Ekologi dalam Islam (3): Digitalisasi Kitab Kuning dan Dampak Positifnya Terhadap Lingkungan

Abad 21 merupakan masa dimana kemajuan teknologi terasa sangat berguna bagi manusia. Perkembangannya juga merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Penemuan baru akan selalu muncul. Hampir semua orang kini tak bisa dipisahkan dari teknologi, termasuk pesantren. Kini, hanya dengan benda kubus kecil dengan ukuran 4 inci, semua orang sudah bisa mengakses kabar dari seluruh dunia. Dengan waktu singkat, mereka sudah dapat membaca apapun yang ingin mereka ketahui.

Karena arus informasi telah sedemikian mudah, hampir semua orang  mengandalkan internet dalam mengakses informasi, termasuk informasi keagamaan. Kalangan pesantren tentunya merespon hal ini. Salah satunya, dengan upaya pendigitalisasian kitab kuning.

Hal ini terbukti memberi manfaat yang sangat besar. Para santri, alumni pesantren atau bahkan masyarakat umum yang ingin menelisik khazanah keilmuan turats, kini hanya dengan  gadget sudah bisa membuka kitab yang berjilid-jilid. Tentu cara ini lebih praktis dan murah dari pada membeli kitab aslinya yang harganya relatif mahal. Ramadlan di tengah pandemi kemarin, beberapa santri bahkan mengikuti pengajian online dengan menggunakan kitab-kitab digital. adapula kyai dan ustadz yang mengajar menggunakanya.

Digitalisasi turats terbukti memiliki dampak positif. Namun yang patut pula diperhatikan, ada sebuah metode pembelajaran kitab kuning yang telah menjadi ciri khas pesantren, yakni maknani/ngesahi. Proses pendidikan pesantren sangat erat kaitannya dengan metode ini. Literartur turats yang berbahasa Arab diajarkan di pesantren dengan diterjemah oleh para kiai dan ustadz menggunakan metode tersebut. Para santri akan memaknai/ngesahi kata perkata dalam kitab mereka sesuai arti yang disampaikan oleh kiainya.

Makna gandul sejak lama telah menjadi metode penerjemahan bahasa Arab ke bahasa lain. Ia terbukti telah mampu menjadi metode yang paling bisa menjembatani jurang perbedaan bahasa. Menterjemahkan bahasa Arab dengan ringkas bukanlah hal yang mudah. Bentuk kata, huruf dan harokat dalam bahasa Arab memiliki fungsi tersendiri. Berubahnya kerangka bentuk kata atau harokatnya pasti juga merubah arti maupun ketegasan artinya. Misal dalam lafadz

Baca juga:  Kisah Aktivis Kecopetan Sebelum Mewawancarai Gus Dur

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ[1]

Mungkin kebanyakan orang akan menerjemah ayat ini dengan “dan Allah tidak menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka.”

Huruf ma pada lafadz ma kana memiliki arti “tidak” yang berguna untuk menafikan (menegasikan) kata kerja setelahnya. Sehingga bermakna Allah tidak akan menghukum”. Namun pada kata kerja setelahnya yang berupa lafadz “yu’adzibahum” ditambahkan pula huruf “lam”. Huruf lam ini dalam ilmu nahwu (gramatikal Arab) disebut “lam juhud” yang berfungsi memberikan penguat penafian huruf nafi sebelumnya.

Oleh karena itu, ayat tersebut jika di maknai di pesantren salaf akan berbunyi

Wa ma kana Allahu = “lan ora ono sopo Allah (dan Allah tidak)”

 liyu’adzibahum = “iku, kok nyiksa sapa Alloh ing kufar, ngono ora (menyiksa orang kafir, hal yang seperti itu benar-benar tidak akan terjadi)”.

Wa Anta fihim = “hale utawi sira (Muhammad), iku tetep ingdalem antarane kafir Mekah (sedangkan kondisimu masih berada di antara  mereka)”

Jadi, makna lengkapnya menjadi “dan Allah tidak akan menghukum orang-orang kafir Qurays (hal seperti ini benar-benar tdak akan terjadi) selagi engkau (Muhammad) berada diantara mereka”. Ada penegasan bahwa Allah benar-benar tidak akan menyiksa mereka.

Bagaimana? Sulit bukan menerjemah bahasa Arab agar tetap sesuai dengan makna dan dilalah-nya (maksud yang di tuju oleh sebuah lafadz)?. Penjelasan diatas masih merupakan kekomprehensifan makna gandul dalam segi arti, belum lagi praktisnya metode ini dalam dalam mengurai tarkib (kedudukan kata dalam susunan kalimat)[2].

