40 Tahun Catatan Pinggir Goenawan Mohamad: Sebuah Perjalanan

Mula-mula, esai-esai pendek yang ditulis Goenawan Mohamad (GM) itu dimaksudkan sebagai pengisi ruang kosong sekaligus mengelakkan kebosanan para pembaca majalah Tempo. Kehadirannya di tiap minggu yang mendompleng edisi terbarukan majalah Tempo, ternyata selain menambah jumlah esai pendek tersebut juga menambah pula jumlah penggemarnya. Para penggemar yang kian hari makin bertambah itu rupanya menyurati pihak Tempo dengan maksud menuntut untuk dibukukannya esai-esai pendek tersebut.

Kemudian hari, kita menemukan buku berjudul Catatan Pinggir terbitan Penerbit Grafiti tahun 1982. Buku tanpa nomor seri penjilidan ini sebagai penanda bahwa 40 tahun lalu, pihak Tempo memenuhi keinginan para penggemar esai-esai pendeknya. Dari prakata buku ini, kita jadi tahu cerita awal munculnya esai-esai pendek yang kemudian hari dikenal sebagai Catatan Pinggir.

Rubrik Catatan Pinggir hadir untuk mengganti rubrik yang bernama Fokus Kita. Tulis penerbit, “adapun ruang ‘Fokus Kita’ semula perkenalan para wartawan Tempo yang mengisi suatu nomor” Namun, dikarenakan para wartawan Tempo yang kala itu jumlahnya masih sedikit, isi di rubrik Fokus Kita terjadi pengulangan-pengulangan yang terasa membosankan, maka “mulai 5 Maret 1977, isinya diganti. Gantinya adalah esai pendek. Itulah cikal-bakal ‘Catatan Pinggir’.”

Isi esai-esai pendek yang tidak lebih dari dua halaman memang dimaksudkan untuk semcam komentar-komentar atau coretan-coretan di atas kertas kosong di tengah suara orang ramai. Penulisanya, GM, tidak bermaksud menjadikan esai pendeknya sebagai penunjuk arah keluar dari beragam masalah yang dianalisis secara kritis dengan bumbu-bumbu teori para pakar. Hanya semacam refleksi. Refleksi dari kejadian yang ramai dipergunjingkan saat itu juga. Lebih tepatnya kata penerbit, tulisan GM itu “semacam marjinalia: catatan-catatan yang kita torehkan di tepi halaman buku yang sedang kita baca. Dari situlah nama ‘Catatan Pinggir’ sebenarnya ditemukan: percikan pikiran pendek dan cepat di antara lalu lintas ide dan peristiwa-peristiwa.”

Baca juga:  Masjid, Ideologi, dan Asmara

Th. Sumartana, yang dipercaya memberi pengantar buku kumpulan Catatan Pinggir pertama ini mengungkap “Goenawan banyak memanfaatkan tamsil, ibarat, perumpamaan, cerita sejarah (bahkan juga cerita anak-anak), riwayat para tokoh, renungan keagamaan, serta menimba inspirasi dari berbagai literatur – meski jauh dari pretensi untuk membuat suatu karya ilmiah; kumpulan karangan ini pula tidak dimaksudkan sebagai semacam kumpulan kuliah.”

Pada tulisan berjudul “Bung Hatta Wafat” (22/03/1980), misalnya. Ditengah suasana duka kehilangan proklamator, GM tidak menulis obituari layaknya penulis-penulis lain yang mencoba mendedahkan pikiran-pikiran Bung Hatta, ataupun ketersinggungan penulis dengan sosok yang sedang ditulisnya. Ia malah menulis “Ketika Bung Hatta memimpin PNI Baru di tahun 1930-an, ia menghadapi keresahan-keresahan di desa-desa.” Dan mengambilkan contoh dari Indramayu, Jawa Barat, dimana pada Maret 1932, sekitar 700 orang desa bersenjata menebang pohon dihadapan para petugas yang tak berdaya.

Penebangan itu terjadi menurut GM, karena rakyat frustasi akibat depresi ekonomi, dan juga ogah-ogahan untuk menaati hukum pemerintah yang asing bagi mereka serta tak mampu menjamin kelangsungan hidup tanpa kelaparan dan penderitaan. GM kemudian menutup tulisan itu “setengah abad kemudian tentu saja tidak ada lagi PNI Baru dan tak ada Van der Plas. Bung Hatta juga telah wafat. Tapi benarkah telah berubah desa-desa tempat para penebang liar itu?”

