Azyumardi Azra dan Jaringan Ulama

Sejak dari awal Islam Indonesia begitu sangat kosmopolit (sangat terkait dan berhubngan dengan dunia yang lain). Artinya, bukan Islam yang terpencil dan terpisah dari dinamika Islam di tempat lainnya. Azyumardi Azra mengatakan, dalam penelitiannya di jaringan ulama, terlihat bahwa para penuntut ilmu (murid-murid jawi) dari Nusantara belajar ke Makkah dan Madinah.

Di sana, mereka bertemu dan belajar kepada ulama-ulama yang kosmopolit berasal dari berbagai penjuru di dunia muslim. Belajar segala macam ilmu, mulai dari ilmu-ilmu eksoterik seperti fiqh, tafsir dan lainnya, hingga ilmu-ilmu esoteris seperti ilmu tasawuf dan sebagainya.

Keilmuan mereka lengkap. Hal inilah menurut Azra yang membuat Islam Indonesia begitu sangat kosmopolit dari dulu hingga sekarang ini. Jelasnya, bukanlah Islam yang asyik dengan diri sendiri, melainkan Islam terkait-berkaitan. Sisi lain, dalam keilmuannya, penting dicatat, para ulama dan murid jawi ketika pulang ke tanah air, mereka terlibat langsung proses kontekstualisasi Islam kedalam budaya lokal.

Itulah yang kita lihat misalnya dari pengalaman murid jawi menjadi ulama besar pada abad 17 seperti, Syaikh Abdurrauf as-Singkeli, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syekh Nuruddin ar-Raniri berlanjut abad 19 Syaikh Abdus Samad al-Palimbane, Muhammad Arsyad al-Banjari, Syaikh Nawawi al-Bantani, Shaleh Darat, Syaikh Mahfudz Termas semuanya sangat kosmopolit.

Baca juga:  Murid-Murid Imam Syafi’i (4): Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, Khadim Kesayangan Imam Syafi’i

Namun demikian, pada saat yang sama, mereka juga melakukan kontekstualisasi Islam atau istilah Gus Dur “Pribumisasi Islam”. Karena itu, sekiranya kita membaca karya-karyanya, selalu ada kata kontekstualisasi. Baginya, Islam aktual adalah Islam yang bisa dikontekstualisasikan, bukan Islam “imported” yang didatangkan dari tempat-tempat lain kemudian dicangkokan di Indonesia.

Sebaliknya, jaringan murid jawi kemudian bertranformasi menjadi ulama besar adalah ulama yang mempunyai pemikiran, supaya Islam yang mereka pelajari di Makkah dan Madinah bisa terkontekstualisasi dengan bahasa lokal. Tak hanya itu, mereka para ulama juga melakukan fernakuralisasi Islam. Mereka menjelaskan Islam dengan menggunakan bahasa lokal. Memang menggunakan bahasa Arab, tapi dengan pendekatan bahasa lokal sesuai dengan bahasa mereka.

Dengan fernakuralisasi, Islam kemudian menjadi “embedit” terpadu dengan budaya lokal. Inilah yang memberikan kontribusi penting dalam membangun (distingsi) sebuah Islam khas Indonesia. Tidak hanya membangun tradisi keagamaan, mereka para jaringan ulama juga membangun tradisi intelektualisme-intelektualisme Islam.

Syahdan, cukup memprihatinkan, pengetahuan masyarakat muslim Indonesia tentang ulama-ulama mereka sendiri begitu sangat kurang. Kajian-kajian yang ada di kampus-kampus lebih berfokus (ketika bicara ulama) pada ulama Timteng. Padahal, merekalah yang melakukan kontekstualisasi ajaran Islam untuk kepentingan masyarakat muslim Nusantara.

Salah satu ulama besar misalnya, tapi pemikirannya jangan disoroti adalah Abdurrauf as-Singkeli. Ia adalah ulama kelahiran Aceh yang berhijrah ke Haramain untuk memperdalam Islam. Ia juga murid jawi yang sangat terkenal dan ahli berbagai bidang seperti, ilmu fiqh dibuktikan dengan kitabnya Mir’ah al-Thullab, ilmu tasawuf dengan berbagai kitab tasawuf, dan juga penulis tafsir pertama dalam bahasa melayu di Nusantara dengan judul Tarjuman al-Mustafid.

Menarik, masa hidupnya adalah masa kesultanan Aceh yang diperintah oleh Ratu (sultanah). Meski ulama jebolan Makkah dan Madinah, ia masih menerima akan kepemimpinan mereka para Ratu. Ketika pulang kampung, ia sama sekali tak mengajarkan masyarakat Aceh untuk mengganti Ratu, justru memberikan kontekstualisasi di dalam fiqhnya bahwa, persyaratan untuk menjadi pemimpin politik dalam negara Islam (masyarakat muslim) tidak harus laki-laki, boleh jadi perempuan.

Baca juga:  Ulama Banjar (159): KH. Jarkasyi Hasbi

Alih-alih memberikan kontekstualisasi didalam fiqhnya, Abdurrauf as-Singkeli menerima akan berkuasanya seorang Ratu atau sultanah di Aceh saat itu. Menurut Azra, kepemimpinan ini (Ratu) adalah presiden yang sangat baik, dalam hal ini jika kita membahas tentang kesetaraan perempuan di dalam masyarakat muslim.

Maka, contoh yang diberikan Abdurrauf as-Singkeli jelas menunjukan bahwa, kepemimpinan politik tidak harus (wajib) dan hanya untuk laki-laki semata, melainkan bisa dipegang oleh seorang perempuan selama bisa menjalankan roda pemerintahan, berlaku adil sesuai dengan tugas-tugas dari seorang pemimpin dalam Islam.

Hal lain yang tak kalah menarik adalah, berbagai study mengatakan bahwa Abdurrauf as-Singkeli adalah ulama besar dengan intelektualisme yang sangat tinggi. Guru besar tasawuf Jerman, Annemarie Schimmel mengatakan, sejauh menyangkut tulisan Abdurrauf as-Singkeli tentang tasawuf, maka karya-karya tasawufnya sangat brilian dan otientik.

Azra juga menegaskan, bahwa kita hari masih (wajib) dan perlu mengkaji lebih banyak lagi tentang intelektualisme Islam, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para ulama kita di masa silam, sehingga bisa mengapresiasai pemikirannya. Terlebih, kita bisa mengembangkan pemikirannya di Indonesia hari ini dan untuk nanti. Wallahu a’lam bisshawab.

https://alif.id/read/safa/azyumardi-azra-dan-jaringan-ulama-b245399p/