Penyair dan sastrawan muslim Jalaludin Rumi pernah menyatakan, bahwa tugas manusia yang paling utama bukanlah mencari kebahagiaan, karena kebahagiaan itu sudah ada dalam diri manusia. Namun, yang terpenting adalah mencari dan menemukan segala penghalang yang telah dibangun manusia untuk menutupi kebahagiaannya sendiri. Ada kabut-kabut gelap yang menyelubungi batin manusia, hingga mata-hatinya tak mampu melihat keindahan di sekelilingnya. Jika kabut itu tersingkap, maka fitrah dan kesucian manusia akan tampak dengan sendirinya.
Jika manusia kembali pada fitrahnya yang hakiki, ia akan senantiasa tegak dan teguh dalam menghadapi penderitaan hidup. Ia akan selalu tegar menerima penderitaan dan menjalaninya, sebagaimana air yang tak pernah takut akan panasnya api. Orang yang telah sampai pada maqam ini, ia takkan merasa bersedih atas kehilangan apapun yang luput dari tangannya, karena ia senantiasa yakin bahwa segala sesuatu yang hilang pasti akan hadir kembali, meskipun dalam bentuknya yang berbeda.
Jarang manusia mampu menikmati penderitaan sebagaimana kaum sufi dan para waliyullah. Bagi mereka, penderitaan hidup justru akan membersihkan hati dan membuka jalan bagi masuknya cahaya ilahi. Kita harus bersyukur atas apapun yang datang dan menimpa hidup kita, karena segala sesuatu ada yang memandu dan memperjalankannya dari luar. Kita telah banyak belajar dari sejarah, bahwa setiap makhluk hidup akan merasakan sakit bahkan kematian, namun hanya sebagian saja orang yang sanggup merasakan artinya kehidupan ini.
Orang-orang bijak mengajarkan, bahwa di setiap persoalan yang kita hadapi pasti ada solusi dan jalan keluarnya, sebagaimana perahu-perahu yang berlayar pasti dikitari oleh air-air yang mengalir. Kadang Tuhan membolak-balik hati kita yang sedang berproses memaknai kehidupan ini. Pengalaman hidup yang kita alami, dalam gelap dan terang, kiri dan kanan, bahkan keimanan yang kadang naik dan turun (yazid wa yankush) tak lain agar kita mampu terbang ke angkasa dengan dua sayap. Nampaknya, bagus dan indahnya sayap burung akan kurang optimal, jika ia hanya terbang dengan satu sayap saja.
Adakalanya kita memerlukan hidup bersama, meskipun dengan orang yang kurang baik, ketimbang kita hidup sendirian. Untuk itu, kadang kita perlu membiarkan gagang pintu rusak, namun setidaknya ia masih berfungsi untuk membuka pintu. Dunia yang fana ini diberikan kepada kita untuk sementara waktu, meski Tuhan menyediakan tangga-tangga yang dengannya kita bisa meraih harapan dan cita-cita, baik positif maupun negatif.
Di bumi manapun kita berpijak, jalan untuk mencapai kesucian hati adalah sikap rendah-hati terhadap sesama. Tidak sepantasnya kita membakar selimut baru hanya karena ada kutu, juga tak perlu membuang muka dari orang yang kita kasihi, hanya karena kesalahan kecil yang tak berarti. Bagaimanapun, wanita adalah cahaya Tuhan yang perlu dicintai secara rohani, bukan semata-mata badani. Dia bukan hasil kreasi kita, namun ia berdaya kreatif yang banyak mengilhami hidup kita dalam kebaikan.
