Seni Musik Perspektif Al-Farabi (3): Hakikat Ngelagu dan Asal Muasal Musik

Ketika berbicara mengenai musik, saya punya satu pertanyaan yang membenak, apakah ada di dunia ini orang yang tidak menyukai satu jenis musik apapun?

Jika  mempertimbangkan watak atau tabiat bawaan manusia yang berbeda-beda mungkin wajar jika ada yang tidak menyukai musik. Pertanyaan tersebut bergelayut di dalam pikiran saya, sampai saya membaca karya sang filsuf, Al-Farabi.

Dalam satu keterangan dalam kitabnya, saya membaca sebuah sub tema yang berjudul “Nasy’at al-Alhan al-Ghinaiyah”.

Dalam  subjudul tersebut Al Farabi menjelaskan, pada hakikatnya Al-Alhan/ngelagu itu termasuk fitrah yang ada pada setiap manusia. Timbul dengan sendirinya dan tertanam pada setiap diri manusia.

Dalam hal ini Al-Farabi membahasakannya dengan al-Gharizah yang kalau dalam bahasa Jawa diartikan dengan sifat kang tumancep ingdalem ati, sifat yang melekat dalam hati.

Maksud dari al-Alhan/ngelagu di sini juga bukan dari definisi khas lafadz tersebut yang memiliki arti “lagu”, namun maksud dari ngelagu di sini ialah “mengeluarkan suara” dimana dari potensi atau sifat bawaan tersebut lahirlah suara yang berirama atau “lagu”.

Di antara buktinya ialah pertama, afirmasi syiir oleh bangsa Arab sebagai representasi ngelagu itu maujud pada manusia, di mana spontanitas diri orang Arab ketika terjadi suatu peristiwa ialah mengekspresikan apa yang ia rasakan dengan syiir.

Baca juga:  Gus Dur, Film Ninja, dan Tragedi Kemanusian

Kedua, watak bawaan yang spontan akan mengeluarkan suara ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya baik berupa kenikmatan ataupun rasa sakit. Al-Farabi membahasakannya dengan Al-Fitrah Al-Hayawaniyah, potensi kehewanan.

Ada satu anekdot yang menggambarkan terciptanya asal mula lagu, yaitu dalam kitab al-Lahw wa al-Malahi, Qasim Ubaidillah bin Khuradhadbih (w. 911 ) menceritakan bahwa Mudhar bin Nazar memukul kedua tangan pembantunya yang kemudian secara spontan berteriak “aduh tanganku, tanganku!”, unta-unta yang mendengarkan teriakan suara vokal pembantu tersebut konon melakukan gerakan-gerakan tertentu sebagai reaksi.

Dalam versi lain yakni versi dari Al-Mas’udi (w.956 H), Mudhar jatuh dari untanya dan tangannya patah kemudian ia berteriak ya yadaah! (aduh tanganku!) sehingga unta-untanya memberikan reaksi yang khas.

Ketiga, kecenderungan manusia untuk menyukai al-Rahah, istirahat setelah lelah atau bahkan tidak ingin merasakan lelah ketika waktu sibuk. Maka ngelagu baik mendendangkan atau hanya sekadar mendengarkannya ialah yang paling efektif untuk menghilangkan rasa lelah, sehingga batas ruang “waktu” akan lenyap dengan sendirinya, dan ia tidak merasakan lelah.

