Biografi Fatahillah ( Pendiri Kota Jakarta )

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Fatahillah
1.3  Nasab Fatahillah
1.4  Wafat

2.1  Guru-guru Fatahillah

3.1  Anak-Anak Fatahillah

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Fatahillah terlahir dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Maulana Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur.

1.2 Riwayat Keluarga Fatahillah

Beliau mempunyai tiga orang istri diantaranya :
Tun Sirah binti Hang Tuah dan dikarunia putra:

  1. Maulana Abdullah

Ratu Mas Nyawa binti Sultan Trenggana dan di karunia putra :

  1. Kyai Mas Abdul Aziz

Ratu Winohan binti Raden Patah dan dikaruniai putra :

  1. Ratu Ayu Wanguran
  2. Ratu Wanawati Raras
  3. Ratu Nyawa
  4. Pangeran Agung
  5. Ratu Sewu
  6. Ratu Agung,

1.3 Nasab Fatahillah 

Menurut Saleh Danasasmita(seorang Sejarahwan Sunda), Fatahillah masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya, Barakat Zainal Alam, adalah adik dari Ali Nurul Alam (kakek Sunan Gunung Jati) dan adik dari Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat, India.

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib
  3. Al-Imam Al-Husain
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
  11. As-Sayyid Ubaidillah
  12. As-Sayyid Alwi
  13. As-Sayyid Muhammad
  14. As-Sayyid Alwi 
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih 
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Abdullah
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
  21. As-Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar/ Syekh Jumadil Kubro Zainul Alam Barokat
  22. As-Sayyid Barakat Zainul Alam
  23. As-Sayyid Abdul Ghofur
  24. As-Sayyid Mahdar Ibrahim
  25. Maulana Fathlullah 

1.4 Wafat

Fatahillah wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan dikomplek pemakaman Makam Sunan Gunung Jati terletak di Gunung Sembung masuk Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon.

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Fatahillah

Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Maulana Mahdar Ibrahim Patakan

2.1 Guru-guru Fatahillah

  1. Maulana Mahdar Ibrahim
  2. Sunan Kalijaga
  3. Sunan Gunung Jati

3  Penerus Fatahillah

3.1 Anak-anak Fatahillah

  1. Maulana Abdullah
  2. Kyai Mas Abdul Aziz
  3. Ratu Ayu Wanguran
  4. Ratu Wanawati Raras
  5. Ratu Nyawa
  6. Pangeran Agung
  7. Ratu Sewu
  8. Ratu Agung, 

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Fatahillah

Fatahillah, atau dalam ejaan Portugis disebut Faletehan tersebut, tercatat dalam buku berjudul “Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia)” karya João de Barros.Barros dalam laporan di bukunya tersebut, menyebutkan salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan Islam yang dipimpin Fatahillah. Seluruh laskar Portugis di kapal tersebut tewas terbunuh.

Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka.Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib). Kemampuan Fatahillah di bidang kemiliteran, hingga membuatnya menjadi panglima perang yang handal, tak lepas dari lingkungannya di Kesultanan Pasai. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, dia memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut.

Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka, sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni.Memasuki usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya, untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka, yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhillah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung.Dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigdayaannya, Fadhillah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka. Hal ini yang membuat kagum Laksamana Hang Tuah, pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka.

Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya Fadhillah dengan gelar “Laksamana Khoja Hasan”. Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan.Fadhillah mengabdi selama 15 tahun, tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai, untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah satu tahun mengundurkan diri, yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan.