Baca juga:  Memahami Beragam Fitrah Manusia dan Tugas Kehambaan

Pembaca mungkin kecewa karena ketidakhadiran pokok pikiran Bung Hatta, ataupun teori-teori menterang dalam tulisan yang satu itu ataupun lainnya. Tapi, menurut penulis, justru itulah ciri khas yang membuat Catatan Pinggir menarik. GM membawakan sebuah renungan kecil mendalam yang sering menggugat dan terlupakan dalam arus pemikiran-pemikiran besar. GM seolah mencoba berteriak “adakah bedanya kala dijajah dengan merdeka? Sudahkah terpenuhi janji keadilan sosial ekonomi seperti yang dijanjikan saat dan setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan?”

Tulisan-tulisan terus berdatangan. Bertambah banyak. Buku kumpulan Catatan Pinggir yang awalnya tak diberi nomor penjilidan pun kini berubah, di sampul telah dibubuhi nomor 1, 2, 3, dan seterusnya. Di buku selanjutnya, Catatan Pinggir 2, terbitan Penerbit Grafiti, 1989. Dalam pengantar, penerbit mengatakan buku kumpulan ini ternyata mendapat sambutan positif dari khalayak pembaca. “Jika seluruhnya (Catatan Pinggir) diterbitkan dalam satu buku, ketebalannya kurang lebih jadi dua kali lipat dari buku pertama. Oleh sebab itulah kumpulan tersebut kami pecah lagi menjadi dua bagian besar. Atau dengan kata lain, dalam waktu tidak terlalu lama lagi buku ini, Catatan Pinggir 2, kelak akan disusul oleh Catatan Pinggir 3.” Dan penerbit juga menjanjikan “dengan mempertimbangkan gejala semacam itu, tiap buku Catatan Pinggir yang mewakili suatu periode tertentu kami carikan pihak yang berkompeten untuk memberi Kata Pengantar.”

Sampai tulisan ini dibuat, kita tahu bahwa buku kumpulan Catatan Pinggir sudah mencapai jilid yang ke 14. Jumlah esai pendeknya mungkin sudah mencapai ribuan. Dan kita dibuat ngos-ngosan tapi ketagihan untuk terus mengikutinya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (108): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (3)

Kita kemudian membayangkan, karena saking banyaknya jumlah Catatan Pinggir itu, mungkin GM sangat mencintai dan menikmati suasana saat menulis Catatan Pinggir itu. Tapi sayang, bayangan terkadang sangat berlawanan dengan realitanya. GM sangatlah tersiksa rupanya dengan terus-terusan menulis Catatan Pinggir itu. Kita bisa membaca kesaksian itu di majalah Playboy edisi Januari 2007. Ketika diwawancari oleh Playboy, GM mengungkapkan, “Tiap minggu (menulis Catatan Pinggir) itu sebenarnya perjuangan berat. Saya melakukannya kadang dengan kebanggaan, dengan kesombongan, kadang karena dorongan kesal pada keadaan, sedih. Kadang saya mengutuk, kenapa ini sata lakukan terus-menerus.” GM juga menganggapnya sebagai karma, “Kalau tulisannya bagus saya senang. Kalau tulisannya tidak bagus saya mencoba melupakannya.”

Untuk menulis satu esai pendeknya ini pun, GM membutuhkan waktu yang tak singkat, katanya “Lima jam nonstop. Saya tidak tidur, tidak makan. Itukan menyiksa.” Dan GM tak akan beranjak sampai esai pendek untuk Catatan Pinggir itu selesai, biasanya paling cepat terselesaikan dalam tiga jam. Dan terakhir, terkait dengan isinya sendiri, ketika ditanya esainya yang “ragu-ragu”, GM menjawab, “Mungkin betul. Saya tidak mudah untuk memberi penilaian tentang hidup dan manusia lain. Karena memang kompleks. Saya tidak punya sikap yang cepat menghakimi. Karena saya selalu terbentur pada kenyataan bahwa saya terbatas juga.”

Dari GM terakhir yang mungkin perlu kita catat sebagai penuntun membaca Catatan Pinggir yang bakal melegenda ini adalah bahwa tugas tulisan bukan memberikan kepastian tapi justru menggugat kepastian sehingga orang selalu menjelajah untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dari segi-segi yang tak terlihat.

https://alif.id/read/aks/40-tahun-catatan-pinggir-goenawan-mohamad-sebuah-perjalanan-b245559p/