Di Indonesia, orang-orang masih jarang memberi penghormatan untuk tokoh bahasa dan kamus. Sekian tokoh sudah pamitan dari kita dan dunia. Ingatan tentang mereka terus menipis. Buku-buku warisan mereka belum terjamin cetak ulang. Jumlah pembaca buku-buku persembahan mereka mungkin malah berkurang. Sekian buku teranggap milik masa lalu saja.
Di perguruan tinggi, para mahasiswa biasa menggunakan buku-buku garapan Abdul Chaer dalam belajar bahasa Indonesia. Sekian buku berpengaruh bagi perkembangan bahasa Indonesia di ruang akademik. Pembaca buku-buku Abdul Chaer di luar kuliah mungkin sedikit. Di perbukuan bahasa Indonesia, Abdul Chaer masuk daftar nama penting bagi jaminan laris. Buku-buku terbit berpenampilan sederhana tapi selalu diperlukan di pelbagai perguruan tinggi. Nama penting dalam perkuliahan, sebelum perlahan dilupakan setelah tahun-tahun berlalu.
Pada 13 September 2022, Abdul Chaer meninggalkan kita dan dunia. Ia telah memberi warisan puluhan judul buku. Kita mungkin membaca sekian judul saja. Tokoh dilahirkan di Jakarta, 8 November 1940, memilih menempuhi jalan panjang untuk mengembangkan bahasa Indonesia dan perkamusan. Diri sebagai pengajar disempurnakan dengan ketekunan melakukan penelitian dan penulisan buku-buku.
Kini, kita ingin mengenang dan menghormati melalui kamus-kamus masih mungkin ditemukan dan dipelajari. Kita mengawali dengan buku berjudul Leksikologi dan Leksikografi Indonesia (2007). Buku sederhana dan agak tebal, mengantar pembaca mengetahui tentang sejarah dan perkembangan kata. Pembaca mendapat penjelasan-penjelasan bertema kamus. Buku penting bagi peminat masalah perkamusan atau kolektor kamus.
Kita mengaku perlahan belajar mengikuti petunjuk-petunjuk Abdul Chaer. Kita membaca keterangan: “Leksikologi adalah ilmu yang mengambil leksikon sebagai objek kajiannya. Dalam leksikologi, butir-butir leksikal suatu bahan dikaji asal-usulnya, bentuk dan pembentukannya, maknanya, penggunaannya, aspek bunyi dan ejaannya, serta berbagai aspek lainnya. Pakar yang melakukan kajian leksikologi ini lazim disebut leksikolog. Lalu, kalau kemudian hasil kajian leksikologi ini ditulis dan disusun secara alfabetis, maka bidang kegiatannya sudah termasuk leksikografi. Hasil penulisan atau kerja leksikografi akan berwujud sebuah kamus. Pakar dalam penyusunan kamus ini lazim disebut leksikograf.”
Selama puluhan tahun, Abdul Chaer berada dalam urusan leksikologi dan leksikografi. Penulisan buku itu makin mengesahkan peran Abdul Chaer sebagai pembuat kamus-kamus. Ia menunaikan misi membuat kamus saat publik memang memerlukan kamus-kamus. Kini, situasi berbeda setelah orang-orang abai kamus atau tak memerlukan lagi mengoleksi kamus-kamus edisi cetak. Segala urusan kata dan pengertian mulai mudah diperoleh dengan gawai atau pemihakan edisi daring.
Pada 1976, terbit Kamus Dialek Jakarta susunan Abdul Chaer. Kamus diterbitkan oleh Nusa Indah, Flores. Pada 2009, kamus diterbitkan lagi oleh Masup Jakarta. Kemasan berubah menandakan ada pertautan dengan suasana zaman mutakhir.
