Era kenabian hingga pada masa sahabat tidak mengenal konsep ekonomi syariah. Mulanya, ia hanya berbentuk nilai atau norma universal syariat Islam yang termanifestasi dalam tindak-tanduk Nabi Muhammad SAW di bidang ekonomi atau muamalat. Dalam kapasitasnya sebagai pedagang, aktivitas ekonomi tak bisa dipisahkan dari diri beliau. Seperti perkongsian (akad mudharabah dan musyarakah), larangan menimbun barang dalam praktik ekonomi yang merugikan orang lain, akumulasi kapital sebesar-besarnya, dan lain sebagainya.
Ekonomi syariah pada masa Nabi SAW menjadi doktrin atas perilaku, bukan konsep normatif yang baku. Praktik ekonomi dan bisnis beliau senantiasa mengedepankan dimensi vetikal (hablun minallah) dan dimensi horizontal (hablun minannas) sekaligus. Ekonomi syariah dalam arti norma, dengan demikian, sesungguhnya sudah jauh dipraktikkan oleh beliau. Beliau adalah peletak pertama pondasi ekonomi syariah.
Fakta itu kemudian ditangkap oleh generasi-generasi berikutnya menjelang akhir abad pertama era Islam, ketika Islam sudah mengalami ekspansi ke berbagai belahan dunia. Pada era inilah-dan seterusnya hingga hari ini-pradigma ekonomi syariah mengalami formulasi secara ilmiah berikut proliferasinya. Ekonomi syariah mencapai puncak kejayaannya berbarengan dengan puncak kejayaan peradaban Islam pada abad ke-6 sampai 13 M.
Ada banyak tokoh Muslim yang turut berkontribusi bagi perkembangan ekonomi syariah yang berlangsung dalam periodesasi sangat panjang, sehingga tidak mungkin diuraikan semuanya di sini. Akan tetapi beberapa tokoh pemikir ekonomi syariah yang masyhur di tahun-tahun 731-798 M, seperti Abu Yusuf yang dikenal karena meletakkan prinsip perpajakan di dunia, yang karyanya kemudian dianggap sebagai “Canon of Taxation”.
Nama Al Ghazali juga harum dikenal sebagai salah satu tokoh penting yang berkontribusi dalam bidang ekonomi syariah, meski ia lebih dikenal sebagai filsuf Muslim. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328 M). Karyaya di bidang ekonomi Islam setidaknya bisa dilihat dalam bukunya yang berjudul “Majmu’ al-Fatawa”, yang secara cermat menjelaskan mengenai mekanisme pasar dan harga. Selain ketiganya, tentu masih banyak tokoh pemikir lain yang tak kalah besar kontribusinya.
Hampir bisa dipastikkan mayoritas ulama, cendekiawan, dan para kaum pelajar Muslim sepakat atas kandungan kemaslahatan dalam sistem ekonomi syariah. Hal itu tentu atas pertimbangan bahwa aktivitas ekonomi syariah bukan saja berorientasi pada profit semata, tetapi juga pada kepentingan agama sebagai sarana ibadah. Epistemologi ekonomi syariah diramu dari prinsip-prinsip universal dalam sejumlah ayat al-Quran dan hadis.
Dalam literatur Arab, istilah ekonomi syariah lebih dikenal dengan “al-Iqtishad al-Islami”, yang secara harfiah berarti ekonomi Islam. Abdul Mun’in al-Jamal (1980: 14) mendefinisikan ekonomi Islam sebagai sekumpulan dasar-dasar umum tentang ekonomi yang digali langsung dari al-Quran dan hadis. Sebagaimana al-Jamal, Muhammad Abdul Manan (1970: 3) mengemukakan, “Islamic Economic is a social sciens with studies the economic problems of a people imbued with the values of Islami”.
Jika boleh diringkas, ekonomi Islam merupakan bentuk lain dari penerapan syariat Islam melalui aktivitas ekonomi. Sehingga, aktivitas ekonomi manusia (pelaku ekonomi) harus merepresentasikan nilai-nilai syariat Islam yang muaranya pada kemaslahatan universal. Jamak dipahami, bahwa selalu ada kemaslahatan di balik diturunkannya syariat Islam (al-Syatibi, ttt: 374). Jadi, aspek paling fundamental dalam konsep ekonomi Islam adalah dimensi maslahat yang harus terwujud pada tataran praksis.
Memang ada perbedaan terminologis antara Indonesia dan negara-negara lain di dunia, tentang “Ekonomi Syariat” atau “Ekonomi Islam”. Negara-negara seperti di Timur Tengah, ASEAN, bahkan kawasan Eropa sekalipun, tidak memperkenalkan dan menggunakan istilah “Ekonomi Syariah”. Mereka justru menggunakan istilah yang nampak lebih spesifik, yaitu “Ekonomi Islam”.
Setidaknya ada dua alasan. Pertama, alasan historis. Istilah “Ekonomi Syariah” muncul seiring kemunculan bank syariah pertama di Indonesia pada awal dekade 90-an yang mendapat dorongan penuh dari MUI dan ICMI. Pada saat yang sama, aspirasi mereka untuk mengembangkan sistem ekonomi dan keuangan berbasis syariah mendapat sambutan meriah dari pemerintah Orde Baru. Sejak saat itulah istilah “syariah” mulai dikenal dan mewarnai perkembangan ekonomi syariah di Idonesia pada masa selanjutnya.
Kedua, alasan legal formal. Bertolak dari fakta historis itu, istilah “syariah” kemudian diserap (positivisasi) ke dalam sistem hukum positif, sehingga menimbulkan dampak hukum yang mengikat. Misalnya, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) No. 19/2008. Dengan begitu, kata “syariah” yang melekat pada nama sebuah industri maupun ilmu ekonomi modern yang didesain secara Islami sesungguhnya merupakan istilah yang bersifat legal formal.
Kendati terdapat perbedaan terminologis antar negara, baik “Ekonomi Syariah” maupun “Ekonomi Islam”, sesungguhnya sama-sama merepresentasikan sistem ekonomi yang dibangun di atas semangat ketuhanan sekaligus kemanusiaan universal. Tak ada pertentangan di antara kedua terminologi itu, sepanjang bisa mewujudkan maslahat bagi semua.
Sejak tahun 1999, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk lembaga keagamaan khusus bernama Dewan Syariah Nasional (DSN). Secara praksis, peran DSN melalui fatwanya dalam mengawal eskalasi ekonomi syariah di Indonesia sangatlah vital. Visinya sangat mulia, yaitu “memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat”. DSN adalah lembaga keagamaan yang memegang otoritas dalam bidang ekonomi syariah di Indonesia.
Terhitung sejak tahun 2000 hingga hari ini, terdapat 138 butir fatwa DSN tentang ekonomi. Ini menandai eksistensi DSN yang responsif, akomodatif, dan permisif terhadap semakin kompleks dan rumitnya masalah ekonomi umat Islam Indonesia seiring laju modernisasi-industrialisasi global.