Untuk mengatasi perut keroncongan, kami berempat sepakat memarkir kendaraan ketika membaca tulisan “Mie Cekyam” dan “Es Teler” di suatu gerai makanan di samping jalan raya. Setelah empat mangkuk dihidangkan di hadapan kami, salah seorang di antara kami, Sodik kontan memprotes, “Kenapa pakai ceker ayam, Bang?”
“Kan namanya juga Mie Cekyam?” kata Bang Soleh penjual mie.
Baru kali itu kami berempat, sepulang dari acara bedah buku “Perasaan Orang Banten” di Kota Serang, memahami apa yang dinamakan Mie Cekyam. Mengenai Es Teler, kami semua sudah mengenalnya jauh-jauh hari, meski tak pernah mengerti mengapa mesti dinamakan “Es Teler”, sementara kami tak pernah melihat orang sempoyongan gara-gara menikmati es dicampur susu, alpukat, kelapa muda dan nangka tersebut.
Akhirnya, satu mangkuk mie tak ada yang memakan. Entah kenapa, teman saya itu merasa geli dan jijik melihat ceker ayam. Bahkan, mendengar namanya saja dia merasa segan. Sama halnya dengan teman saya di bangku SMP dulu, yang alergi pada buah kurma. Dalam bayangannya, memakan buah itu laiknya mengunyah seekor kecoa yang masih hidup. Sangat menjijikkan, katanya.
Masalahnya, seberapa banyak orang tak sanggup memakan ceker ayam dan buah kurma, jikapun sudah terhidang di hadapannya? Atau seberapa lama orang merasa alergi pada dua jenis makanan itu? Di sinilah letak penggunaan bahasa yang tak lepas dari bayangan imajinasi pemakainya. Apakah beda makna segan dengan tak segan? Misalnya, saya merasa segan padanya, atau saya merasa tak segan padanya. Yang manakah dari keduanya itu yang benar? Tapi sudahlah, usah khawatir soal bahasa… ataukah yang benar “tak usah” khawatir dengan bahasa?
Kata “padu” dalam bahasa Jawa berarti ribut atau tengkar mulut, tetapi dalam bahasa Indonesia justru bermakna sebaliknya, kompak atau bersatu-padu. Karena itu, kebenaran makna kata bergantung pada konteks kalimat yang dibacanya. “Orangnya begitu mengagumkan, maka saya segan kepadanya.” Makna segan dalam kalimat itu berarti suka atau senang kepadanya. Bedakan dengan kalimat berikut ini: “Lagi-lagi ia muncul untuk ke sekian kalinya, saya amat segan sehingga malas menegurnya.”
Bunyi kata yang sama, bisa bermakna beda, bahkan bermakna sebaliknya, tergantung dari konteks kalimat yang dipakainya. Bahkan kesalahan satu kalimat pun bisa melebur pada kebenaran satu paragraf atau satu bab dari suatu karya tulis. Di sinilah kita mulai membahas tentang pesan dan amanat dari suatu karya sastra. Orang-orang yang melek sastra, mesti akan mengulangi bacaan yang belum jelas dimengerti, sampai ia menemukan pesan moral (moral massage) yang mencakup keseluruhan isi karangan.
Misalnya, bila kita membaca novel “Perasaan Orang Banten”, kita harus menuruti keliaran imajinasi penulisnya yang tak peduli urusan pembakuan bahasa. Karenanya, tak ada kekakuan dalam penyampaian kata atau kalimat pada novel tersebut, bahkan penulisnya seakan menolak pembakuan kata. Tak ada urusan dengan distorsi bahasa yang tak sesuai dengan kenyataan. Yang penting, seberapa banyak orang menggunakan kata tersebut.
Bukankah kehidupan terus berproses, termasuk penentuan setting lokasi dan tempat dalam karya sastra. Meskipun walikota bersikukuh menggusurnya, tetap saja ia abadi sebagai nama tempat. Tak ada urusan. Wilayah kampung Dukuh tidak identik banyak pohon dukuhnya, begitupun kampung Rambutan atau Kaduhejo. Kampung Ciwaduk, meski sekarang sudah penuh pemukiman di sekitar itu, tak ada waduknya sama sekali, tetapi tetap saja ia eksis sebagai Ciwaduk dalam novel Perasaan Orang Banten. Juga tak ada masalah. Sebodo amat.
