Biografi Jaka Tingkir (Mas Karebet ) Pendiri Kesultanan Pajang

1.1  Masa Kecil Mas Karebet
1.2  Riwayat Keluarga Jaka Tingkir
1.3  Nasab Jaka Tingkir
1.4  Wafat

2.1  Guru-guru Jaka Tingkir

3.1  Anak-Anak Jaka Tingkir

4.1  Masa Kecil Mas Karebet
4.2  Perjalanan Menuntut Ilmu di Kyai Ageng Selo
4.3  Mendapat Perintah Dari Sunan Kalijaga
4.4  Pertemuan Dengan Sultan Trenggono
4.5  Diangkat Menjadi Lurah Prajurit Pengawal Sultan Demak Bintoro
4.6  Jaka Tingkir Diusir dari Demak
4.7  Perjalanan Ke Pengging
4.8  Pertemuan Dengan Kyai Ageng Banyu Biru
4.9  Pertemuan Dengan Arya Bahureksa
4.10  Pindahnya Wahyu Keprabhon
4.11  Pertemuan Dengan Kebo Andanu
4.12  Peristiwa di Pegunungan Prawata
4.13  Pelantikan Menjadi Adipati Pajang
4.14  Diangkat Menjadi Sultan Demak ke V

6.     Chart Silsilah Sanad

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Jaka Tingkir lahir sekitar tahun 1520 an, beliau adalah putra Kyai Ageng Pengging dan Nyai Ageng Pengging adik dari Kyai Ageng Tingkir. Beliau terlahir dengan Nama Mas Karebet

1.2 Riwayat Keluarga Jaka Tingkir

Dari pernikahan dengan Putri Sultan Trenggono dikarunia putra :

  1. Pangeran Benowo
  2. Putri yang menikah dengan P. Arya Pangiri Putra Sunan Prawoto
  3. Putri yang menikah dengan Adipati Tuban
  4. Putri Sekar Kedaton

1.3 Nasab Jaka Tingkir 

Jika diambil dari garis keturunan Kakek beliau adalah cicit dari Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi dengan silsilah sebagai berikut :

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
  2. Ratu Pembayun istri Pangeran Handayaningrat
  3. Kyai Ageng Pengging atau Raden Kebo Kenanga
  4. Jaka Tingkir atau Mas Karebet

1.4 Wafat

Jaka Tingkir di perkirakan  meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Beliau dimakamkan di desa Butuh, Gedongan, Plupuh, Dusun II, Gedongan, Kec. Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Jaka Tingkir

2.1 Guru-guru Jaka Tingkir

  1. Kyai Ageng Sela
  2. Sunan Kalijaga
  3. Kyai Ageng Banyu Biru
  4. Kyai Ageng Butuh

3  Penerus Jaka Tingkir

3.1 Anak-anak Jaka Tingkir 

  1. Pangeran Benowo
  2. Putri yang menikah dengan P. Arya Pangiri Putra Sunan Prawoto
  3. Putri yang menikah dengan Adipati Tuban
  4. Putri Sekar Kedaton

4. Perjalanan Hidup Jaka Tingkir

4.1 Masa Kecil Mas Karebet

Mas Karebet adalah putra tunggal Kyai Ageng Pengging sejak kecil beliau telah  menjadi yatim piatu. Sang jabang bayi Mas Karebet kemudian diasuh Para Sentana Pengging, sampai umur sepuluh tahun. Dari kecil beliau sangat menyukai pertunjukan wayang. Kemudian Mas Karebet dibawa ke daerah Tingkir untuk di asuh oleh janda Nyai Ageng Tingkir.Dengan tidak melupakan kesenangannya: melihat wayang, berburu, bercocok tanam dan menyepi ke tempat-tempat keramat untuk bersemedi. Setelah tumbuh dewasa. Nyai Ageng Tingkir selalu dibuat was-was dengan tingkah laku keponakannya ini. Mas Karebet gemar pergi ke tengah hutan belantara. Hal ini dilakukannya berhari-hari tanpa pulang. Pulang-pulang cuma sebentar, lantas pergi lagi. Nyai Ageng Tingkir, sebagai seorang janda bekas Adipati, hidup berkecukupan dari hasil bertani. Nyai Ageng Tingkir tidak memiliki putra. Karena itu Mas Karebet, keponakannya  sangat beliau sayangi. 

Namun, kegemaran Mas Karebet yang sangat suka bepergian dari rumah dan sering memasuki hutan belantara, sangat-sangat mencemaskan Nyai Ageng Tingkir. Manakala Mas Karebet pulang, berkali-kali Nyai Ageng Tingkir mengutarakan kecemasannya. Namun setiap kali pula Mas Karebet menjawab : “Ibu, jangan khawatir. Di hutan saya banyak memiliki banyak teman pertapa. Saya ke hutan tidak hanya sekedar bermain-main, tapi ngangsu kawruh (menimba ilmu) dari beliau-beliau.”
Walau begitu, Nyai Ageng tetap saja mencemaskan keselamatan putra keponakannya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri. Kesabaran Nyai Ageng Tingkir benar-benar habis.Atas penolakan nasehatnya terhadap kegemaran dan kebiasaan Mas Karebet, hingga kemudian Nyai Ageng memberi nasehat kepadanya, untuk berguru ke Kyai Ageng Selo yang masih terhitung keluarga Nyai Ageng.

4.2 Perjalanan Menuntut Ilmu di Kyai Ageng Selo

Kyai Ageng Selo adalah putera tertua dari Kyai Ageng Getas Pandawa, , yang kelak dari keturunannya lewat Kyai Ageng Enis, melahirkan Raden Bagus Kacung (Kyai Ageng Pemanahan), karena pengabdiannya di Pajang, mendapatkan hadiah tanah perdikan di bumi Mataram,  atau lebih dikenal dengan nama Kyai Ageng Mataram. Pada waktu itu tidak ada sekolah formal, yang ada hanyalah guru yang mengajarkan Silat, seni bela diri tradisional, Agama Islam, dan ilmu spiritualisme dan mistik. Ki Ageng Sela adalah guru yang terkenal sakti. Rumor mengatakan bahwa beliau pernah menangkap kilat dari langit yang akan menghantam mesjid Agung Demak.

Berangkatlah beliau untuk menuntut ilmu di Giripurwa tempat kediaman Kyai Ageng Selo. Jaka Tingkir menghadap Ki Ageng Sela. “Engkau dapat belajar dari saya tentang ilmu apapun, selamat datang, tetapi dengan satu syarat, apakah kamu setuju?” kata Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela mempunyai kekuatan supernatural oleh karenanya dia dapat membaca keadaan masa depan demikian pula dengan masa depan dari Jaka Tingkir. “Saya titipkan anak dan cucu saya kepadamu, bawalah dia didalam kesenangan maupun kesusahan, jangan tinggalkan mereka.” kata Ki Ageng Sela. “Saya akan melaksanakan  pesan Guru semampu saya,” kata Jaka Tingkir. “Saya percaya kepadamu. Jika saya tidak salah melihat, maka kamu diramalkan nantinya akan mendapat karunia dari Tuhan berupa kedudukan yang baik dimasyarakat. Oleh sebab itu kamu harus selalu dekat dengan Tuhan dan menjalankan perintahNya”. Mas Karebet diterima dengan tangan terbuka apalagi setelah mengetahui bahwa Mas Karebet adalah Putra Tunggal Kyai Ageng Pengging yang terhitung masih saudara  tua dari Kyai Ageng Selo.

Disana diajari tentang ilmu Kanuragan, Ilmu Kesaktian dan Ilmu Kebathinan. Selain belajar tentang ilmu Kanuragan disana juga membantu pekerjaan di ladang, bahkan kebiasaan sebelumnya masih terus di lakukan, bahkan sudah mahir menjadi dalang. Di samping pemberian ilmu yang berguna untuk menjadi negarawan maupun olah keprajuritan Kyai Ageng Selo Juga Mengajarkan tentang Ilmu Olah Kebathinan untuk meningkatkan Kewaspadaan diri dan Kewibawaan Mas Karebet. Jaka Tingkir adalah murid yang cerdas dan rajin, semua ilmu dipelajari dengan baik, maka Guru menjadi senang sehingga Jaka diangkat menjadi anaknya.