Portugis memang berbeda dengan Belanda, tidak ingin ajaran Islam makin meluas. Mereka khawatir, melalui ajaran-ajaran Islam yang mulai banyak dianut, akan tumbuh semangat persatuan, antar kerajaan kecil, yang pada gilirannya akan berhimpun menjadi sebuah kekuatan besar. Untuk itu, tidak ada sebuah celah sedikitpun yang disisakan Portugis bagi upaya meluasnya hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Demikian pula terhadap kedatangan tokoh agama, seperti tokoh ulama muda Fadhilah Khan. Namun niat, tekad, dan semangat pemuda ini untuk mensyiarkan agama Islam, tidak mengendur sedikitpun. Sebelum berangkat ke Mekah, ia sudah tahu jalinan hubungan baik antar kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Demak di Jawa. Ia berpikir, kelak jika tidak bisa masuk ke tanah kelahirannya usai menuntut ilmu di Mekah, ia bertekad menuju Demak. Pada masa itu hanya ada tiga kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, yaitu Demak, Banten, dan Cirebon, di wilayah Utara Jawa Barat.Dari pengungsiannya ini Sultan Mahmud Syah meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.Dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak, ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.

Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa.Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai, maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju.

Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya, dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan.Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki, guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.

Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka, karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai.Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka, maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang, kemudian diteruskan ke Cirebon, guna menjumpai pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati. Tanpa banyak rintangan, Fatahillah berhasil menyusup ke Cirebon. Saat itu syiar Islam sudah cukup marak di daerah ini. Berkat kehadiran Sunan Gunung Jati dan Syekh Siti Jenar kehadiran Fatahillah tentu saja menambah semangat perjuangan. Bersama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia mensyiarkan agama Islam di tanah Sunda ini, bahkan ia sempat menjadi warga kehormatan di kerajaan Cirebon.

Cukup lama pemuda Aceh ini menetap di Cirebon. Ia menikah dengan Ratu Ayu, anak pasangan Syarif Hidayatullah dan Nyai Kawunganten asal Banten. Istri Fatahillah kemudian dikenal dengan nama Putri Wulung Ayu.Setelah cukup lama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat bersama sang mertua, niat utama Fatahillah untuk menuju Demak akhirnya tercapai juga. Itu dimungkinkan karena Kharisma dirinya yang telah lebih dulu masuk ke Demak.

Sultan Trenggana yang memimpin kerajaan Demak, sangat senang atas kehadiran Fatahillah. Ia merasa memperoleh petujuk dari Allah SWT tentang figur yang cocok untuk memimpin serangan  ke Sunda Kelapa, kota pelabuhan terpenting bagi kerajaan Hindu, Pajajaran (Bogor). Munculnya Fatahillah dapat memperkuat jajaran pertahanan Islam di wilayahnya sehingga Demak dapat menyerang Sunda Kelapa bersama sisa pasukan Pangeran Laut.

Dalam waktu singkat, Fatahillah mulai dikenal masyarakat sebagai ulama muda yang berpengaruh dengan pikiran yang cemerlang. Sultan Trenggana memperlakukannya seperti saudara kandung, bukti kasih dan sayang Sultan Demak ini diwujudkan dengan menikahkan Fatahillah dengan adik perempuannya, putri Pamboya atau Ratu Ayu Pembayun. Sultan Trenggana tahu, Fatahillah telah mempunyai isteri di Cirebon, tapi perkawinan Fatahillah dengan adiknya itu tidak akan memperkeruh suasana, bahkan akan memperkuat hubungan keislaman dan jalinan persaudaraan dengan Cirebon. Sang mertua, Sunan Gunung Jati malah merestui pernikahan itu.

Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro, bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus.Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 ribu prajurit gabungan tiga kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was.Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka, tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama.Maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran.Secara kebetulan pula, ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa, yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam.

Sultan Trenggana memberikan persetujuan terhadap rencana Fatahillah untuk mengusir Portugis yang bercokol di tanah Sunda atau Sunda Kelapa. Tapi sebelumnya ia akan mensyiarkan Islam di Banten dan menselaraskan pandangan dengan adik iparnya, Sultan Hasanuddin atau Pangeran Sabakingking, yang memerintah Banten. Bagi Fatahillah penyelarasan pandangan dengan kesultanan Banten itu sangat penting. Sebab ia khawatir, Banten akan jalan sendiri menyerang Portugis.

