Di musim kemarau ini, banyak sekali debu yang berterbangan dan mengotori rumah saya. Ibu saya pun kerap kali mengintruksikan pada setiap anggota keluarga untuk segera menutup pintu depan saat hendak masuk rumah, agar debu yang berterbangan tidak mengotori rumah bagian dalam. Setiap pagi dan sore, ibu saya juga harus menyapu (dan kadang disertai ngepel) teras depan dari debu-debu yang menempel di atasnya.
Berbeda halnya dengan musim penghujan, instruksi ibu tidak lagi perihal kerja menutup pintu, alih-alih ibu lebih suka agar keluarganya membersihkan kaki saat hendak masuk ke rumah. Setiap harinya, ibu saya pun perlu menyediakan keset yang bersih di depan pintu masuk rumah. Di lain sisi, untuk membersihkan teras depan yang dikotori air hujan, setiap hari ibu juga perlu menyapu dan sesering mungkin mengepelnya.
Kira-kira, berada di musim apa diri kita sekarang? Apakah di musim kemarau? Atau kah di musim penghujan? Saya melihat, kita tak berada di kedua musim itu. Namun kini, kita berada di musim sambo, musim demo BBM, dan aneka macam musim lainnya. Musim yang bergantinya bukan karena harus berganti, namun terkait layak dan tidak layaknya dimuat oleh empunya kepentingan.
Sedemikian, kita tak perlu khawatir dengan musim yang dihadirkan itu. Hanya saja, kita perlu waspada pada anggota keluarga yang berpotensi membawa kotoran yang dapat menghilangkan kebersihan rumah bagian dalam. Oleh karena itu, tidak dapat tidak kita memfungsikan figur Ibu dalam diri yang kita punya, sehingga teras depan rumah dapat segera dibersihkan dan rumah bagian dalam tak terkotori.
Ibu, dalam hal ini adalah simbol dari akal dan spiritualitas. Teras depan rumah adalah pikiran yang kita punya. Bagian dalam rumah adalah hati nurani. Adapun kotoran adalah simbol dari pelbagai informasi negatif yang dibawa media massa. Mulai dari berita bohong (hoax), iklan-iklan komersial, konten-konten sensasi para influencer, hingga aneka berita, status, dan komentar kemarahan yang berseliweran di media sosial.
Sayangnya, banyak orang modern yang kurang memfungsikan (bahkan kehilangan separuh) figur ibu dalam dirinya. Bukan karena tak memiliki kesempatan untuk memfungsikannya, tapi karena kemalasan dalam merawat ibu yang mereka miliki. Alhasil, dengan mudah kotoran-kotoran itu masuk dan menjadikan rumah tak nyaman ditinggali. Utamanya, bagi anak-anak berupa kebahagiaan, kesejahteraan (well-being), dan ketenangan.
Dengan itu, maka mari kita rawat dan fungsikan ibu yang ada dalam diri kita, sehingga dapat menyaring kotoran yang hendak masuk. Dalam hal ini, tidak ada cara selain melatihnya agar mampu berpikir kritis. Di lain sisi, kita juga perlu spiritualitas, karena kita juga butuh perannya untuk membersihkan kotoran depan rumah dan bagian dalamnya yang mungkin terkotori akibat ketidakwaspadaan akal.
Hal sederhana yang dapat dilakukan untuk menyaring kotoran yang dibawa media massa adalah dengan melihat lima hal pada setiap informasi: true (kebenaran), helpful (kebergunaan), legal, necessity (keperluan), dan kind (kebaikan). Jika setelah dilakukan pengecekan, informasi tersebut tidak memenuhi kelima kriteria itu, maka kita perlu segera mengabaikannya daripada memasukannya dalam pikiran.
Adapun agar teras depan dan bagian dalam rumah dapat bersih kembali dari aneka macam kotoran, kita perlu memfungsikan spiritualialitas. Dan beruntungnya, sebagai orang Islam, kita telah memiliki media untuk melakukan kerja pembersihan itu. Allah telah menganugerahkan cara terbaik untuk membersihkan kotoran dan debu yang menempel di teras rumah kita. Dan itu adalah salat.