Pada suatu malam Ki Ageng Sela bermimpi akan membabat hutan untuk membuat ladang; sewaktu dia datang ke hutan dia melihat Jaka Tingkir sudah ada disitu bahkan sudah menebang semua pohon disitu; kemudian dia terbangun. Dia berpikir tentang mimpinya, apakah arti mimpi ini. Kata orang mimpi membersihkan hutan berarti akan menjadi raja; kalau begitu Jaka Tingkir akan menjadi raja suatu waktu. Ki Ageng Sela sebagai keturunan ningrat Majapahit selalu berdoa memohon kepada Tuhan, agar keturunannya kelak dapat menjadi raja suatu saat nanti; dia berdoa agar harapannya dapat terkabul.
“Jaka pernahkah engkau bermimpi yang menurut kamu mimpi itu aneh?, tanya Ki Ageng Sela. “Pernah guru, saya bermimpi bulan jatuh dipangkuan saya, itu terjadi sewaktu saya bertapa di gunung Talamaya. Dan sewaktu saya bangun, saya mendengar suara dentuman yang berasal dari puncak gunung itu.” kata Jaka Tingkir. “Anakku, itu adalah mimpi yang bagus sekali. Untuk membuka tabir mimpi itu maka sebaiknya kamu pergi ke Demak dan menjadi abdi disana guna merebut posisi yang baik dilingkungan Istana, saya akan berdoa untuk kesuksesan kamu” kata Ki Ageng Sela. 

4.3 Mendapat Perintah Dari Sunan Kalijaga

Mendengar nasehat Kyai Ageng Selo, Mas Karebet kemudian pulang, untuk menceritakan nasehat itu kepada Nyai Ageng Tingkir, yang diterima dengan segala senang hati. Secara kebetulan Nyai Ageng Tingkir mempunyai saudara di Demak, Lurah Ganjur (Kyai Gadamustaka) akan tetapi untuk sementara waktu diminta untuk menetap dulu di Tingkir. Nyai Ageng mengutus dua orang pembantu untuk terus mengawasi Mas Karebet. Mas Karebet diperintahkan Nyai Ageng untuk ikut bekerja bersama pembantu-pembantu yang lain disawah. Setiap hari, kini Mas Karebet bekerja disawah bersama pembantu-pembantu yang lain. Pada suatu ketika, manakala Mas Karebet tengah melepas lelah disebuah gubug diareal pesawahan, tanpa sengaja Mas Karebet melihat seseorang berpakaian hitam-hitam dengan membawa tongkat tengah berjalan ditengah pematang pesawahan. Orang itu kelihatan sudah sangat sepuh. Namun masih terlihat tegap saat melangkah. 

Dia sendirian. Berjalan pelahan ditengah sengatan terik mentari. Pematang yang membujur membelah areal pesawahan dan pada ujungnya akan melewati gubug dimana Mas Karebet melepas lelah itu dititinya pelahan. Mata Mas Karebet tak lepas-lepas memperhatikan orang tersebut. Mas Karebet-pun tengah sendirian. Para pembantu yang lain, masih tampak sibuk bekerja. Dan anehnya, mereka semua seolah tidak melihat adanya orang tua berpakaian hitam-hitam yang tengah berjalan dipematang sawah ini. Dan, begitu sosok tua ini sedemikian dekatnya dengan Mas Karebet, mendadak dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Mas Karebat sambil tersenyum. Wajahnya luar biasa cerah. Mas Karebet tertegun…

“Ngger, Aneng kene dede pakaryanira. Ananging sejatine, pakaryanira aneng Keraton Demak. Wis, ngger, pamita marang ibunira, mangkata suwita marang Kanjeng Sultan Demak. Weruha, ngger. Sira iku bebakale Ratu Tanah Jawa.”
(Anakku, disini bukanlah tempatmu bekerja. Akan tetapi sesungguhnya, pekerjaanmu ada di Keraton Demak. Sudahlah anakku, mohon ijinlah kepada ibumu, berangkatlah mengabdi kepada Kanjeng Sultan Demak. Ketahuilah anakku, kamu adalah calon Raja Tanah Jawa.)

Mas Karebet tersentak. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Dan orang tua itu segera berlalu. Mata Mas Karebet tak lekang-lekang mengikuti kepergian sosok misterius tersebut. Otaknya berputar, mencerna kata-kata yang barusan didengarnya.Dan hanya sekejap Mas Karebet melepaskan pandangan matanya pada sosok misterius tersebut, dia sejenak menunduk, mengingat kata-kata orang tua tadi, sedetik kemudian dia menoleh mencoba kembali mengamati sosok aneh yang barus saja berlalu. Tapi aneh. Sosok itu sudah tidak ada. Padahal pematang sawah itu masih panjang jaraknya dari jalan desa. Mas Karebet tercengang. Sontak dia bangkit mencari-cari kemana orang tadi berjalan. Tidak ada. Orang berpakaian hitam-hitam itu benar-benar raib. Hilang begitu saja. Mas Karebet kelimpungan. Masih terngiang kata-kata orang misterius barusan. Segera Mas Karebet memutuskan untuk pulang kerumah, melaporkan kejadian tersebut kepada ibunya, Nyai Ageng Tingkir.

Mendapati cerita Mas Karebet, Nyai Ageng Tingkir mengernyitkan kening dan bertanya :
“Ngger, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?”

Mas Karebet menjawab :
“Angagem sarwa wulung. Busana wulung, iket wulung.”
(Mengenakan pakaian serba hitam. Berjubah hitam dan berikat kepala hitam)

Nyai Ageng Tingkir memekik kaget :
“Itu Kanjeng Sunan Kalijaga. Sudah, ngger, berangkatlah ke Demak. Aku mempunyai seorang kakak kandung yang menjabat sebagai Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana), namanya Kyai Ganjur. Sudahlah, aku kirim kamu kesana. Ikutlah pamanmu di Demak Bintara.”

Nyai Ageng Tingkir begitu gembira. Secepatnya dia mempersiapkan keberangkatan Mas Karebet ke Demak Bintara. Dua orang pembantu diutus mengiringi keberangkatan putra kesayangannya tersebut. Keesokan harinya, diantar dua orang pembantu berangkat ke ibu kota Demak. Di Demak, ketiganya langsung menuju kediaman Kyai Ganjur, Lurah Kaum. Setelah menitipkan Mas Karebet, dua orang pembantu tersebut mohon ijin pulang kembali ke Tingkir. 
Kyai Ganjur tahu siapa Mas Karebet. Sosok pemuda trah Pengging satu-satunya. Trah pewaris tahta Majapahit yang sesungguhnya. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Kyai Ganjur, karena dia melihat masa depannya sangat cerah dikemudian hari. Lantas dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir oleh orang-orang di lingkungan Kauman. Jaka Tingkir berarti seorang perjaka dari Tingkir. Tugasnya setiap hari hanyalah membersihkan areal masjid Demak. Beliau  melakukan tugas tersebut dengan sepenuh hati. 

4.4 Pertemuan Dengan Sultan Trenggono

Pagi-pagi sekali Ki Lurah beserta stafnya dan juga Jaka sudah berangkat ke Mesjid untuk bekerja membersihkan Mesjid dan halamannya. Disebabkan Jaka terlalu tekun dengan pekerjaannya, dia tidak melihat atau menyadari kalau Sultan dan rombongannya sudah dekat akan memalui tempatnya. Jika dia pergi begitu saja maka dia akan membelakangi Sultan. Tetapi jika dia diam ditempat itu, tentu dia akan dilanggar oleh Sultan beserta rombongannya. Tempat dia sedang bekerja adalah diantara dua kolam yang tempatnya sempit, tempat lalu Sultan. Tiba-tiba dia melompat melewati kolam. Itu adalah salah satu pelajaran silat yang diajarkan oleh Ki Ageng Sela.
 Sultan dan rombongan sangat terkejut begitu juga Ki Lurah Ganjur. Sultan mendekati Lurah Ganjur dan memberi tanda agar anak muda tadi untuk datang menemuinya sesudah sembahyang Jumat Ki Lurah Ganjur pucat mukanya,” hukuman apa yang akan dijatuhkan Sultan kepada Jaka Tingkir?” 