Abdul Chaer menerangkan tata cara pembuatan kamus: “(1) pencatatan kata-kata yang didengar dalam percakapan sehari-hari; (2) pencatatan melalui informan atau orang-orang yang secara kebetulan diajak bercakap-cakap; (3) menggunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta, cetakan ke-4, Jakarta, Balai Pustaka, 1966; Kamus Dewan oleh Teuku Iskandar, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970; Worteverzeichnis des Omong Djakarta oleh Hans Kahler, Berlin, 1966, sebagai bahan kajian dan bahan bandingan bagi kata-kata yang telah diperoleh dengan cara (1) dan cara (2); (4) menggunakan beberapa teks tertulis, seperti buku Terang Bulan Terang di Kali oleh SM Ardan, Gunung Agung, Jakarta, 1956; Nyai Dasima, juga oleh SMA Ardan, Pustaka Jaya, 1969 dan beberapa cerita berseri dari beberapa suratkabar dan majalah…” Kita mengerti bahwa membuat kamus memerlukan ketekunan, kesabaran, dan “keajaiaban”.
Kita sebagai pembaca geleng-geleng kepala. Kerja tak mudah tapi peminat kamus di Indonesia itu sedikit. Orang-orang mungkin mengerti dan terpengaruh saat menonton televisi atau tinggal di Jakarta. Mereka mengetahui ada keunikan dialek Jakarta. Pengalaman dan pengakuan itu belum tentu mengarahkan mereka sebagai pembuka halaman-halaman kamus.
Makna kamus itu berbeda: dulu dan kini. Kita memerlukan penjelasan Harimurti Kridalaksana (1975) mengenai faedah kamus disusun Abdul Chaer. Harimurti Kridalaksana itu pakar bahasa dan pembuat kamus, sekian bulan lalu pamitan dari kita dan dunia. Ia menjelaskan: “Sudah sejak lama pengaruh dialek Jakarta terasa dalam pemakaian bahasa Indonesia di Jakarta. Akan tetapi, kalangan yang memperkuat pengaruh itu ialah para remaja dan para pedagang. Para remaja yang sangat mementingkan solidaritas emosional melihat bahasa Indonesia sebagai bahasa sekolah tidak dapat dipergunakan untuk mengungkapkan fungsi akrab.”
Penjelasan masih sederhana. Pada masa berbeda, dialek Jakarta itu berpengaruh di seantero Indonesia setelah jutaan orang ketagihan menonton televisi. Sekian acara di televisi memungkinkan pengenalan dialek Jakarta. Industri film, iklan, dan beragam jenis hiburan masa Orde Baru turut memudahkan “penularan” dialek Jakarta. Kamus terbit pada 1976 tentu wajib mengalami perbaikan dan penambahan berbarengan perubahan-perubahan zaman.
Pada 2002, terbit Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Kamus diterbitkan Rineka Cipta, Jakarta. Penampilan kamus sederhana, agak susah menggoda orang untuk membaca dan mempelajari. Sederhana tapi berkhasiat bagi orang-orang mengerti masalah kebahasaan dan perkamusan.
“Keterampilan berbahasa bukan hanya ditentukan oleh penguasaan kosakat dan penguasaan kaidah-kaidah bahasa saja, tetapi juga oleh penguasaan akan ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam bahasa tersebut,” penjelasan Abdul Chaer. Kamus itu disusun berkaitan dengan diri sebagai pendidik, memiliki tanggung jawab besar agar murid-murid makin menggandrungi dan mahir berbahasa Indonesia. Kamus menjadi bekal atau pelengkap dalam belajar bahasa Indonesia.
Abdul Chaer pun terlibat dalam pembuatan pelbagai kamus di Indonesia. Ia terbukti “sakti”. Pada abad XXI, kita mungkin tak terlalu menggubris masalah kamus-kamus. Kesadaran berbahasa kita mengalami perubahan-perubahan besar tanpa janji suci untuk memuliakan kamus-kamus pernah terbit dan berpengaruh di Indonesia. Kini, di tatapan mata kita, kamus-kamus warisan Abdul Chaer itu mengesankan masa lalu saat berbahasa masih dalam “kewajaran-kewajaran”.
Di lakon hidup bergawai setiap hari, tata cara berbahasa dan kenikmatan penggunaan kata telah mengalami guncangan-guncangan tanpa lagi mengharuskan kita rajin membuka kamus-kamus. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/obituari-abdul-chaer-kamus-penjelasan-dan-warisan-b245356p/