Laduni.ID, Jakarta – Shalat lima waktu merupakan kewajiban bagi setiap muslim di manapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun. Sehingga secara hukum tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan shalat lima waktu. Namun demikian, jika sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan melaksanakan shalat dengan sempurna seperti dalam perjalanan, Islam memberikan rukhsah (keringanan) berupa diperbolehkannya menjamak dan menqashar shalat.
Ketentuan jamak dan qashar dalam shalat sudah diatur sedemikian dalam Islam yaitu jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar shalat adalah sejauh dua marhalah. Namun bagaimana hukum menjamak atau mengqashar shalat yang jarak perjalanannya tidak sampai dua marhalah atau bagaimana hukum menjamak atau mengqashar shalat ketika kita tidak dalam sedang perjalanan?
Baca Juga: Rukhsah Ibadah bagi Orang yang Selalu Bepergian
Untuk mengqashar shalat ketika dalam perjalanan yang jarak tempuhnya tidak sampai dua marhalah, tidak ditemukan pendapat ulama yang memperbolehkannya. Namun jika menjamak shalat ketika sedang di rumah sebagian ulama berpandangan memperbolehkannya dengan catatan adanya keperluan yang tidak bisa ditinggalkan dan hal ini tidak dijadikan sebagai sebuah kebiasaan.
Hal ini dijelaskan dalam kitab Syarh Muslim seagai berikut:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ إِلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِيْ الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لاَ يَتَّخِذُهُ عَادَةً وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيْرِيْنَ وَأَشْهَبَ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكِ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ وَالشَّاشِي الْكَبِيْرِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحاَقَ الْمَرْوَزِي عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ
“Sejumlah imam berpendapat tentang kebolehan menjamak shalat di rumah karena hajah bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Itu adalah pendapat Ibn Sirin, Asyhab murid Imam Malik. Al-Khaththabi menghikayatkan pendapat tersebut dari al-Qaffal, al-Syasyi al-Kabir murid al-Syafi’i, dari Abu Ishaq al-Marwazi dari sekelompok ulama ahli hadis. Pendapat itu dipilih pula oleh Ibn Mundzir”. (Muhyiddin al-Nawawi, Syarh Muslim, [Cairo: al-Sya’b, 1390 H], Jilid II, h. 359)
Wallahu A’lam
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 03 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 295