“Tingkir tindakanmu tadi adalah melanggar kesopanan. Sultan berkenan menemuimu nanti setelah sembahyang Jumat, saya harapkan Sultan tidak akan memberimu hukuman,” kata Ki Lurah Ganjur. “Saya minta maaf paman; saya tidak menyadari kalau Sultan dan rombongan tiba-tiba sudah ada di depan saya,” kata Jaka Tingkir. “Apa yang harus saya katakan kepada ibumu, Nyonya Tingkir, jika Sultan memberikan hukuman,” kata pamannya. “Akankah dia memberi hukuman?, saya hanya melompati kolam, kemudian dihukum karena tindakan itu?,” kata Jaka “Dengan berbuat seperti itu kamu telah pamer kepandaian silatmu. 
Kamu tahu bahwa Demak ini adalah gudangnya para pendekar,” kata pamannya. Tidak berapa lama kemudian Sultan beserta rombongan sudah keluar dari mesjid dan menemuinya. Jaka Tingkir  mendatangi Sultan Demak dengan posisi bersila dan kedua tangan tercakup didepan wajah. Sesaat Sultan Trenggana mengamati sosok pemuda yang bersila didepannya. Tampan dan gagah. Bukan keturunan rakyat biasa. Sultan Trenggana terus mengamati sosok pemuda itu, lantas dia bertanya :
“ Kamu siapa? Tidak tahukah sopan santun seorang kawula apabila Gusti-nya datang?”
Jaka Tingkir menjawab :
“Kasinggihan dhawuh, Kanjeng. Saya Jaka Tingkir, putra keponakan Kyai Ganjur. Mohon ampun atas ketidak sopanan hamba…”
Sultan Trenggana heran. Kata-kata Jaka Tingkir sangat tertata dan halus. Siapakah gerangan pemuda ini? Dalam hati Sultan Trenggana bertanya-tanya.
Mendadak seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Sultan Demak sambil menyembah dan bersila disamping Jaka Tingkir. Dia adalah Kyai Ganjur.
“Kasinggihan dhawuh, Kanjeng. Ini adalah putra keponakan saya yang baru datang dari desa. Mohon ampun atas kelancangannya. Tolong dimaklumi, karena dia masih bodoh dan belum menahami tata krama Keraton.”
Ternyata, Sultan tidak murka, malahan Sultan menanyakan siapakah pemuda yang kini tinggal di rumahnya itu. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Ki Ganjur. Kemudian menyampaikan siapa sesungguhnya Jaka Tingkir. Sultan Trenggana terkejut. Namun, Kyai Ganjur dapat meyakinkan Sultan, Sultan Demak-pun berkata : “Paman Ganjur, jika memang benar apa yang kamu katakan barusan, beranikah Jaka Tingkir aku uji kesaktiannya?”
Kyai Ganjur diam. Tapi tak ada jalan lain. “Jika memang Kanjeng Sultan berkehendak seperti itu, kami hanya bisa pasrah saja. Tapi beribu ampun, Kanjeng. Kalau boleh hamba tahu, Kanjeng hendak menguji anak saya Tingkir dengan cara bagaimana ?”
Kanjeng Sultan tersenyum : “Seperti halnya menguji calon pasukan pengawal Sultan. Yaitu diadu dengan seekor banteng. Beranikah?”
Kyai Ganjur menyetujui.

Dan pada hari yang telah ditentukan, di lapangan tempat pengujian para prajurit, dengan disaksikan oleh Sultan Demak sendiri, beserta beberapa pejabat dan para pasukan pengawal Sultan, Jaka Tingkir, siap diuji kesaktiannya. Jaka Tingkir yang telah banyak belajar ilmu bela diri, termasuk cara menggunakan berbagai senjata, cara berkuda dan ilmu-ilmu kanoragan dari para pertapa dan Kyai Ageng Selo.Kini semua yang telah dipelajarinya tersebut, harus ditunjukkan semaksimal mungkin. Karena hari ini adalah hari penentuan bagi masa depannya di kemudian hari.

Jaka Tingkir dengan gagahnya menaiki seekor kuda sembari membawa busur panah. Tegang dia menunggu bunyi gong tanda dilepaskannya banteng liar sebagai lawan tandingnya. Dari atas panggung, Kanjeng Sultan Trenggana mengangkat tangan kanannya, maka, gong dipukul oleh seorang prajurit khusus. Menyusul seekor banteng liar tiba-tiba masuk ke dalam areal lapangan. Jaka Tingkir memacu kudanya. Gemuruh suara para prajurit menambah semangatnya. Namun sesaat kemudian, banteng berubah semakin liar. Banteng menyerangnya. Jaka Tingkir sigap, kuda berputar indah menghindari serudukan banteng. Gemuruh suara prajurit terdengar melihat gerakan indah cara menghindar yang dipertunjukkan oleh Jaka Tingkir. Sultan Trenggana tersenyum . Jaka Tingkir melepaskan beberapa anak panah. Tidak terlihat kapan Jaka Tingkir mengambil anak panah dari pundaknya. Anak panah meluncur deras dan tepat mengenai tubuh banteng. Banteng terluka. Serudukannya agak goyah. Gemuruh prajurit riuh rendah melihat ketangkasan Jaka Tingkir yang mampu mengendarai kuda tanpa memegang tali kekang dan sekaligus melepaskan anak panah dengan fokus yang terarah.

Banteng mendengus. Semakin liar. Tiba-tiba, dari arah pinggir, muncul due ekor banteng lain. Keduanya langsung menyerangnya. Dengan sangat lincah Jaka Tingkir memacu kuda dan mengambil sebatang tombak yang tersedia di pinggir arena. Sekali lagi, Jaka Tingkir bangkit dari pelana kuda, tombak terarah pada salah satu banteng, kemudian dilemparkan tombak di tangannya kearah tubuh salah satu banteng. Tepat. Seekor banteng perutnya jebol terkena tombak. Jaka Tingkir berputar lagi menuju pinggiran arena, dia menyambar sebatang tombak lagi, seperti yang tadi, dilemparkan tombak kearah salah satu banteng yang lain. Sekali lagi, seekor banteng terkena bidikan tombaknya. Jaka Tingkir tidak membuang waktu, dengan tetap memacu kudanya, beberapa kali dilepaskannya anak panah. Bidikan anak panah tak ada yang meleset, mengarah satu persatu ke tubuh ketiga banteng yang kebingungan hendak menyeruduk.

 Namun dengan kecepatan yang luar biasa Jaka Tingkir menancapkan sebilah keris dileher banteng yang dinaikinya. Banteng roboh. Meregang nyawa. Seekor banteng yang lain mendekat. Jaka Tingkir lari menghindar. Tapi, bersamaan dengan itu, cepat keris ditangannya mengarah ke leher banteng yang menyeruduknya…Leher banteng terkoyak. Banteng lari kepinggir…dan roboh meregang nyawa. Gemuruh sorak sorai prajurit kembali terdengar. Tinggal seekor lagi. Sultan Trenggana terlihat bangkit dari duduknya. Dia nampak terpikat dengan ketangkasan Jaka Tingkir.
Sedangkan di arena, Jaka Tingkir berlari menghampiri kudanya. Kembali dia menaiki kuda.Tombak kembali dia raih. Dan tombak meluncur mengarah tubuh banteng. Telak. Banteng mendengus…dan roboh akibat telah banyak luka-luka ditubuhnya. Sorak-sorai lebih hebat membahana mengiringi kemenangan Jaka Tingkir. Dan Sultan Demak-pun puas.

4.5 Diangkat Menjadi Lurah Prajurit Pengawal Sultan Demak Bintoro

Jaka Tingkir diangkat sebagai Lurah Prajurit Pengawal Sultan Demak. Berhasil dengan gemilang melewati uji keprajuritan Pasukan Pengawal Sultan, nama Jaka Tingkir seketika dikenal dan merebak dikalangan istana. Identitas Jaka Tingkir sebagai putra Kyai Ageng Pengging-pun sudah banyak yang tahu. Banyak para pejabat Demak yang kagum pada ketangkasan Jaka Tingkir, namun disebagian pihak, bergulir pula sebuah kecemasan. Ada yang diam-diam menolak dan tidak puas atas keputusan tersebut, namun banyak pula yang bergembira mendengar keputusan Sultan. Dan masa depan Jaka Tingkir sudah nampak didepan mata. Kemampuan Jaka Tingkir kerap kali teruji. Sebagai Lurah Prajurit Pengawal Sultan, Jaka Tingkir mampu memberikan rasa aman bagi Sultan Trenggana. Pernah suatu ketika, manakala Sultan Trenggana tengah melakukan perburuan dihutan, Jaka Tingkir berhasil menyelamatkan Sultan Trenggana dari serangan gerombolan gerilyawan.

Jaka Tingkir mampu mengusir gerombolan gerilyawan tersebut tanpa pertempuran sama sekali. Pemimpin gerombolan mematuhi perintah Jaka Tingkir, sang putra Kyai Ageng Pengging, untuk tidak meneruskan penyerangannya. Begitu juga suatu ketika, saat Jaka Tingkir mengawal Sultan Trenggana yang tengah berkunjung ke wilayah bagian Demak melalui rute menyeberangi sebuah sungai, Jaka Tingkir mampu mengundurkan gerombolan gerilyawan pula yang tengah menyerang secara tiba-tiba rombongan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir mengundurkan mereka tanpa pertempuran sama sekali. Sultan Trenggana merasa sangat terlindungi dan aman dengan Jaka Tingkir yang berada disampingnya.

“Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, ketika Sultan Trenggana tengah berburu, Jaka Tingkir berhasil menangkap seekor harimau yang hendak mengganggu Sultan. Harimau tersebut ditaklukkan dan dipanggul oleh Jaka Tingkir. Ditunjukkan kepada Sultan Demak, lantas dilepaskannya. Dan dilain waktu, manakala Sultan Demak tengah mengadakan kunjungan ke wilayah bagian dengan melewati rute menyeberangi sebuah sungai, tiba-tiba muncul buaya yang besar. Jaka Tingkir terjun ke sungai, dia bergulat dengan buaya. Buaya berhasil ditangkap, diperlihatkan kepada Sultan Trenggana dan lantas dilepaskan”

Jaka Tingkir sangat dekat dengan Sultan Trenggana. Lebih dekat daripada pejabat-pejabat yang lain, seperti Sunan Kudus maupun Fatahillah, Sang Senopati Demak Bintara. Keselamatan Sultan benar-benar terjaga apabila Jaka Tingkir melakukan pengawalan. Seluruh laskar yang masih bergerilya, sangat menghormati dan menyegani putra Kyai Ageng Pengging tersebut. Apa yang disampaikan oleh Kyai Ganjur, terbukti sudah. Dan Sultan Trenggana semakin menyayangi Jaka Tingkir.