Tak perlu berlama-lama memelihara perasaan kesal dan jengkel, karena pada hakikatnya wanita dianugerahkan sebagai ujian dan cobaan, sebagaimana cermin-cermin kotor dalam kalbu kita yang terus-menerus memerlukan gesekan agar dapat bersih dan kinclong. Juga tak perlu berlama-lama dalam kepiluan dan kesedihan. Meskipun ada orang berpendapat, betapa luasnya kesedihan ketimbang hati manusia yang teramat kecil untuk menampung semua kepiluan hati. Maka, katakanlah wahai orang-orang yang optimistis: “Bukankah bola mata kalian lebih kecil daripada hati? Kenapa kalian enggan memanfaatkannya untuk menyaksikan luasnya pemandangan dan keindahan di jagat raya ini?”
Memang, kita tak sanggup melihat yang tak kasatmata menurut kadar cahaya, tapi semakin rajin kita menggosok cermin hati – serta memahami hikmah dari segala ujian–maka semakin jelas kita melihat segalanya. Tuhan menciptakan dunia dan problematika di dalamnya, agar segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan-Nya menjadi tersingkap.
Perkecillah diri kita, maka kita akan nampak lebih besar di mata dunia. Kalau kita sanggup, maka “hilangkanlah” diri kita, hingga jati diri kita akan terungkap, tanpa memerlukan silat lidah dan banyak retorika. Jika kemarin kita merasa cerdas lalu berupaya keras untuk mengubah dunia, maka hari ini bersikaplah bijak (ketimbang hanya cerdas), hingga kita berusaha memulai dari titik nol untuk mengubah diri sendiri.
Kita dilahirkan dengan banyak potensi sebagaimana burung yang dilahirkan dengan kedua sayap yang utuh, lalu mengapa kita memilih merangkak dalam mengarungi kehidupan ini?
Jika Anda ingin menjadi orang besar yang dicintai Tuhan, maka janganlah ada kekhawatiran dan rasa takut akan persepsi negatif dari orang-orang (netizen). Biarkan saja, apapun komentar mereka. Di mana pun Anda berada, jadikanlah diri Anda sebagai “jiwa” di tempat itu, sebagaimana keteguhan hati Nabi Yusuf yang tetap menjadi “jiwa” meskipun bertahun-tahun dihinakan di dalam penjara. Namun, dalam jiwa-jiwa yang gembira, keramahan dan keakraban dengan siapapun senantiasa mengiringi langkah-langkah hidup kita.
Percayalah, bahwa apa-apa yang terbaik yang sedang kita cari, niscaya ia pun sedang sibuk mencari-cari kita. Tak penting bagi kita untuk mencari-cari kebenaran hingga mengelilingi dunia, mengarungi samudera dan menguasai banyak bahasa. Sebagaimana petuah dari penulis buku Perasaan Orang Banten bahwa: “Cukuplah, karena yang terpenting bagi kita adalah menguasai bahasa-bahasa kalbu .” Dalam bahasa kalbu, segala dusta dan kebohongan akan mudah tersingkap, karena ia bersumber dari tubuh yang fana dan kotor ini, sementara kejujuran dan kebenaran adalah ruh ilahiyah yang suci dan bersifat abadi.
Dalam karya sastra mutakhir, seringkali kita berjumpa dengan luka dan derita, namun setiap luka manusia pada hakikatnya membawa pesan (massage), karena ia adalah tempat di mana cahaya sedang merasuki kalbu kita. Bukankah hati nurani punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat hikmah dan kebenaran, ketimbang hanya indra penglihatan semata.
Dalam novel Pikiran Orang Indonesia, seakan kita diingatkan bahwa Tuhan sedang memasang tangga bagi seluruh masyarakat Indonesia, namun hendaknya kita bersikap sabar untuk mendakinya setahap demi setahap. Biarkanlah diri kita dibentuk oleh tarikan yang kuat dari sesuatu yang bernama “cinta”, termasuk dalam menikmati karya sastra yang baik.
Sebab, cinta dan apa-apa yang kita cintai telah datang sebagai rahmat. Ia hanya mampu kita rasakan dan nikmati, meskipun sulit untuk dipelajari maupun diajarkan. Biarkan cinta itu mengalir, sebagaimana petuah para sastrawan bijak, bahwa karya-karya yang lahir berdasarkan hati, hanya akan dapat dinikmati oleh mereka yang punya hati.
