ibu Retno Dumilah agar bersembunyi di Madiun.Dengan berputarnya waktu, ternyata berita tentang batalnya Puruboyo menyingkirkan Raden Mas Rangsang, terdengar oleh Prabu Amangkurat Adi, alias Anyakrawati alias Mas Jolang. Raja marah besar dan memanggil kakanda Purubaya. Sekali lagi Purubaya harus benar-benar membunuh R. Rangsang, dan berangkat hari itu juga.R. Purubaya berangkat ke Madiun, diiringi oleh Wiroguno.
Dalam perjalanan, Purubaya menceritakan maksud kepergian mereka ke Madiun. Wiroguno baru tahu maksud yang sebenar- nya. Sama saja, ia pun bingung dan tidak punya pendapat atau jalan keluar. Tiba di Madiun, ibunda Retno Dumilah sedang berbincang dengan Kyai Muhammad alias Sunan Geseng. Mereka kaget atas kedatangan utusan Mataram itu. Retno Dumilah cemas, wajahnya bagai diliputi mendung yang segera turun hujan. Setelah berbasa-basi maka Purubaya berkata:”Ibunda dan Pamanda yang kami hormati, tidak salah menurut dugaan ibunda dan pamanda. Bahwa kami diutus membunuh adinda dimas Rangsang. Tetapi janji hamba pada Paduka ayahnda Prabu almarhum, lebih kuat hamba pegang. Sekarang, sebaiknya dimas Rangsang pergi meninggalkan Madiun boleh disertai paman guru Kyai Muhammad, ke mana saja sambil menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala.” Retno Dumilah hatinya menjadi tenteram.
Pangeran Purubaya dan Wiroguno pulang kembali ke Mataram, Kyai Muhammad alias Sunan Geseng dan Raden Mas Rangsang pun pergi dari Madiun meninggalkan ibu Retno Dumilah.Jauh pergi dari Madiun, sampai pada suatu tempat, Sunan Geseng berkata pada Rangsang: ” Sudah tiba saatnya kita berpisah. Berserah dirilah kepada Allah. Insya Allah Dia akan membimbingmu”. Tempat perpisahan itu bernama desa Paliyan. Rangsang muda terus mengembara hingga akhirnya menjadi santri di pondok pesantren Ki Ageng Gribig Jatinom (Klaten), namanya kini menjadi santri adi Sunan Geseng di suatu desa di lembah suatu bukit, yang tanah tinggi/bukit itu kini dikenal dengan nama Hargo Dumilah. Bertahun-tahun sudah berlalu dan Raden Rangsang kelak menggantikan Anyakrawati alias mas Jolang alias Sedokrapyak menjadi Raja Mataram dan bergelar Sultan Agung Anyakrakusuma Sayidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawa.
5. Karomah Sunan Geseng
Karomah adalah sesuatu yang luar biasa yang bukan hasil dari oleh kanuragan tetapi semata-mata datang dari Allah kepada hamba-Nya yang telah mencapai derajat kewalian dengan pemahaman kema’rifatan yang tinggi kepada Allah SWT. Karomah para wali Allah ada yang ditampakkan dan ada juga yang tidak tampak tergantung pribadi dan peran figure seorang wali itu sendiri.
5.1 Makna Simbolik Jalasutra
Prabu Anyakrawati atau Mas membuat sayembara sehubungan dengan ngidamnya sang permaisuri yakni ingin makan ikan wader bang asisik kencana, ikan wader merah yang bersisik kencana. Siapa saja yang bisa mendapatkan ikan idaman itu akan mendapat anugerah besar dari Sinuhun raja. Ternyata tak satupun orang yang sanggup. Keresahan raja semakin bertambah, lalu memanggil P. Purubaya. Dalam P. Purubaya menawarkan pada raja untuk menutup rasa malu dengan cara mengumumkan pada khalayak bahwa ada seorang yang dapat memperoleh ikan ajaib itu, dia adalah Kyai Muhammad yang tengah bersemedi di lembah Hargo Dumilah, yang terkenal dengan nama Sunan Geseng.Sunan Geseng dijemput ke kraton. Sunan menyanggupi untuk memperoleh ikan ajaib itu tetapi minta syarat. Yakni agar disediakan alat penangkap ikan berupa jala yang terbuat dari sutera, sedang tampang jala terbuat dari emas. Singkat cerita syarat itu dengan mudah dipenuhi oleh raja.
Setelah memperoleh peralatan, Sunan Geseng segera menjala wader (ikan kecil) yang kini berada di pondok pesantren Jatinom asuhan Ki Ageng Gribig. Jala sutera ternyata sanepan (sanepa), bermakna simbolik. Sutera itu halus, emas itu mulia. Untuk membujuk Rangsang (santri Adi) kembali ke kraton, haruslah dengan cara yang halus dan harus dimuliakan, walau secara lahirian ia seperti santri-santri yang lain, tetapi dia adalah pewaris tahta Mataram. Semenjak itu Sunan Geseng terkenal dengan nama Kiyai Jalasutra. Hingga tempat tinggalnya lama-lama terkenal dengan sebutan Jalasutera
Raja menepati janji. Diutusnya rombongan dari kraton ke tempat Sunan Geseng dengan membawa hadiah emas picis raja brana dan seperangkat gamelan. Hari itu Sunan Geseng sedang berjalan seperti biasanya menyampaikan da’wah di masyarakat sekitar. Rombongan bertemu dengan Sunan Geseng, dan menyampaikan maksud. Tetapi Sunan Geseng menolak hadiah. Rombongan tidak pula mau menerima kembali hadiah tersebut karena amanat raja harus diberikan pada Sunan Geseng atau Kiyai Jalasutra. Oleh Kyai, hadiah lalu diterima dan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Adapun gamelan (alat-alat musik) oleh Sunan Geseng dipendam. Desa tempat memendam gamelan, disebut desa Gamelan (tahun 1925, ditemukan 5 buah gong).