Pada suatu ketika, Sultan Trenggana mengeluarkan maklumat khusus, membuka kesempatan kepada pemuda-pemuda Demak untuk mengabdi sebagai Pasukan pengawal Sultan. Sultan Demak menghendaki jumlah personil pasukan pengawal ditambah dengan mengambil personil baru diluar personil angkatan perang yang sudah ada. Maklumat istimewa tersebut disambut antusias oleh seluruh pemuda-pemuda Demak. Banyak yang berdatangan ke ibu kota Demak. Mereka mengajukan diri untuk bersedia mengabdi sebagai anggota Pasukan pengawal Sultan.

Setiap pemuda harus melewati ujian-ujian yang tidak mudah. Banyak yang berhasil, tapi lebih banyak pula yang gagal. Jaka Tingkir mendapat tugas melakukan penyeleksian dan pengujian. Konon, seluruh pemuda yang berasal dari padepokan-padepokan di pelosok Tanah Jawa, banyak yang berdatangan. Dengan mengandalkan kesaktian yang telah mereka peroleh dari guru masing-masing, para pemuda ini mencoba peruntungannya di Demak Bintara.

4.6 Jaka Tingkir Diusir dari Demak

Proses pendaftaran calon pasukan pengawal Sultan terus berlanjut. Suatu ketika, datang seorang pemuda berperawakan tinggi besar dengan janggut ditumbuhi bulu lebat. Dia mengaku bernama Dhadhung Awuk. Dia  adalah pemuda yang terkenal sakti mandraguna. Beberapa anggota pasukan pengawal memberikan informasi kepada Jaka Tingkir bahwa Dhadhung Awuk pernah dicurigai terlibat pemberontakan Raden Suryawiyata. Saat mendaftar, Dhadhung Awuk sesumbar bahwa dirinya gatal ingin menghancurkan laskar-laskar yang masih banyak melakukan perang gerilya. Dia ingin mengadu kesaktian dengan mereka. Kalau sehari tidak memukuli orang, tangannya terasa gatal.

Mendapat laporan seperti itu, diam-diam Jaka Tingkir marah. Sontak dia datang sendiri ketempat pendaftaran. Melihat kehadiran Jaka Tingkir, beberapa pasukan memberikan tempat.Jaka Tingkir memberi isyarat kepada seorang anak buahnya untuk mendekat. Jaka Tingkir membisikkan sesuatu, lantas, prajurit tersebut memerintahkan seluruh yang hadir menepi untuk memberi ruang lebar…
Tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi… Dan semua orang tahu apa yang bakalan terjadi ketika Jaka Tingkir berkata kepada Dhadhung Awuk :
“Jika memang itu maumu, mari kita buktikan bersama siapa yang lebih sakti. Aku akan mencoba kesaktianmu dengan sadak ini.”
Saat itu Jaka Tingkir tengah memegang ‘sadak’. ( Sadak adalah alat penumbuk buah pinang, dimana hasil tumbukan tersebut dipakai sebagai bahan campuran untuk mengunyah sirih. )

Dan Dhadhung Awuk menjerit keras manakala sadak ditangan Jaka Tingkir menancap dalam tepat dijantungnya. Darah muncrat dari sana. Dhadhung Awuk menggeram. Tikaman Jaka Tingkir tepat mengenai organ vital. Tubuh Dhadhung Awuk bergetar hebat. Sedetik kemudian jatuh terduduk, lantas roboh menelungkup. Dhadhung Awuk tewas seketika. Gegerlah seluruh yang hadir. Kejadian tersebut dilihat oleh beberapa pejabat yang kebetulan hadir ditempat tersebut. Mereka lantas menghadap Sultan Trenggana, melaporkan kejadian terbunuhnya seorang calon pasukan pengawal Sultan ditangan Jaka Tingkir. Sultan Trenggana murka. Beliau seketika itu juga memerintahkan Jaka Tingkir untuk menghadap.

Pada hari itu, Sultan Demak melepas jabatannya sebagai Lurah Prajurit Pengawal Sultan. Bahkan, diusir dari lingkungan istana Demak. Jaka Tingkir yang memang merasa bersalah, menerima keputusan tersebut. Namun diam-diam, dengan diusirnya dari istana, Nimas Sekar Kedhaton atau Ratu Mas Cempaka, adik Ratu Kalinyamat, menangis dan merasa kehilangan.

4.7 Perjalanan Ke Pengging

Setelah berpamitan kepada Kyai Ganjur, Jaka Tingkir meninggalkan ibu kota Demak Bintara. Panjang lebar Kyai Ganjur memberikan nasehat kepada keponakannya yang terlihat sangat terpukul tersebut. Dan dengan berat hati melepaskannya. Jaka Tingkir tidak pulang ke Tingkir. Dia merasa malu kepada ibunya, Nyai Ageng Tingkir. Dia tidak mau pulang sembari membawa kegagalan dan aib. Bukannya pulang membawa kebanggaan bagi ibunya. Jaka Tingkir memutuskan menuju ke Pengging. Tidak banyak orang Pengging yang tahu kehadiran Jaka Tingkir. Diam-diam dengan menyamar sebagai seorang pengembara, Jaka Tingkir menuju ke Pura Dalem Agung Pengging. Pura yang dulu dibangun oleh ayahandanya, Kyai Ageng Pengging.

Dengan meminta ijin kepada Pemangku Pura, Jaka Tingkir berniat berdiam diri untuk beberapa hari. Sang Pemangku tidak mengenal Jaka Tingkir sebagai putra Kyai Ageng Pengging. Dia memberi ijin kepada Jaka Tingkir untuk tinggal di Pura karena menyangka Jaka Tingkir adalah seorang pertapa pengembara yang tengah menjalankan laku spiritual. Jaka Tingkir sudah berniat, sebelum mendapatkan petunjuk , dia tidak akan beranjak pergi dari Pura tersebut. Tapa Brata dan Samadhi dilaksanakannya. Dengan hati pedih, Jaka Tingkir memohon kemurahanYang Maha Kuasa untuk berkenan memberikan petunjuk-Nya. Siang dan malam tak berhenti mengucapkan Doa-doa dari mulutnya. Jika lelah berdoa, Jaka Tingkir bermeditasi. Jika lelah bermeditasi, Jaka Tingkir berbaring diam, hingga kadang-kadang tertidur.

Dengan uang yang dimilikinya, Jaka Tingkir setiap pagi turun ke desa mencari makan. Hanya sehari semalam sekali. Selepas itu dia berpuasa. Jaka Tingkir mencoba menghindari kecurigaan warga Pengging dengan selalu berpindah-pindah saat membeli makanan.Tujuh hari telah berlalu, Jaka Tingkir tetap teguh menjalankan Tapa-nya. Dan pada malam yang ke tujuh, Jaka Tingkir merasa kelelahan. Tak sengaja dia tertidur dikala meditasinya.Saat tertidur, Jaka Tingkir merasa melihat seberkas cahaya meluncur deras dan berhenti tepat didepannya. Cahaya itu pelahan berubah menjadi sosok manusia. Sesosok lelaki yang gagah dan tampan dengan tubuh yang memendarkan sinar luar biasa lembut dan terang.Antara sadar dan tidak, Jaka Tingkir melihat sosok lelaki itu tersenyum kepadanya dan berkata :

“Ngger Karebet putraningsun, aja kedlarung-dlarung anggenira kasusahan ing pikir. Wis angger, sesuk esuk ambarengi pletheking bagaskara ing bang wetan, sira mangkata, anjujuga padukuhan Banyu Biru. Suwitaa marang Kyai Ageng Banyu Biru. Ing kono wahanane sira bakal nemoni kamulyan lan pepadhanging lakunira.”
(Anakku Karebat, janganlah berlarut-larut kamu bersusah hati. Sudah, anakku. Besok pagi bersamaan dengan terbitnya matahari dari ufuk timur, berangkatlah dari sini, pergilah ke dukuh Banyu Biru, mengabdilah kepada Kyai Ageng Banyu Biru. Disana tempat kamu akan mendapatkan kemuliaan dan terang dalam hidupmu.)

