Perbedaan Ulama Adalah Rahmat

Laduni.ID Jakarta – Sekitar 9 tahun yg lalu,kami mendapatkan perintah untuk nyowanaken dan memohonkan kata pengantar buku manasik haji karya team LBM PP Lirboyo kepada KH Maimun Zubair sarang, KH Dimyati Rois kaliwungu dan (alm) KH Mas Subadar besuk. Disamping barokah tentu banyak ilmu berharga yang kami perolah dari sowan-sowan tersebut.

Diantanya adalah cerita dari Abah KH Dimyati bahwa beliau pernah satu majlis dalam forum Bahsul-masail bersama Mbah Yai Maimun dan (alm) Mbah Yai Sahal Mahfudz. Saat itu beliau bertiga berbeda pandangan dalam menyikapi sebuah masalah. Mbah Yai Maimun ngersakne untuk memasukkan sebuah qoul dloif yang disebutakan dalam kitab almajmu’  sebagai solusi dlam rumusan jawaban. Namun Mbah Yai Dimyati punya pandangan berbeda berdasarkan aturan berfatwa yang sudah masyhur dalam kitab-kitab fiqh.yakni, Bahwa qoul yang lemah boleh diamalkan tapi tidak boleh difatwakan. Abah Yai Dimyati juga tidak sependapat dengan Mbah Yai Sahal yang ngersaaken untuk mentafshil jawaban.karena memang tidak ada ibarot dari kitab turots yang mentafshil jawaban dari masalah yang sedang dibahas.

Baca Juga: Biografi KH. Muhammad Dimyati al-Bantani (Abuya Dimyati)

Bagi sebagian orang mungkin akan menganggap aneh perbedaan pandang Beliau bertiga padahal reverensi ibarotnya sama-sama dari kitab majmu’ syarh muhadzab. Namun sebenarnya perbedaan seperti itu sangatlah lumrah. Karena masing-masing punya metode untuk menjawab masalah berdasarkan manhaj yang ada dalam kitab-kitab turots. Dan kalau diangen-angen

( حسب تأملي القصير وعسى أن يكون صوابا )

Beliau bertiga memang menggunakan metode fatwa yang berbeda:

Mbah Yai Dimyathi cenderung kokoh memegang kaidah umum dalam berfatwa sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa kitab fiqh. Karakter fatwa semacam ini banyak digunakan oleh beberapa ulama terdahulu dalam kitab-kitab fatawa mereka yang hanya menyampaikan qoul rajih saja. Sedikit sekali penjelasan qoul muqobil apalagi muqobilushohih dan qoul-qoul yang dianggap sangat lemah. Metode fatwa semacam ini adalah منهج الإحتياط (hati-hati dalam berfatwa) dan agar masyarakat awam tidak terjerumus dalam تتبع الرخص(hanya mencari qoul-qoul yang ringan).

Sedangkan Mbah Yai Maimun kelihatanya lebih memilih berfatwa dengan  منهج التيسير والتسهيل ( metode memudahkan dan memberikan solusi untuk ummat). Dengan cara menyebutkan qoul qoul muqobil -walupun dianggap lemah- sebagai solusi bagi yang membutuhkan. Metode seperti ini dipakai oleh Asyaikh Abu Ishaq Asyairozi dalam menta’lif kitab muhadzab. Jika anda membaca kitab muhadzab anda akan merasakan seperti masuk dalam super market besar yang menyediakan berbagai macam qoul-qoul Ulama salaf dalam setiap masalah. Anda tinggal pilih salah satunya sesuai keadaan anda. Bahkan menurut seorang wali agung dari hadlromaut Al-habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas metode inilah yang seharusnya dilakukan oleh seorang mufti. Dawuh beliau :

والذي يظهر للعوام ما ترجح عنده ويكتم الباقي يدخل في قول الله تعالى  (إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ) اذكر له ما قاله أهل العلم وهو يأخذ الذي يحبه ولا تذكر له ما ترجح عندك ففي العلم ساعة والإنسان ليس بمتلاعب بدينه والمذاهب حق والمتعبد يتعبد فيما يسره الله.

Beda lagi dengan Mbah Yai Sahal mahfudz. Beliau lebih memilih untuk mentafshil. Mungkin yang dimaksud adalah metode tafshil yang di gagas oleh al- Imam al-quthbu assya’rony dalam mizan kubronya. Secara garis besar Beliau membagi (mentafshil) khilaf ulama menjadi dua. Ada qoul tasydid yang berat untuk diamalkan. dan ada qoul takhfif yang ringan. Setiap qoul yg berat itu diperuntukkan bagi orang yang kuat iman dan fisiknya. Sedangkan qoul yang ringan khusus bagi yang lemah iman dan fisiknya. Orang yang kuat tidak salayaknya mengamalkan qoul yang ringan agar tidak tala’ub biddin. Dan orang yang lemah tidak boleh dituntut untuk menggunakan qoul yabg berat (lihat muqoddimah almizan alkubro hal:4-5).

Baca Juga: Biografi Syekh Ibrahim al-Maimuni

Metode ini juga digunakan oleh (alm) Romo Yai Abdul Aziz Manshur saat ditanya tentang hukum biawak oleh dua orang yang berbeda. Kepada salah satu penanya beliau menjawab halal. karena si penanya seorang fakir miskin yang kemungkinan jarang sekali makan daging. Dan kepada penanya yang lain beliau menjawab haram karena ia orang kaya yang berkecukupan. Begitulah metode Mbah Yai Aziz dalam mentafshil dawuh-dawuh dari dua Guru Beliau yang berbeda pandangan tentang hukum biawak (Mbah Yai di Lirboyo dan Mbah Yai di Sarang). Yang satu menghalalkan dengan dalil Hadis halanya ضب. Sementara yang satunya mengharamkan dengan alasan ضب yang halal adalah biawak arab bukan seperti yang di jawa. Ya.. Kurang lebih begitulah kebijaksanaan Mbah Yai Aziz yang kami ingat dari cerita Mustahiq kami di Lirboyo.

Walhasil, ilmu itu sangat luas dan ulama itu beda-beda. sebagai orang awam sudah seharusnya kita menyikapi dan memandang perbedaan Ulama dalam furu’ fiqhiyyah sebagai rahmat bagi ummat. Tidak perlu kita-kita yang masih awam bergaya mentarjih sebuah qoul dengan menyalahkan qoul ulama yang lain. Apalagi campur ngotot dengan penuh kefanatikan yang berujung saling menghujat. Bukankah dalam Qoidah fiqh disebutkan :

Baca Juga: Biografi Dr. KH. Sahal Mahfudz., MA

Perkara yang masih dalam khilaf ulama tidak boleh diingkari. Yang diingkari hanyalah perkara yang telah disepakati(keharamanya).

                     وقيل من اتسع أفق علمه قل إنكاره

Barangsiapa luas cakrawala ilmunya maka sedikit inkarnya

Contoh masalah khilafiyah menjelang lebaran:

1- masalah tukar menukar uang.
2- Cakupan makna sabilillah dalam bab zakat.
3- Zakat fitrah dengan uang.
4- Rukyah atau hisab dalam penentuan awal bulan dll.

Sumber: Fb/All Khidiir

https://www.laduni.id/post/read/71941/perbedaan-ulama-adalah-rahmat.html