5.2 Mempersiapkan Jamuan Pelantikan Raja Demak dengan Sepotong Bambu
Setelah tersohor dengan nama Sunan Geseng, Sunan Kalijaga mengikut sertakan dalam majelis wali di Demak. Majelis Walipun mengangkat Sunan Geseng sebagai bendahara Kerajaan Demak Bintoro. Sunan Gesengpun diperintah untuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk jamuan para tamu pelantikan Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Tinggal satu hari lagi hari pelantikan tiba, Sunan Kalijaga melihat ke dapur tempat persiapan jamuan. Alangkah terkejutnya, Sunan Kalijaga melihat tidak ada persiapan apa-apa. Para juru masak segera ditanya Sunan Kalijaga, dan mereka mengatakan belum menerima segala keperluan untuk jamuan dari Sunan Geseng.
Sesegera mungkin Sunan Kalijaga mencari Sunan Geseng untuk diminta pertanggung jawaban. Sunan Geseng yang sedang asyik berdzikir kepada Allah SWT di masjid kaget akan datangnya gurunya. Setelah Sunan Kalijaga menceritakan semuanya kepada Sunan Geseng, beliaupun terkejut dan memohon maaf karena dia lupa akan tugasnya sebab keasyikan berdzikir. Segera mungkin Sunan Geseng pergi ke hutan, dia bingung apa yang harus dilakukan. Sementara acara tinggal besok pagi. Diapun berdoa agar segera diberikan petunjuk.
Ilham pun datang, Sunan Geseng segera mencari bambu dan memotongnya menjadi bagian pendek. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya Sunan Geseng segera bertemu dengan Sunan Kalijaga untuk melaporkan bahwa pekerjaannya hampir beres.Setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga bingung dan bertanya,” Bagaimana bisa jamuan semua tersedia dengan hanya sebuah bambu pendek”. Sunan Geseng menjawab,” Tunggu dulu kanjeng, lihat dulu apa yang terjadi”.Sesegera mungkin Sunan Geseng berdoa, dan tiba-tiba dari lubang bambu muncul suara dan keluar tempe yang cukup banyak. “hmmmm, hebat sekali. Apa bisa muncul tahu dari bambumu?”. Sunan Kalijaga bergumam. Segera Sunan Geseng berdoa dan walhasil tahupun keluar dari bambunya. Sunan Kalijaga berkata,” Lho…ini kan acara pelantikan raja masak lauknya cuma tahu tempe, apa bisa dari lubang kecil itu keluar kambing atau sapi?”.Sunan Gesengpun berdoa, kambing dan sapipun keluar dari bambu. Akhirnya Semua keperluan untuk jamuan tercukupi dan acara pelantikan Raden Patah sebagai Sultan pun sukses digelar.
6. Keteladanan Sunan Geseng
Sunan Geseng adalah seorang da’I yang bertugas mendatangi kampung-kampung pemukiman dengan melalui berbagai rintangan alam. Tetapi oleh masyarakat, nama Kyai Muhammad tidak popular. Yang lebih popular adalah nama yang dikaitkan dengan penampakan dirinya, terkenal dengan nama Sunan Geseng, karena badannya geseng (jawa) atau hangus.
Route da’wah Sunan geseng dimulai dari Bagelen Kedu, Jatinom (Klaten), Prambanan, terus ke selatan, menetap beberapa waktu di dukuh Dalem untuk kemudian pindah ke dukuh Kenasan. Ketika bermukim di Dalem, Kyai Muhammad berganti nama sebagai Ki Depok. Tetapi bagai buah durian yang tidak bisa ditutupi bau harumnya, nama Ki Depok tersebar luas. Hal itu karena seringnya memberi pertolongan pada orang-orang yang tengah menderita dan sebagai penyembah. Pelbagai penyakit, mulai penyakit jasmani biasa sampai penyakit ruhani, dengan maunah Allah SWT, dapat disembuhkan.
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Sunan Kalijaga, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan puji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
7. Referensi
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
- Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
- Babad Nitik Sarta Cabolek Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Ing Mataram. Kagunganipun GPH. Buminata Putera Dalem Ingkang Sinuwun VII Ngayogyakarta (Hasil Transliterasi Balai Penelitian Bahasa, Yogyakarta, 1980.
- Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa (Telaah atas Metode Dakwah Walisongo), Bandung, Penerbit “Mizan” Cet.1,1995.
- Terjemahan Serat Jolosutro
https://www.laduni.id/post/read/81004/biografi-sunan-geseng.html