Jaka Tingkir menyembah dalam dan bertanya :
“Siapakah yang hadir didepan saya ini ?”
Sosok itu menjawab dengan senyum penuh kedamaian:
“Weruha angger, ya ingsun iki Kyai Ageng Kebo Kenanga ya Kyai Ageng Pengging. Ramanira kang satuhune.”
(Ketahuilah anakku, aku ini adalah Kyai Ageng Kebo Kenanga atau Kyai Ageng Pengging, ayahandamu yang sesungguhnya.)
Jaka Tingkir kaget. Serta merta dia langsung menghambur dan menubruk sosok tersebut sembari menangis. Tangis kerinduan Jaka Tingkir yang tertahankan selama ini pecah sudah. Diciuminya kaki sosok Kyai Ageng Pengging tersebut dengan berurai air mata.
Dan Jaka Tingkir lebih terperanjat lagi manakala dirasakannya ada sosok lain yang hadir dan tengah mengelus-elus kepalanya. Jaka Tingkir mencoba beringsut untuk melihat siapakah itu. Dan Jaka Tingkir melihat sesosok wanita cantik sembari tersenyum, bersimpuh didekatnya dan membelai kepalanya.
“Kanjeng Ibu?”, suara Jaka Tingkir tercekat haru.
Sosok wanita itu mengangguk pelan dan menjawab :
“Iya anakku, aku ibumu. Nyai Ageng Pengging..”
Tangis Jaka Tingkir kembali memecah tak terbendungkan. Diciumnya kaki ibunya…
Terdengar suara Kyai Ageng Pengging lembut :
“Karebet, wis ngger, elinga welingingsun, JALMA UTAMA TANSAH NETEPI ANGGERING DHARMA. Aja pegat rina lan wengi tansah memuji Hyang Widdhi. Ing kono bagya mulya bakal sira tampa. Kariya basuki putraningsun Karebet..”
(Karebet, sudahlah anakku, ingat-ingatlah pesanku, MANUSIA UTAMA SENANTIASA MEMEGANG TEGUH KETENTUAN DHARMA. Jangan pernah putus memuji Yang Maha Kuasa siang dan malam. Disana kedamaian dan kemuliaan akan engkau dapatkan. Selamat tinggal putraku Karebet.)

Dan sosok Kyai Ageng Pengging beserta Nyai Ageng Pengging-pun lenyap seketika dari hadapan Jaka Tingkir. Bersamaan dengan itu, Jaka Tingkir tersadar dari meditasinya. Air mata masih membasahi kelopak matanya… Dan seketika itu juga, Jaka Tingkir bersujud syukur kepada Hyang Widdhi. Semalaman penuh Jaka Tingkir tak dapat memincingkan mata sedikitpun. Keesokan harinya, tepat ketika matahari terbit dari timur, Jaka Tingkir berpamitan kepada Pemangku Pura.

4.8 Pertemuan Dengan Kyai Ageng Banyu Biru.

Kyai Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan. Banyak para siswa yang berguru kepada beliau. Kyai Ageng Banyu Biru memiliki dua orang adik laki-laki. Kyai Mas Wila dan Kyai Mas Wuragil. Disana, sudah beberapa waktu yang lama, telah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Kyai Mas Manca, dia adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.

Kyai Ageng Banyu Biru yang waskita (firasat) batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa untuk membersihkan Padepokan. Tak ada yang mengetahui apa maksud beliau. Hanya Kyai Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, akan datang seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut. Dan benar, menjelang selesai sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan serta meminta ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk bertemu dengan Kyai Ageng Banyu Biru. Cantrik tersebut segera menghadap Kyai Ageng. Diperintahkan Kyai Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut yang tak lain adalah Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir terkejut juga mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Kyai Ageng. Rupanya beliau sudah tahu pasti bahwa pada sore hari itu akan kedatangannya. Didepan Kyai Ageng  Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya sampai ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha mencari letak padepokan tersebut, dan pada akhirnya berkat petunjuk-Nya, akhirnya sampai juga dan bisa bertemu langsung dengan Kyai Ageng Banyu Biru.Kyai Ageng Banyu Biru memperkenalkan Kyai Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Kyai Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata. 

Kyai Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir tinggal di Padepokan untuk sementara waktu. Dengan ditemani Kyai Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari berbagai macam ilmu dari Kyai Ageng Banyu Biru. Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan. beliau benar-benar mendalami Ilmu tinggi tersebut. Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng dengan Tapa Brata dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membuat Kyai Ageng sangat menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia dengan mudah dikuasainya. Hanya dalam beberapa bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir sudah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya benar-benar terasah tajam berkat bimbingan Kyai Ageng Banyu Biru.

Kyai Ageng Banyu Biru bangga melihat perkembangan Jaka Tingkir. Ketika sudah dirasa cukup, Kyai Ageng memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan. Konon, dari Kyai Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir mendapatkan Aji Lembu Sekilan, yaitu sebuah ilmu kesaktian yang langka, yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan). Kyai Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Kyai Mas Manca, Kyai Mas Wila dan Kyai Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Kyai Ageng memberikan sebuah rencana jitu kepada Jaka Tingkir agar dapat kembali diterima oleh Sultan Trenggana

4.9 Pertemuan Dengan Arya Bahureksa

Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Kyai Mas Manca, Kyai Mas Wila dan Kyai Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.Untuk mempersingkat perjalanan dari Banyu Biru ke Pegunungan Prawata, keempat pemuda ini memilih menghindari jalur darat. Mereka memilih menggunakan jalur sungai. Setelah rampung membuat rakit yg kokoh, keempatnya segera menaiki rakit.
Disuatu tempat, karena waktu telah menjelang sore hari, keempatnya memutuskan untuk menepi dan mencari tempat bermalam dipinggir sungai. Kebetulan, tak jauh dari tepi sungai, waktu itu banyak para gadis tengah mencuci pakaian. Melihat kehadiran keempat orang asing yang tak dikenal, para gadis seketika menyingkir ketakutan. Dasar Jaka Tingkir dan Kyai Mas Manca yang memang masih belia, salah seorang gadis tercantik diantara sekawanan gadis lain, sempat digoda oleh keduanya. Gadis tersebut marah dan pulang dengan hati mendongkol.

Tak ada yang menyangka jika menjelang malam menanjak, tempat dimana keempat pemuda ini bermalam seadanya tiba-tiba dikepung oleh orang-orang tak dikenal dengan senjata lengkap. Perselisihan terjadi. Apa daya empat orang melawan sebegitu banyak manusia, pada akhirnya keempatnya menuruti keinginan segerombolan orang-orang tak dikenal tersebut. Akhirnya, Jaka Tingkir dan ketiga temannya tahu duduk permasalahan sebenarnya setelah mereka dibawa ke tempat hunian ditengah hutan, sarang para gerombolan tersebut. Tempat dimana mereka bermalam ternyata adalah wilayah hunian para gerombolan gerilyawan. Dan salah seorang gadis cantik yang sore tadi mereka goda adalah anak perempuan sang pemimpin gerombolan. Untungnya begitu Jaka Tingkir memperkenalkan siapa dirinya, para gerombolan gerilyawan langsung berbalik menghormatinya. Tiga hari tiga malam keempat pemuda dari Banyu Bitu ini dijamu disana. Arya Bahureksa, sang pemimpin, sangat-sangat bersuka cita bisa bertemu dengan putra Kyai Ageng Pengging.
“Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala rakit yang dinaiki Jaka Tingkir hendak menepi, mereka melihat seorang gadis cantik dipinggiran sungai. Jaka Tingkir dan Kyai Mas Manca menggodanya. Gadis marah dan serta merta menghilang. Disusul rakit berputar sendiri dan hujan seketika turun rintik-rintik. Lebih mengagetkan lagi, mendadak banyak buaya bermunculan ditempat itu. Keempat orang pemuda terpaksa bertempur dengan gerombolan buaya dan akhirnya berhasil menaklukkan mereka. Arya Bahureksa, pemimpin para buaya menjamu mereka di Istana Buaya selama tiga hari tiga malam”

Dari Arya Bahureksa, Jaka Tingkir mendapatkan bantuan pasukan gerilyawan. Arya Bahureksa juga menyarankan kepada Jaka Tingkir untuk menemui Kebo Andanu, seorang pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata. Jaka Tingkir sangat-sangat berterima kasih atas semua bantuan Arya Bahureksa. Setelah tiga hari tiga malam tinggal dipusat pemukiman para gerilyawan, Jaka Tingkir, Kyai Mas Manca, Kyai Mas Wila dan Kyai Mas Wuragil-pun melanjutkan perjalanannya ke Pegunungan Prawata. Kini perjalanan mereka diiringi oleh sebagian gerombolan gerilyawan yang hendak membantu. 
Dalam Babad Tanah Jawa, iring-iringan rakit rombongan Jaka Tingkir ini digambarkan dalam tembang Megatruh sebagai berikut :

Sigra milir, Sang Gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanampi ing kanan kering,
Sang Gethek lampahnya alon.
(Segeralah berjalan, Sang Rakit dengan disangga para buaya,
Empat puluh buaya pilihan yang menjaga,
Berada didepan dan dibelakang,
Begitu juga berada di kanan dan kiri,
Sang Rakit-pun berjalan pelan.)

