Fenomena pertama di atas melahirkan manusia-manusia yang kaku dalam beragama, landasan berfikirnya hanya teks belaka, mereka biasanya cenderung tekstualis. Seperti ini karena kebanyakan dari mereka belajar tidak sampai ke dagingnya, hanya kulit. Tidak belajar yang dengan metode ngaji bersimpuh di depan guru. Karena untungnya model belajar ngaji seperti ini, selain belajar ilmunya, kita juga belajar perilaku gurunya secara langsung. Baik perilakunya sehari-hari, sikap-sikapnya ketika ditanyai sebuah permasalahan hukum, atau fatwa-fatwanya. Sehingga kita akan sekaligus belajar bagaimana seorang guru itu mengambil hukum dari sebuah pemahaman teks yang dipadukan dengan pemahaman realitasnya.
Sementara fenomena yang kedua itu menetaskan manusia-manusia yang mengaku pintar tetapi kelewat batas dalam menggunakan akalnya untuk memahami ajaran Islam. Landasan berfikirnya hanya menuhankan akalnya semata, alias rasionalis. Sehingga dia tidak mampu untuk memahami ajaran-ajaran yang sebenarnya sudah paten, tidak bisa dirubah atau dipertanyakan alasanya, tapi ia tatap ngotot menanyakan hal yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan atau mencari alasan yang pada dasarnya memang tidak punya alasan. Sehingga ujung-ujungnya tatkala dia tidak mendapatkan apa yang diinginkanya dia mulai menyoal agamanya dan menganggap agama tidak masuk akal sama sekali.
Islam sendiri dalam ajarannya, mempunyai dua corak. Pertama, ajaran atau syariat yang sifatnya ta’abudiyah, yaitu suatu ajaran yang sifatnya tidak bisa dipertanyakan alasanya. Seperti jumlah rokaat solat dalam sehari, ukuran kewjiban mengeluarkan zakat. Hal-hal seperti ini tidak maungkin bagi manusia untuk menganalogikanya, paling jauh mereka hanya bisa menemukan hikmahnya saja.
Kedua, adalah ajaran yang sifatnya mu’allalah yaitu ajaran yang mempunyai alasan dalam pensyariatanya, atau bisa dilogikakan. Misalnya banyak sekali, seperti melogikakan kasus sholat kumat bagi perempuan. Sholat Jumat adalah kewajiban laki-laki, tatkala hari Jumat mereka tidak usah melaksanakan sholat dhuhur, toh sudah solat Jumat, alias gugur solat Jumatnya.
Nah, ketika ada perempuan ikut melaksanakan solat Jumat yang baginya itu hanya kesunahan alias tidak dianjurkan dalam syariat, maka si perempuan tadi juga ikut gugur solat dluhurnya. Lantas logika apa yang menjadikan si perempuan ikut gugur dluhurnya, padahal baginya Jumat hanya kesunahan? Kalau lakai-laki gugur wajar, dari awal Jumat itu kewajiban bagi mereka. Kalau perempuan tidak, tetapi kenapa konsekuensinya sama.
Di sini, Islam menjawab dengan logika sederhananya, yang biasa disebut Analogi lebih utama atau Qiyas Awlawi . polanya begini, jika laki-laki saja yang notabenenya Muslim yang Kamil istilah ini merujuk laki-laki yang sudah baligh, berakal, itu pun gugur solat dluhurnya, dikarenakan melaksanakn solat Jumat, apalagi perempuan yang tidak termasuk Muslim kamil. Cuman dalam benak penulis masih ada kejanggalan dalam Term “Muslim Kamil”, bukankah itu artinya perempuan Ghoir Kamil alias tidak sempurna, itupun secara apa? agama atau gender?, penulis sendiri masih memikirkannya dalam hal ini.
Kemudian contoh lagi seperti ini, ada laki-laki –riwayat lain menyatakan perempuan- dari tanah nun jauh disana bertanya kepada Baginda Nabi SAW, “Wahai utusan Allah, aku mempunyai Bapak yang ketika masuk Islam sudah Berumur senja, dan dia sudah terkena kewajiban berangkat Haji, apakah kemudian aku harus menggantikannya Haji?” jawabnya Nabi SAW “apakah jika bapakmu mempunyai hutang engkau wajib melunasinya?” “iya wahai Rosul” jawab laki-laki itu. “maka Haji pun demikian” Rosul melanjutkan penjelasnya atas pertanyaan dari salah satu umatnya itu.
Secara tidak langsung Nabi SAW mengajarkan kepada kita yang namanya sebuah metode Analogi, di mana beliau menyamakan Qodlo Hutang dengan Qodlo Haji yang Illat nya sama, yaitu sama-sama hukumnya wajib. Pembahasan seperti ini, ada dalam agama Islam. Sudah jauh-jauh hari Nabi SAW kita yang langsung mengajari bagaimana mengolah logika kita dalam beragama.
Ada lagi potret logika sederhana yang terlihat dari sosok sahabat agung Umar Bin Khattab, ceritanya suata hari ia bertanya perihal mencium istri yang tidak sampai mengeluarkan mani di bulan suci Ramadlan. Nabi SAW menjawab “apakah berkumur itu membatalkan wudlu ketika di bulan Ramadlan?” “tidak wahai Nabi” jawab Umar. “ya sudah, mencium tanpa inzal atau keluarnya mani juga seperti itu hukumnya, keduanya hanya wasilah alias perantara menuju perkara yang membatalkan”.
Di sini, Nabi mengajarkan satu kaidah penting dalam beragama yaitu, selama wasilah tidak benar-benar menjerumuskan kepada sesuatu yang madlarat, maka hukumnya mubah atau boleh-boleh saja. Kaidah ini, benar-benar akan membantu dan menjadi formula dalam memecahkan permasalah-permasalah hukum yang berkaitan dengan dunia hari ini, jelasnya suatu perkara yang tidak ada di zaman kenabian. Seperti hukum rokok, musik dan lain sebagainya, itu hanyalah wasilah, tinggal bagaimana menggunakanya, apakah dalam kebaikan atau keburukan.
Jadi, sudah jelas dari beberapa contoh yang sudah disuguhkan tadi, bahwa ajaran syariat Islam tidak melulu yang ta’abudi, tetapi ada juga yang disyariatkan melalui olah akal atau yang Mu’allah. Dari sini kian terlihat bahwa sesungguhnya Islam berhasil memadukan antara kecenderungan teks dan akal dalam menentapkan syariatnya. Islam mendayagunakan sumber-sumber riwayat yang berupa teks kemudian dipahami dengan benar, runut dan logis menggunkan akal. Sehingga agama Islam bisa kita sebut moderat ketika dilihat dari sisi ini; memadukan antara fungsi teks dan akal secara optimal.
Pola pemahaman Islam yang seperti inilah yang bisa mendatangkan kedamaian serta kesejahteraan, daripada pemahaman Islam yang extrem kanan atau kiri. Nabi SAW dawuh “sebaik-baiknya perkara adalah yang tengahnya” bisa ditafsiri makna “tengah” dengan moderatisme. Jadi, Islam dengan pola moderatlah yang sangat ideal.