Kehadiran Armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Portugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam.Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa, yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. 

Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja.Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil. Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis, dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527.

Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT.

Fatahillah kemudian mengganti nama Bandar kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kejayaan dan kesejahteraan, atau kemenangan yang sempurna. Kebetulan para pelaut bangsa Eropa sering menyebut Bandar ini dengan Yacarta, dan penduduk setempat menyebutnya dengan Jakarta. Namun pengamat sejarah Prof. DR. Ayatrohaedi, nama Jakarta adalah pilihan Sunan Gunung Jati, penguasa Caruban (Cirebon) sebagai atasan Fatahillah, yang menjadi panglima pasukan gabungan itu.

Sejak saat itu, berakhirlah masa Sunda Kelapa, dan mulailah masa Jayakarta yang berlangsung hampir satu abad (1527-1619). Fadhilah Khan diangkat sebagai penguasa Jayakarta yang pertama dengan gelar Adipati sampai ia meninggal pada tahun 1570. setelah itu jabatan Adipati Jayakarta dipegang oleh Ki Bagus Angke (1570-1596). Pangeran Jayakarta Wijayakrama (1596-1619). Pada tahun 1619, VOC membumihanguskan Jayakarta, dan di atas puingnya didirikan kota baru yang mula-mula bernama Nieeuw Hoors, kemudian diganti menjadi Batavia.

Pada masa pemerintahan Fatahillah itulah, pelabuhan Sunda Kelapa mampu menyaingi kejayaan pelabuhan Malaka yang lebih dulu menjadi pelabuhan perantara bagi perdagangan dunia. Posisi Sunda Kelapa semakin penting dan ramai sehingga hasil bumi Pejajaran bisa lebih cepat diangkut ke Sunda Kelapa sebagai komuditas yang siap jual. Pasalnya Fatahillah mampu membuat jalan tembus dengan membuka rawa-rawa di daerah Bogor sekarang. Ia juga menghapus tindakan monopoli perdagangan. Semua pedagang dari semua bangsa bebas berniaga langsung dari tangan pertama, yaitu para pedagang bumiputra yang mendapat bantuan dari penguasa asal Demak itu. Banten dan Cirebon pun berubah menjadi Bandar Metropolitan, sementara Jayakarta segera dijadikan daerah utama dalam koordinasi Demak. 

Fatahillah juga meningkatkan hubungan dengan Kesultanan Banten, seperti halnya dengan Cirebon dan Demak. Eratnya hubungan itu hingga sampai pada pengganti Sultan Maulana Hasanuddin, yaitu Sultan maulana Yusuf, putra Sultan Maulana Hasanuddin.Fatahillah berhasil memperluas wilayahnya sampai Grogol dan Slipi di Jakarta Barat. Wilayah Pulo Gadung sampai Jatinegara di Jakarta Timur Sekarang. Wilayah Pasar Minggu, Depok hingga Bogor diluar Jakarta Selatan, serta wilayah Cilincing di wilayah Jakarta Utara.

Dalam masalah birokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan Adipati sebagai penguasa yang memperoleh otonomi dari Demak. Dengan otonomi yang sangat luas itu termasuk dengan hal yang berkenaan dengan transaksi perniagaan dan pengembangan kota.Fatahillah membangun masjid yang cukup besar di Muara Sungai Ciliwung, yang dikenal dengan masjid Luar Batang, sebagai tempat berkumpulnya para ulama yang sebelumnya datang ke masjid agung para wali di Demak.