Empat puluh prajurit pilihan, ditambah para prajurit yang lain, mengiringi Jaka Tingkir. Perjalanan mereka-pun akhirnya terhenti manakala senja telah menjelang. Jaka Tingkir beserta para laskar gerilyawan Majapahit ini akhirnya menepi untuk mencari tempat bermalam.

4.10 Pindahnya Wahyu Keprabhon.

Tepat waktu itu, mereka berhenti di wilayah pedukuhan Butuh, dimana Kyai Ageng Butuh adalah pemimpin padukuhan dengan pangkat Bekel. Malam itu Kyai Ageng Butuh tidak dapat tidur. Beliau duduk di Pendhopo rumah. Tepat menjelang tengah malam, diatas langit nampak seberkas cahaya kebiru-biruan meluncur dari arah utara. Cahaya itu melintasi langit Butuh. Kyai Ageng Butuh terkesiap. Cahaya ini adalah Wahyu Keprabhon. Yaitu Wahyu seorang Raja. Berasal dari utara, tak lain dari Demak Bintara. Dan wahyu ini tengah berpindah tempat. Dimana wahyu ini jatuh, maka disanalah orang pilihan tersebut dapat dipastikan akan tampil menjadi seorang Raja. Sontak Kyai Ageng Butuh menghambur menuju Gedhogan ( Kandang Kuda ) dan menyambar seekor kuda. Ditengah malam buta, Kyai Ageng Butuh memacu kudanya mengikuti gerak cahaya kebiru-biruan yang nampak melintas di atas langit menuju ke pinggir pedukuhan, jauh ke pinggir sungai. Kyai Ageng Butuh terus mengikuti pergerakan cahaya tersebut. Dan tepat dipinggiran sungai, cahaya itu meluncur ke bawah dan raib. Kyai Ageng terus memacu kudanya. Dan kudanya terhenti ketika beberapa orang bersenjata tengah menghadangnya tiba-tiba. Kyai Ageng memincingkan matanya melihat ada sekitar lima orang bersenjata terhunus tengah menghalangi laju kudanya.

 Sejenak Kyai Ageng ditanya siapakah beliau. Kyai Ageng memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Dan giliran Kyai Ageng yang balik bertanya siapakah mereka. Para penghadang Kyai Ageng Butuh tak lain adalah para gerilyawan yang mengiringi Jaka Tingkir. Mereka tengah mendapat giliran jaga malam. Mendengar nama Jaka Tingkir disebut-sebut, Kyai Ageng Butuh terkejut. Cepat dia meminta kepada kelima orang tersebut untuk menunjukkan dimana Jaka Tingkir kini tengah berada. Kelima orang itu nampak enggan dan curiga. Namun manakala mendengar penuturan Kyai Ageng bahwa beliau melihat wahyu keprabhon jatuh ditempat itu, sontak mereka segera mengantarkan Kyai Ageng Butuh ketempat dimana Jaka Tingkir tengah beristirahat. Disaksikan kelima orang gerilyawan berikut Kyai Ageng Butuh, disana sebuah kejadian yang memukau mata tengah terjadi. Diatas kepala seorang pemuda yang tengah tertidur, nampak seberkas cahaya tengah mengambang, berwarna biru cerah. Keenam orang yang menyaksikan hal itu tercengang. Wajah sang pemuda nampak jelas terlihat tersinari cahaya tersebut. Kyai Ageng Butuh tidak sangsi lagi dengan Jaka Tingkir, putra sahabatnya Kyai Ageng Pengging. Pemuda yang kini tengah tertidur dengan cahaya mengambang diatas kepalanya itu adalah Mas Karebet, karena wajahnya mirip dengan Kyai Ageng Pengging. Dan Jaka Tingkir mendadak terjaga dari tidurnya. Bersamaan dengan itu, cahaya kebiru-biruan yang terang diatas kepalanya lenyap.

Jaka Tingkir terjaga karena dalam tidurnya dia mendengar suara-suara aneh tengah memanggil-manggil namanya berulang-ulang. Begitu dia sadar, dia nampak kebingungan manakala tak jauh dari tempatnya tidur, ada enam orang tengah memperhatikannya dengan tatapan takjub. Belum reda keheranan Jaka Tingkir, salah seorang dari enam orang yg tengah tercengang melihatnya menghambur dan memeluknya. Keheranan Jaka Tingkir semakin bertambah-tambah. Namun begitu sosok itu memperkenalkan dirinya sebagai Kyai Ageng Butuh, sahabat karib ayahandanya Kyai Ageng Pengging, Jaka Tingkir sedikit banyak memahami situasi yg serba mengherankan tersebut.

Kyai Ageng Butuh menjelaskan bahwasanya Jaka Tingkir kini telah terpilih sebagai Raja Tanah Jawa. Sesaat lalu, kala Jaka Tingkir tertidur, cahaya wahyu keprabhon telah jatuh diatas kepalanya. Jaka Tingkir kembali dicekam rasa heran. Antara percaya tidak percaya. Namun melihat keseriusan Kyai Ageng Butuh, keraguan Jaka Tingkir luruh juga. Malam itu, Kyai Ageng Butuh banyak memberikan wejangan-wejangan yang sangat berguna bagi Jaka Tingkir. Satu hal yg beliau tekankan, agar Jaka Tingkir mentauladani ayahandanya Kyai Ageng Pengging yang terkenal sabar dan legowo. Jika kelak Jaka Tingkir benar-benar berhasil menduduki tahta dan menjadi penguasa Tanah Jawa, sikap ini harus dikedepankan. 
Menjelang pagi, Kyai Ageng Butuh-pun melepas kepergian Jaka Tingkir dan rombongan dengan doa-doa keselamatan. 

4.11 Pertemuan Dengan Kebo Andanu

Perjalanan rombongan Jaka Tingkir-pun sampai juga di pegunungan Prawata. Walau agak lambat dikarenakan mereka memilih jalur-jalur sepi dengan menerobos hutan belukar demi menghindari kecurigaan orang banyak, pada akhirnya mereka tiba juga.Dengan bantuan gerilyawan anak buah Arya Bahu Reksa, Jaka Tingkir bisa bertemu dengan Kebo Andanu, pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.Jumlah personil anak buah Kebo Andanu ternyata cukup banyak juga. Dengan bantuan mereka yang sudah cukup hafal medan Pegunungan Prawata, apa yang akan direncanakan Jaka Tingkir akan bisa dijalankan dengan mudah. Jaka Tingkir dan Kebo Andanu segera merundingkan rencana secara matang. 

Setelah kesepakatan dicapai, Jaka Tingkir menjanjikan, kelak apabila dia berhasil menduduki tahta Demak dan berhasil mendirikan Kerajaan baru, Kebo Andanu akan diberikan wilayah otonomi khusus didaerah Pegunungan Prawata dan sekitarnya. Kebo Andanu dijanjikan akan diangkat sebagai penguasa setingkat Adipati atau Raja Bawahan. Untuk sementara waktu, Jaka Tingkir berserta rombongan beristirahat beberapa hari dipusat hunian para gerilyawan pimpinan Kebo Andanu. Jaka Tingkir menanti hari yang tepat untuk menjalankan rencananya. Dan pada hari yang ditentukan, gerilyawan gabungan ini bergerak menduduki tempat-tempat yang sudah direncanakan. Tempat-tempat yang mendekati posisi Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada. Dengan ditemani Kyai Mas Manca, Jaka Tingkir menyamar sebagai seorang tukang rumput. Mereka berdua lebih mendekat ke pusat Pesanggrahan. Jaka Tingkir ingin lebih memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Sultan Trenggana memang benar-benar berdiam disana.

Dibantu beberapa gerilyawan yang lain, dua orang prajurit ini berhasil dilumpuhkan dan dibawa menjauhi areal Pesanggrahan menuju ke tempat persembunyian para gerilyawan. Sesampainya ditempat persembunyian para gerilyawan, kedua prajurit pengawal tersebut langsung ditemui sendiri oleh Jaka Tingkir. Betapa terkejut mereka mengetahui siapa yang tengah menemui mereka berdua. Keduanya tidak bakalan lupa dengan Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurit Pengawal mereka. Oleh Jaka Tingkir, kedua prajurit ini ditawari jabatan tinggi jika mereka mau membantu gerakan yang direncanakan Jaka Tingkir. Dan keduanya tergiur. Mereka akhirnya menerima tawaran tersebut. Tugas mereka hanyalah mengabarkan kepada Sultan Trengana bahwa mereka melihat sosok Jaka Tingkir tengah bertapa disekitar Pegunungan Prawata. Kabar tersebut harus disampaikan kepada Sultan Demak keesokan hari manakala Pesanggrahan sudah diserang oleh gerilyawan. Ditengah situasi genting dan sangat mengancam keselamatan Sultan, disaat itulah kedua prajurit ini harus menghadap Sultan dan menyampaikan berita tersebut. Selanjutnya mereka harus bisa memberi masukan agar Sultan meminta bantuan Jaka Tingkir untuk mengusir gerombolan liar yang mengancam beliau. Jika Sultan setuju, secepatnya mereka harus kembali menemui Jaka Tingkir. Jika Sultan tidak setuju, mereka tidak usah kembali lagi.

