Perempuan Perdamaian (2): Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Konflik Sosial

Indonesia dengan kebhinekaannya bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi keragaman tersebut adalah kekayaan bangsa yang menjadi kekuatan identitas dan modal sosial dalam kehidupan berbangsa, namun di sisi lain juga berpotensi mengalami gesekan sehingga menjadi penyebab munculnya konflik dalam masyarakat.

Konflik yang terjadi dalam berbagai bentuk ini terjadi di berbagai wilayah dengan berbagai sebab. Jika kita mundur ke belakang menilik sejarah, telah tercatat banyak sekali konflik besar yang terjadi seperti peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965, konflik Jakarta 1998, Timor Timur, kasus Ambon, konflik Poso, Aceh, Sampit-Madura, Lampung dan yang lainnya.

Apalagi jika melihat fakta bahwa masih ada berbagai lokasi pengungsian korban konflik yang masih bertahan sampai sekarang. Seperti kasus Ahmadiyah di NTT yang terusir dari tempat tinggalnya sejak tahun 2006 dan hingga saat ini mengungsi di asrama Transito, kota Mataram. Begitu juga yang terjadi pada kelompok Syiah Sampang yang mengungsi di Rusun Puspo Argo,Sidoarjo. Fakta tersebut semakin menempatkan Indonesia sebagai negara yang rawan konflik.

Konflik tentu menimbulkan banyak kerugian seperti pelanggaran HAM berat, kematian,kerugian harta benda, hilangnya rasa aman, terciptanya rasa takut, benci, dendam dan rasa permusuhan. Di saat itu terjadi, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban baik secara fisik maupun mental.Banyak perempuan-perempuan yang menjadi korban KDRT suaminya karena suaminya memiliki trauma dan kesehatan mental yang buruk akibat dari konflik itu sendiri. Tak sedikit juga yang diperkosa sehingga melahirkan anak-anak korban perkosaan.

Baca juga:  Selir dalam Islam (3): Harem dan Para Perempuan Timur

Konflik kekerasan juga menghancurkan banyak keluarga sehingga berdampak kepada anak-anak. Banyak dari mereka yang kehilangan kedua orangtua sehingga harus menjadi kepala keluarga dan merawat adik-adiknya di pengungsian. Anak dengan orangtua yang masih hidup pun tetap memiliki masalah karena biasanya orangtua mereka mengalami stress sehingga lebih rentan melakukan kekerasan terhadap anak.

Selain itu, stigmatisasi dan diskriminasi juga dialami oleh anak korban konflik baik yang berlatar belakang agama maupun yang berlatar etnis/suku.Stigmatisasi tersebut menyulitkan mereka untuk mendapatkan hak-hak dasar, salah satunya yaitu akses Pendidikan. Ketika anak korban konflik agama seperti Syiah dan Ahmadiyah kembali ke sekolah, mereka biasanya distigma “sesat” sehingga rentan mengalami tindak diskriminasi dan perundungan.

Sadar akan potensi konflik yang rawan terjadi serta bahayanya terhadap integrasi bangsa,berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia, salah satunya adalah dengan membuat Undang-Undang No.7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial.Menyusul kemudian diundangkannya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015.

Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang tersebut, terdapat tiga hal yang menjadi ruang lingkup penanganan konflik, yaitu pencegahan konflik, penanganan atau penghentian konflik dan pemulihan pascakonflik. Pencegahan konflik meliputi pendekatan-pendekatan dalam mengelola potensi konflik, tidak hanya berupa perbedaan berupa atribut sosiokultural masyarakat, namun juga kesenjangan status sosial, akses ke sumber daya ekonomi yang timpang dan kesejahteraan masyarakat yang tidak merata. Penanganan konflik meliputi strategi dan langkah-langkah penanganan konflik,sedangkan penanganan pasca konflik diarahkan untuk menghilangkan beban trauma pada korban, termasuk menciptakan kembali rasa aman dan nyaman bagi para korban pasca konflik.

Baca juga:  Jangan Diam, Lawas Teroris!

Diundangkannya Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 2012 menunjukkan sikap pemerintah untuk memberikan perlindungan yang optimal kepada korban konflik sosial. Di dalamnya, terdapat beberapa ketentuan yang memang tidak diamanatkan dengan tegas dalam Undang-Undang No.7 tahun 2014, dengan harapan penanganan konflik dapat terlaksana dengan optimal di lapangan.

Salah satunya adalah materi tentang Tindakan darurat penyelamatan dan Perlindungan Korban yang meliputi penyelamaan dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar korban dan pengungsi termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus. Penegakan hukum, dan penyelamatan harta benda korban.

Selanjutnya, melalui landasan yuridis dan payung hukum tersebut, Komitmen pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan perempuan dan anak dalam konflik sosial ditindaklanjuti dan diperkuat dengan meluncurkan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial yang disingkat menjadi RAN P3AKS.

Kegiatan ini digagas karena adanya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan.Resolusi ini kemudian menjadi rekomendasi untuk diimplementasikan oleh berbagai negara terutama negara yang rawan konflik seperti Indonesia.Diluncurkan pertama pada tahun 2014-2019 dengan nama Perpres No.18 tahun 2014 tentang rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial,saat ini RAN P3AKS memasuki generasi kedua.

Baca juga:  Kenapa Kewajiban Nafkah Ada Pada Laki-laki?

Dalam forum yang difasilitasi oleh AMAN Indonesia, konsultasi Digital nasional mereview pelaksanaan lima tahun RAN P3AKS generasi pertama dan menghasilkan beberapa rekomendasi.Salah satunya adalah pentingnya tetap memiliki RAN lima tahun ke depan yang lebih adaptif dengan dinamika yang ada. Hal ini dikarenakan RAN telah menjadi alat yang ampuh untuk membantu masyarakat sipil dalam advokasi hak-hak korban kekerasan berbasis gender serta memperkuat keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan juga rekonsiliasi konflik.

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah Indonesia sebagai respon dan juga upaya dalam menangani konflik sosial, baik melalui perundang-undangan maupun peraturan pelaksana di bawahnya. Hal ini menunjukkan komitmen dan keseriusan negara dalam memberikan rasa aman dan perlindungan bagi perempuan dan anak baik dalam kondisi konflik maupun kondisi apapun.

Ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam menangani konflik sosial baik yang tertulis maupun tidak tertulis perlu disosialisasikan dan perlu terus-menerus dikaji sekaligus dikembangkan guna melindungi korban, utamanya perempuan dan anak yang sangat retan. Selain itu, keterlibatan masyarakat dan juga sinergisitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sangat diperlukan sehingga komitmen untuk menciptakan ruang aman bagi korban dapat diwujudkan.

https://alif.id/read/tmr/perempuan-perdamaian-2-perlindungan-hukum-terhadap-perempuan-dan-anak-korban-konflik-sosial-b245007p/