وَاَمَّا كَيْفَ حَدَثَتْ الصِّنَاعَةُ الْعَمَلِيَّةُ مِنْ صِنَاعَةِ الْمُوْسِقِي فَاِنَّ الَّتِي حَرَّكَتْ عَلَيْهَا حَتَّى صَارَتْ صِنَاعَةً هِيَ تِلْكَ الفِطَرُ الْغَرِيْزَةُ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فَبَعْضٌ طَلَبَ بِالتَّرَنُّمَاتِ الرَّاحَةَ  وَاللَّذَّةَ وَاَنْ لَايُحِسَّ بِالتَّعَبِ اَوْ بِزَمَانِهِ, وَبَعْضٌ طَلَبَ بِهَا اِنْمَاءَ الْاَحْوَالِ وَالْاِنْفِعَالَاتِ وَتَزْيِيْدَهَا اَوْ اِزَالَتَهَا  وَالتُّلُوَّ عَنْهَا وَتَنْقِيْصَهَا, وَبَعْضٌ قَصَدَ بِهَا مَعُوْنَةَ الْاقَاوِيْلِ فِي التَّخْيِيْلِ وَالتَّفْهِيْمِ فَكَانَتْ هَذِهِ التَّرَنُّمَاتُ وَالتَّلْحِيْنَاتُ وَالتَّنْغِيْمَاتُ تَنْشَؤُ عِنْدَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ قَلِيْلًا قَلِيْلًا وَفِي زَمَانٍ بَعْدَ زَمَلنٍ وَفِي بَعْدَ قَوْمٍ حَتَّى تَزَايَدَاتْ

Baca juga:  Alhamdulillah, Akhirnya Masyarakat Purbalingga Punya Bioskop Rakyat

Dari sifat al-Gharizah itulah Al-Farabi menjelaskan bagaimana bisa timbul ‘musik’. Watak manusia yang condong menginginkan al-Rahah (relaksasi tubuh), al-Ladzah (rasa nikmat), tidak ingin merasakan lelah ketika melakukan pekerjaan, mengekspresikan keadaan serta peristiwa atau khayalan-khayalan  dengan rangkaian kata-kata indah.

Seiring musik tumbuh dan berkembang, seiring itu pula para ilmuan musik menemukan hal-hal baru mengenai musik, di antaranya ialah alat-alat musik.

Al-Farabi menjelaskan bahwa alat-alat musik muncul lewat eksperimen serta identifikasi oleh ilmuan-ilmuan musik terhadap lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Mereka meneliti bunyi yang timbul dan kemudian mengimplementasikannya terhadap benda-benda di sekelilingnya sehingga muncul beberapa alat musik seperti al-ud (sejenis gitar).

Dalam muqaddimah kitab al-Musiq al-Kabir disebutkan bahwa masyarakat Mesir periode awal (Qudama’ Al-Misyriyin) merupakan umat manusia yang paling dahulu mengenal Musik.

Di dalam muqaddimah kitab tersebut juga terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menciptakan lagu dan diiringi alat musik ialah Bani Lamik dari keturunan Qayin.

Ada yang mengatakan Yubal bin Lamik adalah orang yang pertama kali membuat al-Ud (sejenis gitar berdawai 4), sehingga ia diberi julukan Aban likulli dharibin bi al-Ud wa al-Mizmar, (Bapak penemu al-Ud dan al-Mizmar (sejenis seruling), lihat kitab Tarikh al-Musiqa al-Arabiyyah (A History Of Arabian Music) karangan Henry George Farmer (1882-1965 M).

Baca juga:  Bahasa dan Sastra Pesantren (3): Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dalam Sejarah Pesantren

Bangsa Arab mempelajari ilmu musik dari Persia dan karangan-karangan Yunani yang mereka bawa pada akhir abad 2 Hijriah. Selanjutnya mereka (Bangsa Arab) menyelaraskannya dengan bahasa mereka, mendendangkan lagu dengan syiir-syiir, menghubungkan suara-suara dengan meletakannya sesuai tempatnya sehingga menghasilkan lagu-lagu bersajak.

Memang, datangnya ilmu musik ke tanah Arab membuat syiir yang mereka dendangkan lebih berwarna, akan tetapi bangsa Arab sudah terkenal dengan kesusastraannya lewat syiir jauh sebelumnya, jadi menurut pemikiran saya praktik musik sudah ada dalam bangsa Arab sebelum ilmu mengenai musik itu sendiri sampai ke tanah Arab, namun dalam hal penyampaiannya lebih condong ke seni sastra.

https://alif.id/read/aju/seni-musik-perspektif-al-farabi-3-hakikat-ngelagu-dan-asal-muasal-musik-b245331p/