4.12 Peristiwa di Pegunungan Prawata

Menjelang pagi hari, seluruh gerilyawan telah siap pada pos masing-masing. Dan bersamaan dengan bunyi burung hutan buatan yang disuarakan oleh Kyai Mas Manca, serentak mereka keluar dari persembunyian dan menyerang Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada. Pagi baru menjelangt. Embun masih juga belum mengering. Matahari masih menyembul malu-malu. Seluruh Prajurit Pengawal Sultan Demak dikejutkan dengan serangan mendadak dari gerombolan gerilyawan Majapahit. Bende (Gong kecil) seketika dipukul. Dari satu tempat, menyusul suara bende terdengar ditempat lain. Berkumadang memekakkan telinga. Bunyi pukulan bertalu-talu tersebut berbaur dengan suara teriakan-teriakan beringas dari para gerilyawan dan suara kepanikan para prajurit Demak. Dipagi buta itu, dimana mata mereka juga belum sepenuhnya jernih, para Prajurit Pengawal Sultan segera menyambar senjata dan tameng masing-masing. Riuh rendak suaranya. Bentakan-bentakan komando terdengar disana-sini..

Kebo Andanu terlihat memacu kuda ditengah-tengah pertempuran sembari terus berteriak-teriak : Majuu..!! Dia terus mengayunkan senjata dengan lincahnya.. Satu dua prajurit Demak terpapas ayunan senjatanya. Para Prajurit Pengawal Sultan terdesak. Tubuh-tubuh prajurit Demak tumbang satu persatu. Gerilyawan liar ini sangat terlihat sangat ganas. Gerakan peyerangan mereka yang tidak kenal takut terlihat sarat dengan penumpahan dendam dan kebencian. Dan beberapa pasukan gerilyawan telah naik memasuki Pesangrahan dimana Sultan Trenggana tengah berada. Jerit ketakutan dari para dayang wanita dan beberapa selir yang kebetulan ikut ditempat tersebut terdengar. Mereka ketakutan melihat gerombolan gerilyawan memasuki Pesanggrahan tanpa ada satupun pasukan Demak yang bisa menahannya. Kegaduhan, kepanikan, ketakutan terlihat disana-sini.

Melihat situasi seperti itu, Jaka Tingkir segera memerintahkan dua orang prajurit Demak yang semalam diculiknya untuk segera menjalankan tugas. Kedua prajurit ini langsung bergerak menyusup, mencari jalan aman menuju Pesanggrahan. Sebuah tanda khusus yang mereka kenakan dileher membuat para gerilyawan yang kebetulan melihat mereka segera memberikan jalan.Dua orang prajurit ini sampai di Pesanggrahan. Situasi sangat kacau balau.. Mereka telah hapal jalan menuju ruang dalam Pesanggrahan. Dan mereka bergerak ke ruang rahasia dimana mereka pastikan Sultan pasti tengah mengamankan dirinya disana.Kedatangan mereka yang tergopoh-gopoh membuat beberapa prajurit pengawal yang masih menjaga Sultan terkejut.. Ditengah kepanikan dan ketakutan, ditengah kebingungan mereka mencari celah membawa lari Sultan keluar dari medan tempur, kedatangan dua orang prajurit ini hampir saja menimbulkan pertikaian..

Namun melihat yang datang adalah sesama anggota prajurit pengawal, mereka-pun segera menanyakan ada berita penting apakah yang hendak disampaikan? Dua orang prajurit ini meminta ijin untuk bertemu Sultan Trenggana langsung.Dalam suasana mencekam, para prajurit yang menjaga Sultan mengantarkan dua orang suruhan menemui Sultan Trenggana. Didalam bilik, nampak Sultan tengah berdiri tegang sembari menggenggam keris. Melihat kedatangan dua orang prajurit tersebut, Sultan langsung menyambut dan menanyakan apa yang hendak mereka sampaikan. Tanpa menungu waktu lama, dua orang prajurit ini langsung mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Jaka Tingkir tengah berada disekitar Pegunungan Prawata. Dia tengah menjalankan Tapa Brata. Jika Sultan berkenan, Jaka Tingkir mau turun tangan saat ini juga.

Dalam kondisi panik, Sultan Treggana tidak bisa berfikir panjang lagi. Beliau langsung memerintahkan dua prajurit ini untuk menemui Jaka Tingkir. Sultan Trenggana memerintahkan Jaka Tingkir mengatasi kekacauan dan Sultan akan mengampuni segala kesalahannya. Kedua prajurit ini bergegas mohon undur. Keduanya segera keluar dari Pesangrahan, kembali menemui Jaka Tingkir. Mendengar Sultan Trenggana tengah panik dan meminta bantuannya, Jaka Tingkir cepat bertindak. Dia mengambil sekor kuda dan cepat naik keatas pelana. Kuda langsung dipacu menuju ke garis depan. Kyai Mas Manca, Kyai Wila dan Kyai Wuragil tidak tinggal diam. Mereka segera memacu kuda masing-masing menyusul Jaka Tingkir. Melihat kedatangan empat penunggang kuda yang menerobos medan pertempuran, dan yang paling depan terlihat adalah Jaka Tingkir, Kebo Andanu tidak menggubris. Bendera Surya Majapahit kini semakin dia angkat tinggi-tinggi. Jaka Tingkir bertindak cepat, dia memacu kuda mendekati Kebo Andanu. Manakala jarak mereka sudah teramat dekat, Jaka Tingkir langsung melompat dari atas kudanya, menubruk tubuh Kebo Andanu. Karuan saja, Kebo Andanu jatuh terguling ditimpa tubuh Jaka Tingkir.

Belum lama pertempuran terjadi, suasana tegang tiba-tiba dipecahkan oleh suara hentakan kendang dan alunan gamelan.. Suara irama pertempuran.. Bunyi itu berasal dari arah Pendhopo Pesanggrahan. Seluruh yang hadir melihat, disana, Sultan Trenggana nampak tengah berdiri menyaksikan duel maut dua harimau Majapahit.. Sultan-lah yang memerintahkan beberapa Pangrawit Keraton ( Pemusik Istana ) yang juga ikut serta dalam rombongan Sultan di Pegunungan Prawata, untuk membunyikan gamelan bernada perang.. Bunyi gamelan mengiringi adu kesaktian Jaka Tingkir dan Kebo Andanu.Dan disuatu saat, ketika Jaka Tingkir berhasil membalikkan serangan keris Kebo Andanu, ujung keris meluncur tak terarah lagi mengarah dada sang pemimpin gerilyawan.. Jaka Tingkir kaget tapi terlambat.. Keris menancap dalam.. Tepat didada Kebo Andanu..

Bunyi gamelan kemenangan kini terdengar.. Sorak sorai para prajurit Demak bergema. Ditempat lain para gerilyawan geger..Namun Kyai Mas Manca berhasil menenangkan mereka.. Kyai Mas Manca memerintahkan dua orang gerilyawan maju kedepan. Jaka Tingkir tanggap, dia membiarkan dua orang gerilyawan itu membawa jenazah Kebo Andanu. Jaka Tingkir sempat berkata lirih, cukup didengar dua orang gerilyawan :“Lakukan upacara kematian yang layak.” Dan, Kyai Mas Manca memerintahkan seluruh gerilyawan meninggalkan pesangrahan Pegunungan Prawata saat itu juga.