Hanya mereka yang mampu berbagi perasaan akan saling memahami. Tidak identik bagi mereka yang memiliki kesamaan dalam bertutur kata dan bersilat lidah.
Pada prinsipnya, rasa syukur akan terus memberi kepuasan batin dalam setiap aspek kehidupan kita. Teruslah bersemangat, dan carilah karya-karya terbaik – tidak mesti buah tangan “kaum senior” – yang dapat sanggup mengobarkan semangat kita. Jika kita mampu menghasilkan karya-karya terbaik, pastilah itu sesuatu yang cantik dan indah, meskipun kita tak perlu menuntut saat ini orang-orang mesti menyatakan cantik dan indah.
Akan ada waktunya masing-masing, karena kata-kata yang baik identik dengan pohon-pohon yang kuat dan kokoh dengan akar-akar yang menancap ke bumi dan tunas-tunas yang menjulang ke angkasa. Pohon subur itu akan memberikan buahnya pada tiap-tiap musim, dan memberi keberkahan bagi mereka yang menikmatinya.
Jika kita sudah berkarya secara optimal, maka tanamkanlah keikhlasan, karena tingkatan tertinggi dalam mencintai adalah ketulusan dan keikhlasan. Di dalam cinta dan keikhlasan, segalanya akan menjadi terang. Meskipun dunia ini terasa gelap-gulita, maka cinta akan menemukan caranya untuk membuat jendela.
Percayalah, manusia yang punya hati dan beraroma cinta, akan sulit dipahami oleh manusia-manusia Indonesia, kecuali bagi mereka yang sama-sama seorang pencinta. Anda akan menjadi pencinta sejati bilamana Anda ikhlas membuka mata hati dan akal sehat Anda. Mesipun pada dasarnya, apa-apa yang saya katakan tentang “cinta” baru sebatas kulit luarnya saja, sebab inti dari cinta adalah rahasia unik yang tak terkatakan.
Tanpa mengenal manisnya cinta, apapun yang Anda lakukan dalam hidup ini hanyalah beban yang berat. Sebab, hanya hati yang dihiasi cinta yang dapat menjangkau ketinggian langit. Dengan cinta pula, sesuatu yang jauh menjadi dekat, sesuatu yang pahit menjadi manis, tembaga bisa menjadi emas, limbah bisa menjadi air jernih, bahkan mati bisa menjadi hidup. Cinta bisa membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam. Ia mampu mengubah kasar menjadi lembut, pengecut menjadi pemberani, bahkan derita menjadi bahagia.
Cinta adalah virus dan wabah penyakit yang mematikan, di mana mereka yang terserang virus itu seakan-akan tak pernah mau disembuhkan. Bukankah, kematian tanpa cinta adalah kematian terburuk, karena hakikat kematian adalah “jembatan” yang menghubungkan sang pencinta dengan Dia Yang dicintai?
Bagaimanapun, cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, sedangkan amarah, dengki dan obsesi yang tak terkendali, adalah sifat-sifat binatang. Sebagaimana gunung dengan arus-arus airnya yang terus mengalir. Dalam tubuh-tubuh kita pun ada jiwa-jiwa yang terus bergerak dengan ilham cinta.
Dan berkat cinta pula, maka saya dapat menajamkan perasaan dan pikiran saya, hingga tulisan ini pun dapat terwujud. Dengan menanam benih-benih cinta, saya yakin ia akan bertunas pada jiwa-jiwa yang hidup, beradab dan berakal sehat.
Tanpa cinta, mana mungkin saya sanggup menggoreskan pena untuk menyuguhkan tulisan ini ke hadapan Anda. Wassalam. (*)
https://alif.id/read/chs/sastra-cinta-dan-religiositas-b245548p/