Fatahillah memperkuat tahta dengan bersama empat Pangeran pembantu setianya, Pangeran Wijayakrama, dan Arya Adikara asal Banten, Wijaya Kusuma asal Demak, serta Pangeran Zakaria. Arya Adikara adalah putra Wijayakrama yang sebelumnya bernama Kawis Adimarta. Sedang Wijayakrama adalah putra Ki Tubagus Angke yang pernah mempin serangan Sunda Kelapa.Keempat pangeran itu sengaja diberi julukan yang sama dengan julukan Fatahillah, yaitu Pangeran Jayakarta, untuk mengelabui Belanda. Fatahillah mempercayakan kepada keempat Pangeran yang dikepalai oleh Pangeran Zakaria untuk mengatur kekuasaan berikutnya di Jayakarta sebelum akhirnya ia sendiri menghilang entah kemana.

Fatahillah juga merahasiakan pengangkatan keempat Pangeran ini, agar perjuangannya melawan penjajah bisa terus bergema. Rahasia itu berhasil dijaga para pengikut setianya untuk waktu yang cukup lama, sehingga banyak pihak terkecoh dan kecewa. Belanda menduga, Pangeran Jayakarta tetap hidup dan menjadi bayangan yang sangat menakutkan. Berita-berita kematian Pangeran Jayakarta tidak dipercaya.Di kalangan rakyat, kematian Fatahillah tetap menjadi sesuatu yang misterius hingga terjadi serangan Belanda. Sampai saat ini rakyat hanya mengenal satu makam Fatahillah alias Pangeran Jayakarta, yaitu di bilangan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Namun sebagian ahli sejarah menyatakan, makam itu bukan makam Fatahillah, melainkan makam Pangeran Zakaria.

Pada 1620, sebelum kejayaannya berakhir, Pangeran Zakaria membangun sebuah masjid di kawasan yang sekarang ini disebut Jatinegara Kaum. Masjid yang awalnya seluas 100 meter persegi itu merupakan tempat pertahanan Pangeran Jayakarta. Kepada keluarganya ia minta agar merahasiakan keberadaannya. Tempat itu menjadi komunitas untuk menyiarkan agama Islam, termasuk warga Jatinegara Kaum.Pembukaan kawasan itu terjadi pada 1619 ketika Jayakarta jatuh ke tangan Belanda. Pangeran Jayakarta bersembunyi di area hutan Jati dan menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Demikian pentingnya tempat persembunyian ini, sampai-sampai penduduk Jatinegara Kaum dilarang menikah dengan orang di luar komunitas tersebut, sehingga kekeluargaan yang kental. Dan masjid yang semula tak bernama itu kemudian dikenal sebagai masjid Pangeran Jayakarta atau masjid Jatinegara Kaum.

Di komplek masjid yang sekarang luasnya 7.000 meter itu dimakamkan lima petinggi, yakni Pangeran Ahmad Djakerta, Lahut Djakerta, Soeria bin Pangeran Padmanegara, serta suami istri Ratu Rupiah putri dan Pangeran Sageri. Selebihnya adalah makam keluarga beserta kerabat yang masih keturunan Pangeran Jayakarta.

5   Keteladanan Fatahillah

Jayakarta yang kini lebih dikenal dengan Jakarta, selalu melekat dengan kisah sejarah Fatahillah. Ulama besar penyebar Islam, dan panglima perang ini, dengan gagah berani memimpin penaklukkan Sunda Kelapa pada tahun 1527, dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.

Kisah keberanian dan kedigdayaan Fatahillah, atau dalam ejaan Portugis disebut Faletehan tersebut, tercatat dalam buku berjudul “Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia)” karya João de Barros.Barros dalam laporan di bukunya tersebut, menyebutkan salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan Islam yang dipimpin Fatahillah. Seluruh laskar Portugis di kapal tersebut tewas terbunuh.

Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka.Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur.Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib). 

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
  6. Suroyo,  A.M.  Djuliati,  dkk.  1995.  Penelitian  Lokasi  Bekas  Kraton  Demak.Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
  7. Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
  8. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  9. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

https://www.laduni.id/post/read/517021/biografi-fatahillah-pendiri-kota-jakarta.html