Maka dari itu, penggunaan makna gandul dalam sistem pesantren tetap dipertahankan sampai kini, hal yang demikian bukan hanya sebuah upaya pelestarian tradisi semata. Namun lebih dari itu, makna gandul memang merupakan metode translate bahasa Arab ke bahasa lain yang paling komprehensif, karena dapat mencangkup makna, tarkib (kedudukan kata dalam susunan kalimat) serta dilalahnya.

Oleh karena itu, jika ikhtiar digitalisasi kitab kuning telah dilakukan, maka sudah selayaknya perlu pula diupayakan pembuatan aplikasi maknani. Apakah hal ini merupakan hal yang mustahil? tentu tidak, jika menilik perkembangan teknologi yang semakin pesat dan produk penemuannya tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Baca juga:  Hirsh Kiai Sahal

Pada gilirannya upaya ini tentu akan mempermudah sistem pendidikan pesantren, dan juga rasanya kini banyak sekolah yang menjadikan pembelajaran kitab kuning sebagai produk ekstrakulikuler.

Memang beberapa pesantren membatasi penggunaan teknologi gadget bagi para santrinya. Hal ini bukan berarti pesantren kolot dan tidak memperhatikan perkembangan teknologi, namun lebih sebagai upaya mendidik santri agar lebih fokus belajar tanpa terganggu.

Apakah pesantren yang seperti ini ketinggalan informasi? tentu tidak. Pesantren  menyediakan koran dan media informasi lain. Buktinya? anda bisa lihat, banyak sekali penulis pesantren yang masih aktif di pondok dan tidak memegang gadget, namun tetap produktif menulis dan menyikapi isu aktual.

Sementara, aplikasi ini bisa digunakan oleh pesantren yang telah memberikan akses pada santrinya untuk membawa gadget, ataupun kalangan mahasiswa dan santri kalong yang memiliki minat ngaji kitab kuning dengan makna gandul yang tentu jumlahnya juga tidak sedikit.

Selain itu, upaya ini juga memiliki sumbangsih dalam ikhtiar merawat lingkungan. Mengapa? karena kertas terbuat dari pohon. Padahal satu pohon hanya dapat menghasilkan kurang lebih 115 rim kertas.

Sedangkan belasan juta ton kertas terproduksi setiap tahunnya. Juga pada umumnya, yang digunakan sebagai bahan dasar bubur kertas adalah pohon yang sudah lebih dari 5 tahun dengan diameter 30 cm dan tinggi diatas 10 m. Maka dari itu, upaya pendigitalisasian kitab kuning dan perangkatnya setidaknya akan ikut mengurangi konsumsi kertas.

Baca juga:  Antara Ulama Organik dan Biopolitis: Berkaca pada Gus Dur

Apakah hal ini akan segera terwujud? semoga tulisan ini bisa menggugah kalangan pesantren. Atau mungkin, tidur kami terlalu lelap hingga mimpi ini terasa sangat indah. Wallahu a’lam

[1] QS. Al Anfal: 33

[2] Tarkib sangat penting dalam proses memaham teks bahasa arab, karena ia menjelaskan kedudukan kata dalam susunan kalimat, seperti fa’il (subyek), maf’ul (obyek), fi’il (predikat), dlorof (keterangan waktu dan tempat), hal (keterangan kondisi subyek saat melakukan predikat).

Coba anda lihat, dalam literatur arab pun untuk menjelaskan tarkib ayat diatas sangat panjang penjelasanya;

(وَما) الواو استئنافية. (ما) نافية. (كانَ الله) كان ولفظ الجلالة اسمها. (لِيُعَذِّبَهُمْ) مضارع منصوب بأن المضمرة بعد لام الجحود ، والهاء مفعوله والميم لجمع الذكور. (وَأَنْتَ) ضمير منفصل في محل رفع مبتدأ ، والواو حالية. (فِيهِمْ) متعلقان بمحذوف خبر المبتدأ ، والجملة الاسمية في محل نصب حال

wawu berfungsi sebagai tanda permulaan paragraf, ma berguna sebagai huruf nafi (penegatifan kata kerja), lafadz Allah adalah isim (subyek)nya kaana, liyu’adzibahum adalah fi’il mudlori’ yang terbaca nashab dengan an yang disimpan setelah lam juhud, ha’ adalah maf’ulnya, mim adalah kata untuk menunjukan bahwa obyek berupa kata jama’, wa wanta adalah mubtada’ yang dibaca rafa’, fiihim merupakana khobar mubtada’,  susunan lafadz wa anta fiihim berfungsi sebagai penjelas kondisi kejadian lafadz sebelumnya”

Coba bandingkan dengan metode makna gandul pesantren;

Metode makna gandul lebih singkat dan praktis karena menggunakan rumus, namun tetap dalam karena dapat mencangkup penjelasan tarkib dan makna secara keseluruhan.

https://alif.id/read/wfy/ekologi-dalam-islam-3-digitalisasi-kitab-kuning-dan-dampak-positifnya-terhadap-lingkungan-b245509p/