Dalilnya sangat jelas. Dalam Quran surat Al-Ankabut ayat 45 Allah berkata, “Bacalah Kitab (Alquran) yang telah diwahyukan kepadamu dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Jika salat tak mampu membersihkan teras rumah (baca: pikiran) dan bagian dalam rumah (baca: hati nurani) yang telah terkotori, barang tentu ia tak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Oleh karena ia mampu melakukannya, maka terang bahwa salat mampu membersihkan pikiran dan hati penikmatnya dari aneka jenis kotoran yang telah menempel di rumah kita.
Melihat itu, maka sebenarnya kewajiban salat tidak dimaksudkan untuk mengintrupsi aktivitas keseharian yang dijalani manusia. Sebab, kehadirannya bermaksud untuk menyucikan manusia dari pelbagai kotoran yang menempel padanya. Maka semestinya manusia tak perlu protes atas pekerjaan itu, alih-alih menjalani dan menikmatinya dengan penuh kekhusukan.
Sesuai pekerjaan yang dilakukan ibu dalam membersihkan rumahnya, maka bukan hanya menyapu (dengan salat lima waktu) yang diperlukan, kita juga perlu sekerap mungkin mengepelnya (dengan salat sunnah) agar diri kita nyaman ditinggali oleh anak berupa kebahagiaan dan ketenangan itu. Artinya, kita tak dapat hanya mendirikan salat maktubat namun juga perlu dilanjutkan dengan nawafil.
Maka tak heran, jika Rasulullah saat sedang berperang dan banyak stimulus negatif yang menghampiri beliau mengerjakan salat. Sebagaimana dikatakan Hudzaifah Ibnu al-Yaman, “Pada malam berlangsungnya Perang Ahzab, saya menemui Rasulullah SAW, sementara beliau sedang salat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Apabila Nabi SAW menghadapi permasalahan, beliau akan mengerjakan salat.”
Mengapa salat bisa sedemikian ampuh dalam membentengi dan membersihkan diri dari pelbagai hal negatif? Menurut saya, karena salat adalah Space Between (Ruang Antara). Suatu zona temporal antara stimulus dan respon – sang penunda antara kesadaran atas sesuatu dan reaksi yang kita pilih pada stimulus yang hadir. Adapun konsep ini dikonstruksi oleh seorang pemikir, Ted Cadsby (2021) dalam bukunya Hard to Be Human.
Lebih jauh, bahkan Cadsby menyatakan bahwa Space Between adalah, “yang mendefinisikan apa artinya menjadi manusia dan menantang kita untuk menjadi ‘lebih manusiawi’… Space Between membedakan kita dari hewan lain dan membedakan manusia yang paling produktif dan puas (dengan hidupnya) dari yang kurang produktif dan kurang bahagia. Semua solusi kesulitan manusia bergantung pada mengakses ruang ini.”
Mengapa Space Between bisa sedemikian luar biasa fungsinya? Menurut Cadsby, karena ia dapat menenangkan pikiran manusia yang terlalu aktif (overactive), itu yang pertama. Kedua, sebab ia memberi kesempatan bagi Sistem berpikir 2 (Slow Thinking) untuk berfungsi di saat Sistem Berpikir 1 (Fast Thinking) mendominasi. Ketiga, karena ia dapat menjadi sarana dalam mengaktivasi metakognisi (the ability to think about how we think).
Mengapa saya katakan salat adalah Ruang Antara? Hal ini karena dengan salat kita dapat memberi ruang dan mengambil jarak dari setiap aktivitas dan stimulus yang ada alih-alih langsung meresponnya. Di mana di dalamnya, kita dapat mereaktivasi metakognisi dan membersihkan pikiran-pikiran negatif yang menempel, sehingga dapat kembali dengan respon yang lebih segar dan objektif.
Oleh karenanya, tidak ada alasan lagi untuk tak menegakkan salat jika memang yang kita inginkan adalah kewarasan dan kesejahteraan mental. Bismillah.
REFERENSI :
Cadsby, T. (2021). Hard to be human: Overcoming our five design cognitive flaws. Ontario: Dundurn Press.