Jalan Tubagus Syafaat bisa saja diganti dengan Jalan Tubagus Ismail, setelah proses pengadilan memutuskan perkara korupsi berskala puluhan miliar, meski itu pun memerlukan kesepakatan banyak pihak, termasuk unsur pemerintah juga. Lalu, apakah suatu karya sastra dapat dikatakan usang ketinggalan zaman, manakala sudah dihapus nama jalan yang notabene – di sekitar jalan tersebut – dipertemukan tokoh Yosef dan Jamilah dalam jalinan cinta-kasih? Tentu saja tidak. Sebab, suatu karya sastra bergerak di wilayah imajinasi yang melanglang buana melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Permainan bahasa ini kadang-kadang lucu, bahkan menggelikan. Tetapi, kalau sudah menjadi kesepakatan umum (banyak pemakainya) apa mau dikata, biar ngaco sekalipun. Lihat saja nama-nama menu makanan yang semakin hari semakin menggelikan, seperti sengaja mempermainkan cara berpikir kebanyakan orang. Bukankah kita pernah mendengar adanya kamus khusus untuk para waria, dengan menampilkan ratusan bahkan ribuan istilah-istilah aneh yang menjadi kegemaran mereka?
Tetapi, dengan tidak mengurangi rasa hormat, seberapa banyak penggunanya? Seberapa luas pengaruhnya? Dan sebarapa awet penggunaan bahasa musiman itu?
Banyak penulis karya sastra yang terhanyut, serta mudah tergoda dalam pemakaian bahasa yang ngetren sesaat itu. Bahkan, tidak jarang penulis yang mengaku-ngaku “senior” sekalipun. Tetapi ketahuilah, seorang penulis sastra yang baik, tak mungkin terpengaruh oleh pasang-surut pemakaian dan permainan bahasa semacam itu. Belum lagi kalau kita memakai kata turun-naik, keluar-masuk, pulang-pergi. Ngapain sih? Bukannya naik dulu baru turun? Bukannya masuk dulu baru keluar. Ngapain coba? Mestinya kan dia pergi dulu baru kemudian pulang? Dasar ngaco!
Lalu, kita boleh masuk kembali memesan Mie Cekyam Bang Soleh, yang ternyata hanya dia sendiri dan pelanggannya yang memahami apa artinya Cekyam. Rupanya para pedagang mie di tempat-tempat lain tak ada yang mengerti arti Cekyam tersebut.
“Emangnya dari mana istilah Cekyam itu?”
“Dari seorang kakek yang memesan mie ayam, tetapi dia bilang dikasih Cekyam ya?”
“Apa itu Cekyam?”
“Ya ceker ayam,” jawabnya, “keesokannya saya memesan plang di pasar baru dengan bertuliskan MIE AYAM CEKYAM, itu saja. Doakan, mudah-mudahan mujur, Mas.”
“Amin,” balas saya.
Boleh jadi Bang Soleh tidak memahami seluk-beluk kesusastraan kita, apalagi membicarakan distorsi bahasa yang seringkali tak nyambung dengan logika kebanyakan orang Indonesia. Sudah cukup lama para pemikir dibikin pusing oleh kenyataan betapa logika bahasa seringkali dipermainkan untuk kepentingan sesaat, yang kemudian terhempas pemakaiannya oleh perjalanan waktu. Mending kalau yang memakainya sekelas penjual asongan atau para pedagang di emperan jalan. Coba kalau distorsi makna itu dikembang-biakkan oleh politisi atau penguasa yang gaungnya bisa menjangkau jutaan pendengar.
Dalam berkomunikasi dengan perangkat bahasa, memang sudah berabad-abad para penguasa mempermainkan untuk kepentingan politisnya dalam sengketa teori-teori politik. Inilah yang disebut “reifikasi” yang tergambar jelas dalam novel “Pikiran Orang Indonesia”. Kita juga mengenal istilah Ode Baru, suatu era di mana rezim militerisme berkuasa secara otoriter. Lalu, apanya yang baru? Kalau bukan karena lihainya berakrobat politik dengan mempermainkan bahasa, boleh jadi dalam tempo beberapa tahun saja pemerintah Orde Baru sudah tumbang (lengser).
Mungkin saja Mie Cekyam Bang Soleh sudah dikenal oleh saya dan para pelanggannya yang terbatas. Coba kalau Presiden Jokowi sesekali mampir dan menyantap Mie Cekyam, bisa jadi ia akan menjadi makanan favorit bangsa, hingga dibakukan dalam kamus bahasa Indonesia.
Tapi masalahnya, senikmat apa ia untuk ukuran mulut orang Indonesia, bukan sekadar bagi orang Jawa, Sunda, Batak, Makassar, Ambon, apalagi hanya mulut segelintir pelanggan warung Bang Soleh saja…. (*)
https://alif.id/read/supi/menyoal-bahasa-nasional-kita-b237979p/