Dakwah Wali Songo memberi dampak yang luar biasa terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Islamisasi Nusantara yang dapat dibilang berjalan lamban selama ratusan tahun, dengan pendekatan dakwah Wali Songo berjalan semakin masif. Usaha yang dilakukan oleh Wali Songo efektif membuat Islam mudah diterima dan dapat mempribumi dalam masyarakat Nusantara.
Wali Songo menyebarkan Islam dengan berkelana dari dusun ke dusun. Mereka mendatangi masyarakat Nusantara, dan mengenalkan Islam dengan cara yang ramah. M. Abdul Karim dalam Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam menjelaskan sikap dakwah Wali Songo, “Dalam pergaulan hidup mereka menampakkan sikap sederhana, dengan tutur kata yang baik, dan sikap yang sopan, sesuai dengan tuntutan al-akhlaq al-karimah, jujur, suka menolong, terutama ikut memberikan pengobatan-pengobatan terhadap orang sakit, suka menolong orang yang ditimpa kecelakaan (kesulitan) tanpa pamrih….”
Sikap Wali Songo di tengah masyarakat Nusantara, yang kala itu masih belum menerima Islam, menjadi satu daya tarik Islam sebagai agama rahmat untuk seluruh alam. Sehingga, non-Muslim Nusantara kala itu tertarik dan memutuskan untuk menerima Islam. Jadi, Wali Songo tidak menyebarkan Islam dengan senjata (ancaman), melainkan mengenalkan Islam dengan bijak dan penuh hikmah.
Dakwah Wali Songo dengan pendekatan yang ramah, misalnya terlihat jelas dari sikap Sunan Drajat. Anak Sunan Ampel ini belajar agama dari ayahnya dan dari Sunan Gunung Jati. Berbekal kapisitas keilmuan Islam yang mumpuni dan pemahaman dakwah yang matang, Sunan Drajat menyebarkan Islam pada masyarakat Nusantara khususnya Jawa dengan hikmah. Dia mendirikan surau, dan mengajarkan Islam kepada masyarakat Nusantara.
Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menjelaskan, “Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memerhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat.”
Akhlak Sunan Drajat menjadi media dakwah yang memikat masyarakat Nusantara. Dia tidak hanya mengenalkan Islam dengan kata-kata, namun juga lewat perbuatan yang menjadi cerminan Islam sebagai agama rahmat.
Dalam menyebarkan Islam, Sunan Drajat merumuskan ajaran sederhana disebut Pepali Pitu (Tujuh Dasar Ajaran) yang menjadi prinsip dalam kehidupan. Agus Sunyoto menjelaskan ketujuh dasar ajaran tersebut adalah:
1) Memangun resep tyasing sasama (kita selalu membuat senang hati orang lain/sesama), 2) Jroning suka kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada), 3) Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan), 4) Meper hardaning pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu inderawi), 5) Heneng-hening-henung (dalam diam akan dicapai keheningan, dan dalam hening akan mencapai jalan kebebasan mulia), 6) Mulya guna panca waktu (pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan menjalani shalat lima waktu), dan 7) Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busana marang wong kang wuda, menehono pangiyup marang wong kang kaudanan (berikan tongkat kepada orang buta, berikan makan kepada orang yang lapar, berikan pakaian kepada orang yang tidak memiliki pakaian, berikan tempat berteduh kepada orang yang kehujanan).
Upaya Sunan Drajat merumuskan ajaran Islam sederhana dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat Nusantara, yang kala itu masih sebagai masyarakat mualaf, membuat Islam mudah dipahami dan diamalkan. Sehingga, semakin banyak orang yang menerima Islam, dan Islam semakin mempribumi di Nusantara.
Selain mendakwahkan Islam dengan cara yang ramah, dakwah Wali Songo juga dilakukan dengan mempribumikan Islam kepada masyarakat Nusantara. Ini sejalan dengan pandangan M. Abdul Karim bahwa, “…Islam yang hadir di perairan Nusantara ini mampu dengan cepat beradaptasi sehingga tidak memunculkan benturan budaya dengan adat dan tradisi lokal yang sudah ada sebelumnya.”
Wali Songo mendakwahkan Islam dengan prinsip mempribumikan Islam bukan memaksakan Islam di Nusantara. Mereka terkenal sebagai penyebar Islam yang tidak menolak dengan frontal budaya lokal, namun justru memanfaatkannya sebagai media dakwah. Contohnya, Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga dan merupakan Wali Songo yang paling muda, diketahui berdakwah melalui jalur budaya.
Agus Sunyoto menjelaskan, “Dalam melakukan dakwah Islam, Sunan Muria memilih pendekatan sebagaimana dijalankan ayahandanya, Sunan Kalijaga. Tradisi keagamaan lama yang dianut masyarakat tidak dihilangkan, melainkan diberi warna Islam dan dikembangkan menjadi tradisi keagamaan baru yang khas Islam. Demikianlah tradisi bancakan dengan tumpeng yang biasa dipersembahkan ke tempat-tempat angker diubah menjadi kenduri, yaitu upacara mengirim doa kepada leluhur dengan menggunakan doa-doa Islam di rumah orang yang menyelenggarakan kenduri.”
Upaya dakwah Wali Songo untuk mempribumikan Islam membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat kala itu. Sehingga, Islam berkembang dengan baik di Nusantara.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara, 2017.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo. Tangerang: Pustaka IIMaN, 2017.