“Peristiwa memilukan ini diceritakan secara simbolis dalam Babad Tanah Jawa. Konon, sesampainya di Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir menemukan seekor kerbau liar yang bernama Kebo Andanu. Kerbau tersebut ditangkap oleh Jaka Tingkir, lantas disalah satu telinganya dimasukkannya segenggam tanah yang dibawa dari Banyu Biru. Kerbau liar tersebut berubah semakin liar, lalu dilepaskan ke arah Pesanggrahan Sultan Trenggana. Kerbau mengamuk. Para prajurit pengawal tidak ada yang mampu menaklukkan amukan Kebo Andanu. Bahkan banyak para prajurit yang tewas terkena amukannya. Pesanggrahan Pegunungan Prawata porak poranda oleh olah Kebo Andanu. Sultan Trenggana panik. Lantas, dua orang prajurit menghadap Sultan dan mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Akhirnya Sultan meminta pertolongan Jaka Tingkir untuk menaklukkan Kebo Andanu. Jaka Tingkir akhirnya turun tangan dan bertempur dengan Kebo Andanu. Kerbau dipegang, namun tidak menurut dan semakin liar. Terpaksa Jaka Tingkir mengeluarkan tanah yang dia masukkan ke telinga kerbau, lalu Jaka Tingkir memukul kepala kerbau. Kepala Kerbau pecah. Kebo Andanu tewas seketika. Sultan Trenggana selamat dari amukan Kebo Andanu. Tanah yang disimbolkan dalam Babad Tanah Jawa tal lain adalah daerah kekuasaan yang sempat dijanjikan kepada Kebo Andanu. Namun daerah kekuasaan tersebut tidak jadi dimiliki Kebo Andanu karena dia telah membangkang perintah Jaka Tingkir”

4.13 Pelantikan Menjadi Adipati Pajang

Banyak spekulasi merebak dikalangan istana Demak akibat peristiwa tersebut. Namun bagaimanapun juga, Jaka Tingkir terbukti berhasil menyelamatkan nyawa Sultan Trenggana. Beberapa pejabat memberi masukan kepada Sultan bahwasanya Jaka Tingkir adalah sosok berbahaya bagi Demak Bintara. Demikian juga beberapa pejabat yang lain. Namun keberhasilan Jaka Tingkir menyelamatkan nyawa Sultan bukan berarti tidak harus dihargai. Disisi lain, Nimas Sekaring Kedhaton, putri Sultan Trenggana, memohon kepada ayahandanya agar Jaka Tingkir diperbolehkan memasuki istana kembali. Nimas Sekaring Kedhaton sudah lama jatuh hati kepada Jaka Tingkir.

Melalui serangkaian musyawarah yang rumit, pada akhirnya Jaka Tingkir diberi penghargaan menjabat sebagai seorang Raja Bawahan, seorang Adipati. Hal ini dimaksudkan, agar Jaka Tingkir tidak mempunyai akses langsung dilingkungan Istana Demak. Jaka Tingkir sengaja dijauhkan dari pusat. Jaka Tingkir dikukuhkan sebagai Adipati yang menguasai wilayah Pajang, wilayah yang tak jauh dari Pengging, tanah kelahirannya. Bahkan Pengging-pun kini masuk wilayah Pajang. Dia dikukuhkan dengan gelar Adipati Adiwijaya atau Hadiwijaya yang berarti Kemenangan Utama.

Kyai Mas Manca diangkat sebagai pendampingnya dengan jabatan Patih Njaba. Dia lantas bergelar Patih Mancanegara. Sedangkan Kyai Mas Wila dan Kyai Mas Wuragil, mereka diangkat sebagai Patih Njero, Jabatan Patih Njero dibebankan kepada mereka berdua. “Patih Njaba adalah jabatan wakil Raja yang bertugas mengurus urusan ekstern keraton dengan dibantu beberapa mantri, membawahi beberapa pejabat diluar lingkungan ibu kota. Sedangkan Patih Njero adalah jabatan wakil Raja yang bertugas mengurusi urusan intern keraton dengan dibantu pula oleh beberapa mantri dan Ngabehi.”

Akses masuk secara langsung ke Istana Demak agak tertutup bagi Adipati Adiwijaya. Namun diam-diam, Adipati Adiwijaya-pun mencintai Nimas Sekaring Kedhaton. Hubungan diam-diam diantara mereka ini memang sudah jauh-jauh hari terjalin. Atas saran Kyai Mas Manca atau Patih Mancanegara, Adipati Adiwijaya eminang Nimas Sekaring Kedhaton. Selain atas dasar cinta, Nimas Sekaring Kedhaton bisa dijadikan akses masuk kedalam istana Demak. Surat Lamaran dilayangkan Adipati Adiwijaya kehadapan Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sedikit keberatan. Namun Nimas Sekaring Kedhaton mengancam akan bunuh diri jika pinangan Jaka Tingkir ditolak. Maka Sultran Trenggana terpaksa menerima pinangan tersebut. Akhirnya, Adipati Adiwijaya berhasil memperistri Nimas Sekaring Kedhaton.

Jaka Tingkir berkuasa di Kadipaten Pajang. Beberapa gerilyawan Majapahit dia masukkan kedalam angkatan bersenjata Pajang. Bahkan keturuan Kyai Ageng Selo, yaitu Kyai Ageng Pamanahan-pun diterima mengabdi sebagai anggota pasukan Pajang.

4.14 Diangkat Menjadi Sultan Demak Ke V

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta, akan tetapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami Ratu Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.

Kematian  Sultan  Prawata  dan  Pangeran  Hadiri  tampaknya  membuat selangkah lagi bagi Arya Penangsang untuk menduduki tahta Demak. Meskipun pembunuhan terhadap Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri telah berjalan mulus, namun  Arya  Penangsang merasa  belum  puas  apabila  belum menjadi raja, karena masih ada penghalangnya yaitu Hadiwijaya. Arya  Penangsang berencana  membunuh  Hadiwijaya  namun mengalami kegagalan. Kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang dengan Pajang.

Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar mau membantunya menumpas Arya Penangsang karena hanya beliau yang setara kesaktiannya dengan Adipati Jipang tersebut. Hadiwijaya  segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Maka, Hadiwijaya  pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya,

yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan) ikut serta. Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat gembira mendengar kabar gembira itu. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan Hadiwijaya sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit. Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Hadiwijaya. Hingga beliau diangkat menjadi Sultan Demak Bintoro ke V. Tidak lama kemudian pusat kerajaan tersebut dipindah ke Pajang dengan Sultan Hadiwijaya sebagai Sultan yang pertama.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Hadiwijaya dengan para Adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para Adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Hadiwijaya. Selain itu, Hadiwijaya juga berhasil menggabungkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya diangkat menjadi menantunya.

Jaka Tingkir memposisikan Kerajaan Pajang sebagai pusat pendidikan untuk menimba ilmu agama, pemerintahan maupun ilmu perang. Para  Bangsawan  yang  pernah  menimba  ilmu  di  Pajang  diantaranya  adalah  Putra  Mahkota Kerajaan  Sumedang,  Pangeran  Angkawijaya  (kelak  dikenal  sebagai  Prabu  Geusan  Ulun). Panembahan Ratu pun pernah dititipkan oleh Mendiang Sunan Gunung Jati untuk berguru pada Jaka Tingkir di Keraton Pajang dan berteman dengan Raden Angkawijaya. Bahkan Penembahan Ratu  dinikahkan  juga  dengan  Putri  Jaka  Tingkir,  Rara  Pajang .  Langkah  ini  membuktikan bahwa Jaka Tingkir adalah seorang Kampiun Perdamaian,  yang  berkeinginan mendinginkan panasnya api persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan suku Jawa yang bibitnya telah ditabur sejak zaman Majapahit dan Pajajaran. Bisa dikatakan pula bahwasanya ikatan Sumedang- Cirebon-Pajang yang dibangun lewat hubungan guru-murid-saudara seperguruan, adalah prestasi terbesar Jaka Tingkir sebagai Raja Pajang dalam arena diplomasi regional

Sebagai Murid dari salah satu anggota Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga. Jaka Tingkir merasa berkewajiban melanjutkan dakwah sesuai dengan cara yang pernah dipergunakan oleh sang guru. Sunan Kalijaga selama ini telah merancang proyek kebudayaan Islam lokal dalam rangka  menyebarkan  nilai-nilai  religius  yang  senafas  dengan  tradisi  Jawa (pengadatan Jowo) melalui proses asimilasi dan akulturasi yang panjang. Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang  pujangga  yang  berinisiatif  menciptakan  karangan  cerita-cerita  pewayangan  yang kemudian  dikumpulkan  dalam  kitab-kitab  cerita  wayang  yang  sampai  sekarang  masih  ada. Cerita-cerita  itu  masih  berbentuk  cerita  menurut  kepercayaan  Hindu  Jawa  dengan  corak kehidupannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin. Hal semacam inilah yang ingin dilanjutkan oleh Jaka Tingkir dengan Kerajaan Pajang sebagai Laboratorium Dakwahnya.

5 Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang dialihbahasakan oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta : Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1981.
  4. The History of Javanese Kings-Kisah Raja-Raja Jawa. Purwadi. (Jogjakarta : Ragam Media)
  5. Agus Wahyudi. Joko Tingkir : Berjuang Demi Taktha Pajang. (Yogjakarta : Penerbit Narasi, 2009)
  6. Serat Panaitisastra : Tradisi, Resepsi dan Transformasi. Sudewa. (Yogjakarta : Disertasi Pascasarjana UGM, 1989)
  7. Babad Tanah Jawi
  8. Babad Tanah Jawi Demakan
  9. Serat Kandha
  10. Cerita tutur masyarakat Jawa
  11. Baboning Kitab Primbon, terbitan Sadu Budi, Solo

6 Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru Jaka Tingkir (Mas Karebet) dapat dilihat DI SINI.

https://www.laduni.id/post/read/517026/biografi-jaka-tingkir-mas-karebet-pendiri-kesultanan-pajang.html